1 Muharram, Momentum Hijrah untuk Kedamaian Dunia

Ilustrasi

Oleh: Ponirin Mika

Pada tahun ini, 1 Muharram jatuh pada hari kamis, hampir seluruh umat muslim menyambut dengan melaksanakan beberapa kegiatan-kegiatan. Mulai dari obor api, pengajian bahan ada juga dengan antraksi dan lainnya. Diberbagai Pondok Pesantren, penyambutan santri pada hari yang bersejarah ini sangat antusias, terbukti dengan adannya kegiatan obor api keliling dan pengajian umum dilaksanakan.

Penyambutan ini menandakan bahwa ritualitas keagamaan umat islam masih terjaga, meski perayaan-perayaan seperti ini tidak menjadi ukuran seseorang melaksanakan wujud keimanan yang sesungguhnya. Karena ajaran-ajaran keagamaan itu, tidak cukup hanya dimaknai sebagai aplikasi dhahir, melainkan bukti keimanan seseorang harus termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Prilaku keagamaan harus tetap terpelihara untuk memelihara sunnah rasul, namun sangat diperlukan adanya penekanan penekanan terhadap pribadi umat muslim agar, perilaku tersebut mampu meningkatkan sikap ukhuwah terhadap sesama.

1 Muharam itu, dimana Nabi Muhammad melakukan hijrah dari Mekkah ke Yathrib (Madinah). Hal ini dimaksudkan agar Nabi Muhammad bisa menghindari dari perbuatan-perbuatan mereka (kaum jahiliyah) yang bernafsu untuk menghalangi dakwah Nabi. Ketidak sukaan kaum jahiyah terhadap kehadiran Nabi Muhammad dalam menyebarkan dakwah kedamaian dianggap mengancam terhadap ritual-ritual ketuhanan yang mereka yakini. Akibatnya, ancaman demi ancaman selalu didapatkan oleh Nabi dan pengikutnya. Faktor ketidakamanan dan ketidaknyamanan di Mekkah menjad salah satu peyebab berhijrahnya ke Madinah.

Hijrah Untuk Kedamaian
Berbondong-bondong para pengikut Nabi Muhammad bersamanya melaksanakan hijrah, dengan meninggalkan harta benda baik rumah maupun lainnya. Yang mereka harapkan dengan melakukan hijrah ini, mereka menemukan kehidupan yang lebih damai. Karena kedamaian tidak akan didapatkan ditengah kondisi masyarakat yang masih ego, memelihara iri hati dan kesombongan. Yathrib adalah Negeri yang tepat untuk dijadikan persinggahan oleh Nabi dan para pengikutnya.

Terbukti, bagaimana sikap masyarakat Yathrib dalam melakukan penyambutan terhadap rombongan Nabi dari Mekkah. Perlakuan tak ubahnya tetangganya sendiri bahkan melebihi dari saudara kandung dalam memberikan kepekaan dan kepedulian.

Rombongan Mekkah merasa terhormat dan tersanjung, begitu pula masyarakat Yathrib dalam melakukan penyambutan, dua golongan ini saling memahami arti penting dari sebuah persaudaraan (ukhuwah). Inilah menjadi salah satu misi agama Allah terhadap pemeluknya, bahwa ajaran-ajaran agama harus membawa terhadap persaudaran antara sesama. Andai saja, persaudaran tidak tercipta bagi para pemeluk agama, maka agama tidak tertanam dalam keyakinan yang kuat melainkan menjadi bacaan-dan isi ceramah-ceramah.

Ukhuwah akan menciptakan hidup tentram, hidup dimana saling berbagi. Tanpa harus ada yang termarginalkan. Ini sebagai pelajaran bagi Negara Indonesia, ditengah krisis kemanusiaan, seyogyanya hirjahnya Nabi dan sikap kaum Muhajirin dan kaum Anshor menjadi tauladan. Bahwa, saling menghargai antara sesama adalah sikap menjalin ukhuwah yang lebih baik. Tidak memperuncing persoalan-persoalan kecil, sehingga melupakan hal yang lebih besar.

Pertikaian antara sesama tidak akan menyelesaikan masalah, akan tetapi perbedaan itu harus dijadikan kekuatan oleh Bangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang mempunyai sikap empati dan solidaritas yang tinggi antara sesama. Karena akan mampu melahirkan sikap saling tolong menolong agar yang miskin bisa keluar dari kemikinannya dan yang kaya tidak melakukan kesombongan dengan berpangku tangan tidak mau berbagi dengan yang membutuhkannya. (*)

Ponirin Mika, Sekretaris Biro Kepesantrenan Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network