Islam dan Harga Mahal Perdamaian Dunia

Oleh: M Rikza Chamami

TERMENUNG sejenak ketika mendengar pertanyaan mursyid tarekat Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Yahya tentang keikhlasan NKRI disobek-sobek. Kalimat itu merupakan tantangan bagi muslim Indonesia untuk benar-benar berani maju membela keutuhan NKRI yang tidak hanya janji tapi bukti.

Hal serupa juga dapat dirasakan ketika Grand Syaikh Al Azhar Mesir Ahmad at Thayyib memuji Indonesia sebagai negara mayoritas muslim yang mampu menjaga kerukunan. Walaupun Syaikh sadar bahwa usaha untuk menjaganya butuh banyak kendala. Maka wajah Islam Indonesia, bagi Syaikh, patut untuk dijadikan model Islam Dunia.

Apa hubungannya kesatuan NKRI dengan perdamaian dunia? Sangat berhubungan. Sebab perdamaian di tanah kelahiran Islam sampai hari ini terhitung mahal. Konflik politik dan ekonomi Timur Tengah belum surut. Bahkan akhir-akhir ini makin menjadi-jadi yang berakibat pada citra Islam disebut sebagai agama pro-kekerasan dan terorisme.

Ini sangat aneh namun nampak nyata. Ajaran Islam yang damai sesuai nama Tuhannya arrahman dan arrahim nampak hilang dan kabur. Apakah ini sengaja diciptakan oleh suasana dunia? Atau umat Islam sendiri yang masih gagal dalam memahami arti perbedaan untuk menyatu dalam kerukunan yang penuh kedamaian?

Ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi masyarakat dunia (tidak hanya Islam). Wajar jika Alfred Schutz meramalkan interaksi sosial yang akurat dalam nilai kebudayaan harus terjaga. Sebab tindakan sosial selalu melahirkan beragam realitas dalam pandangan simbolik.

Kebiasaan orang yang terdidik dengan ajaran pembenaran formalistik, atau sebut saja ajaran radikal, akan sulit menerima perbedaan. Dan inilah ujung awal lahirnya konflik yang tidak melahirkan solusi. Apalagi paham radikal dalam agama yang tidak didewasakan akan melahirkan upaya menyalahkan ajaran yang berbeda.

Hari ini di Indonesia sudah terjadi banyak contoh. Gaung konflik ide berkepanjangan sunni-wahabi, salafi-syi’ah hingga Islam Nusantara-Islam Garis Lurus. Ini fakta yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Sungguh aneh memang kenapa sesama muslim ini harus memperuncing sikap pandangannya. Dan lupa bahwa semuanya adalah bersaudara.

Dalam suasana yang demikian, sangat dimungkinkan hadir kelompok luar untuk merusak ukhuwah Islamiyah. Kelompok minoritas Islam akan dibakar emosinya untuk melawan mayoritas Islam dan mereka tidak sadar dengan itu.

Sasaran yang akan dituju dalam rangka menghancurkan perdamaian adalah kelompok yang paham agamanya lemah tetap diyakinkan bahwa ia yang paling benar. Maka kadang aneh, ada ulama besar dikatakan liberal dan kafir oleh kelompok kecil yang ngaji agamanya dari kitab terjemahan dan tanpa guru (sanad ilmu tidak jelas).

Upaya menggerogoti perdamaian inilah yang harus diwaspadai. Maka Indonesia menjadi tulang punggung kedamaian dunia. Jika Indonesia tersulut emosi dengan perang saudara, dunia akan ikut berperang.

Untung saja, di Indonesia diperkuat organisasi Islam yang sangat pro terhadap nasionalisme seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU berjuang membawa Islam Nusantara yang mengakar dengan tradisi ulama salaf. Sedangkan Muhammadiyah berjuang dengan cara berfikir modern dan konsisten mengawal NKRI.

Kekhawatiran yang ada hari ini adalah hadirnya Islam impor yang tidak paham arti kebangsaan dan keindonesiaan. Yang mereka lakukan ada gaya-gaya islami saja, bukan gaya ajaran Islam. Ini tidak perlu dilawan tapi harus disadarkan bersama-sama.

Ciri dari gaya islami yang keluar dari ajaran Rasulullah adalah selalu tidak seiring dengan pemerintah Indonesia. NKRI yang sudah final mau diubah dengan negara Islam dengan gaya khilafah. Polri dan TNI dijatuhkan wibawanya. Maka pola kelompok ini perlu diwaspadai bersama.

Wibawa pemerintah, Polri dan TNI yang dijatuhkan ini menjadi pertanda bahwa mereka ingin Indonesia rusak. Apalagi keberaniaan mereka menantang ulama dengan menjatuhkan dengan istilah agama: bid’ah, kafir, la’natullah dan halal darahnya. Istilah itu sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam rangka mengawal itu semua, gerakan Islam non-mainstream memang patut dijaga agar tidak semakin besar. Mereka yang menyatakan sebagai gerakan kanan (namun visinya seperti gerakan kiri) ini memang selalu menjadi benalu dalam beragama dan menjadi kerikil perdamaian.

Inilah tugas berat ulama yang menurut Horikoshi disebutkan sebagai penegak keimanan dan pemelihara amalan keagamaan. Ulama yang dibutuhkan hari ini adalah ulama dunia akhirat, yakni tokoh agama yang memahami makna dunia dan akhirat (bukan ulama yang kedonyan/sangat berpikir materi).

Ulama yang dunia-ukhrawi akan hadir dengan nasehat agama yang menyejukkan dan berbasis perdamaian. Agama akan tetap dipegang teguh dengan original dan tetap bisa bersanding dengan yang lain.

Hari ini dunia butuh Indonesia dalam menjadi contoh perdamaian. Jika ada ajakan untuk berperang melawan apapun dan siapun hari ini tidak perlu dilawan sebagaimana melawan Belanda dan Jepang. Marwah negara tetap kita lindungi dengan baik. (*)

M Rikza Chamami, Dosen UIN Walisongo Semarang.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network