Peran Ulama-Umara dalam Memutus Mata Rantai Terorisme

Ilustrasi penangkapan teroris

GERAKAN terorisme dan radikalisme membuat suasana kehidupan manusia di beberapa negara, termasuk di Indonesia, terancam.

Gerakan tersebut mewujud dalam aksi teror bom seperti yang terjadi di Plasa Atrium Senen Jakarta (2001), KFC dan Mc Donald’s Makassar (2002), Mal Ratu Indah Makassar (2002), dan di Kedubes Filipina (2002).

Peristiwa lainnya adalah bom Bali I (12 Oktober 2002), bom Kafe Sampodo Indah Palopo (2004), bom Kedubes Australia (9 September 2004), bom Bali II (1 Oktober 2005), bom Pasar Maesa Palu (2005), bom Hotel Rizt Calrton dan JW. Marriott (17 Juli 2009), bom Kantor Polres Cirebon (2011), dan beberapa kali pembunuhan di Poso.

Lebih mengkhawatirkan lagi pasca-Alqaeda adalah munculnya gerakan “Islamic State of Iraq and Syiria” (ISIS) yang belakangan ini makin menjadi perhatian dunia internasional. Beberapa warga Indonesia bahkan telah direkrut menjadi anggota ISIS.

Di Indonesia juga sudah ada indikasi merebaknya kelompok-kelompok yang anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Mereka mengampanyekan Negara Khilafah dan akan membentuk Daulah Islamiyah atau Negara Islam. Ada indikasi kelompok ini juga sudah berdomisili di Kabupaten Jember Jawa Timur.

Kondisi yang membuat resah masyarakat itu tentu tidak boleh dibiarkan tumbuh dan berkembang. Pemerintah dan tokoh masyarakat yang cinta pada nilai-nilai luhur agama dan NKRI harus bersikap dan bergerak mengantisipasi dan menghentikan aksi yang meresahkan tersebut.

Dalam konteks ini sinergitas ulama – umara (pemerintah) amat penting sesuai Hadist Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa ada dua golongan manusia, apabila dua golongan ini baik hubungannya, maka umat manusia akan menjadi baik. Jika mereka tidak baik hubungannya, maka umat manusia pun menjadi tidak baik. Kedua golongan itu adalah ulama dan umara.

Peran Ulama
Ulama sesuai fungsinya sebagai pemberi fatwa doktrin keagamaan sejatinya harus mengajarkan ilmu yang sesuai dengan ajaran syariat agama Islam dengan menjunjung tinggi keagungan agama dan harkat martabat manusia.

Dalam hubungan ini ulama di Jember, Jawa Timur, khususnya kiai-kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) setempat memiliki beberapa pemikiran dan langkah strategis.

Pertama, pentingnya pemahaman bahwa manusia dalam bahasa Arab artinya “Insan”, dari asal kata Anas, Anis, Anisa. Insan artinya harmoni, intim, akrab, bersahabat, saling menyukai, dan mencintai.

Jadi, di pundak manusia ada amanah yang harus diimplementasikan, yakni “insaniyah”, kemanusian yang harus hidup harmonis, ramah, saling menghormati, menghargai, dan mencintai. Oleh karena itu “Ikroh” (kekerasan), “Syiddah” (radikal), “Tatharruf” (ekstrim), dan “Irhab” (teror) adalah jelas merupakan musuh insaniyah.

Kedua, memberi pemahaman Islam “rahmatan lil ‘alamin” (rahmat bagi sekalian alam). Islam bukan hanya agama teologi dan ritual ibadah. Islam adalah agama ilmu pengetahuan, agama peradaban, agama budaya dan agama kemanusiaan, termasuk jangan sampai salah dalam memberi pemahaman tentang jihad dalam Islam.

Ketiga, pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU dijamin tidak mengajarkan terorisme. Kalau misalnya ada pondok pesantren yang mungkin terlibat terorisme, jelas itu bukan pesantren NU, tapi mungkin pesantren yang didirikan dengan sponsor pihak tertentu.

Keempat, NKRI dan Pancasila merupakan keputusan final yang wajib dipertahankan. Kelima, perlunya langkah dialogis dengan kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dengan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah.

Pemikiran dan langkah ini dilaksanakan oleh para Pengurus Cabang NU, Majelis Wakil Cabang (MWC) NU, Ranting NU dan Anak ranting NU, khususnya di Jember yang berbasis masjid. Mereka selalu berkoordinasi dengan ormas-ormas yang sejalan serta dengan aparat pemerintah setempat.

Peran Umara
Jember merupakan daerah yang potensial di Jawa Timur, bahkan termasuk daerah termaju di daerah Tapal Kuda. Kawasan Tapal Kuda meliputi Pasuruan (bagian timur), Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi (serta Madura).

Secara administratif, Kabupaten Jember terbagi menjadi 31 Kecamatan, 226 Desa, 22 Kelurahan, 959 dusun/lingkungan, 4.100 RW dan 13.786 RT. Wilayah yang demikian luas itu tentu membutuhkan konsentrasi kerja yang serius bagi pihak kepolisian sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Kepemimpinan umara setempat, kususnya Kapolres AKBP Sabilul Alif SH SIK dalam memutus mata rantai gerakan terorisme dan radikalisme di Jember dapat dikatakan berhasil karena adanya beberapa program kepolisian yang bersifat komprehensif.

Pertama adalah Program Trimitra dan Caturdaya-Pancakarya. Trimitra (tiga mitra) adalah kerja sama polres dengan unsur pemerintah pusat dan daerah serta dengan swasta (pengusaha, koperasi dan lembaga swasta lainnya), dan masyarakat (individu, keluarga, ormas, komunitas, organisasi keagamaan, organisasi profesi, organisasi olahraga, LSM, seniman, budayawan, pelajar dan mahasiswa).

Kemudian, Caturdaya (empat daya), dimana Polres Jember sebagai mitra dalam mengayomi masyarakat terus berupaya memanfaatkan sumber daya pemerintah, swasta, masyarakat, dan sumber daya alam (lingkungan) secara optimal.

Selanjutnya, adalah Pancakarya (lima karya), yakni program Polres Jember untuk meningkatkan kinerja, karena kerja akan memberikan arti dan hasil positif jika polisi dan mitranya melaksanakan dengan baik pancakarya yang meliputi karya tata, karya guna, karya utama, karya purna, dan karya rasa.

Selain itu AKBP Sabilul Alif dalam memimpin Polres Jember juga melaksanakan program inovasi, yakni “Prol Tape” (polisi patroli tiap pagi dan sore), “Pos Khidmat” (polisi ceramah Kamtibmas setiap selesai Shalat Jumat), dan “Pos Wedang Cor” (polisi-warga don candon atau cangkrukan dan koordinasi).

Berikutnya adalah “Pos Sagita” (polisi setiap saat sinergi dan kemitraan), “Pos Papuma” (polisi peduli pemuda, pelajar dan mahasiswa), “Pos Jagung” (polisi peduli pekerja dan pengangguran), “Pos Perwira” (polisi peduli pariwisata dan dunia kreatif), “Pos Purna” (polisi peduli perempuan dan anak-anak), dan “Jempol” (Jember police online).

Jika sinergitas antara ulama, umara, dan elemen-elemen masyarakat berjalan dengan baik seperti yang dilakukan di Jember, Insya Allah mata rantai gerakan terorisme dan radikalisme akan bisa diputus, sekaligus bisa mencegah gerakan yang meresahkan dan membawa korban masyarakat itu. (*)

HM Misbahus Salam MPdI, Wakil Ketua Pengurus Cabang NU Jember dan Pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam Sukorejo Bangsalsari Jember.

Terkait

FIKRAH Lainnya

SantriNews Network