Maulud Nabi, Berjanjen dan Visi Kemanusiaan

Saat saya masih berdomisili di Desa Krandon Kudus, orang tuaku selalu mewajibkan anaknya untuk melaksanakan dua agenda khusus di malam Jum’at: baca tahlil dan berjanjenan. Itulah ajaran yang sampai sekarang tidak bisa ditinggalkan.

Tradisi berjanjenan menjadi spesial saat bulan Rabiul Awwal (Mulud : Jawa) tiba. Selama dua belas hari full berjanjenan itu dilaksanakan. Yang laki-laki di Masjid dan yang perempuan berputar dari rumah ke rumah. Di malam 12 Rabiul Awwal, berjanjen diadakan tengah malam dan sangat ramai sekali.

Alunan shalawat, nasyr dalam kitab Al Barzanji dibaca dari mulai aljannatu wa naimuha hingga wakana gede. Mahallul qiyam yang disebut dengan srakalan juga dengsn khidmah dilakoni. Itulah cara orang Kudus dan beberapa daerah basis NU menghormati maulid Nabi secara rutin.

Ada yang pernah bertanya pada saya. Kenapa menghormat maulud Nabi harus baca Al Barzanji? Dan kenapa harus ada srakalan yang dilakukan dengan berdiri?

Jawaban saya sederhana karena kebetulan yang tanya adalah anak muda yang kutahu baru senang punya pacar baru. Aku balik bertanya. Bagaimana kalau dirimu memuji pacarmu? Dan apakah kalau pacarmu datang kau sambut dengan duduk?

Ia bingung tak bisa menjawab tapi berusaha menjawab. Saya selalu menyuguhkan dengan bait puisi yang kadang saya ambil dari lirik lagu. Dan pasti saya berdiri saat pacarku hadir di depanku.

Nah itulah jawaban yang tepat. Kalimat dan syair yang ada dalam Al Barzanji itulah yang digunakan untuk memuji kemuliaan Nabi Muhammad. Dan semua pengagun Nabi berdiri saat srakalan karena Nabi Muhammad hadir di tengah-tengah kita?

Percaya apa tidak?

Kalau belum percaya harus percaya dulu. Dan kalau tidak percaya jangan pernah menemukan indahnya berjanjenan dan srakalan.

Di balik kehidmatan berjanjenan ternyata mengandung empat visi kemanusiaan yang sangat hebat.

Pertama, orang Islam sadar betul bahwa sejarah itu harus dibaca dan diingatkan. Tradisi berjanjenan yang sudah menjadi barang wajib ini mencoba membangun visi historis yang tak pernah putus.

Kedua, Nabi Muhammad menjadi idola yang setiap saat harus dipuji dan pujian kepada Nabi sudah secara rutin dijalani, ada yang malam Jum’at dan ada yang malam Senin. Berjanjenan inilah yang dijadikan salah satu naskah pemantik visi holistik menyanjung kemuliaan Nabi Muhammad.

Ketiga, berjanjenan secara rutin yang diikuti oleh kalangan tua hingga anak-anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan menegaskan terbentuknya visi jama’ah untuk mempersatukan umat Islam. Mereka ikhlas hadir dengan membawa jlabutan (makanan suguhan untuk tamu) dan dinikmati bersama selesai berjanjenan.

Keempat, sadar atau tidak bahwa berjanjenan ini mampu mendorong visi kedamaian dunia dimana kecintaan pada Nabi Muhammad akan membuat orang Islam selalu berkumpul, bersaudara dan saling sapa secara rutin mingguan.

Kadang saya berpikir, kenapa di Timur Tengah selalu terjadi perang?

Prediksi saya salah satunya karena mereka sudah lupa dengan Maulud Nabi dan tidak mengenal berjanjenan.

Mari kita gugah Indonesia damai dengan Maulud Nabi dan menggalakkan kembali berjanjenan. (*)

M Rikza Chamami, Staf Pengajar di UIN Walisongo Semarang, mantan Pjs Ketua Umum PP IPNU.

Terkait

FIKRAH Lainnya

SantriNews Network