Logika dan Illat Hukum Larangan Pemimpin Non-Muslim

Kalau dijadikan teman setia atau sekutu saja dilarang apalagi dijadikan pemimpin. Benar begitu? Tidak benar!

Dalam ushul al fiqh, ini namanya menggunakan qiyas awlawi. Syaratnya illatnya harus sama. Bilang “ah” gak boleh kepada orang tua, apalagi memukul. Illatnya adalah menyakiti: bilang “ah” dan memukul sama-sama menyakiti.

Apa illat larangan mengambil yahudi dan nasrani sbg awliya? Berkhianat kepada umat (ingat asbabun nuzul ayat sama penafsiran para ulama soal ini yang sudah pernah saya tulis panjang lebar sebelumnya).

Jadi, berteman atau bersekutu dengan non-muslim boleh selama tidak berkhianat kepada umat, apalagi menjadikannya sebagai pemimpin (asalkan tidak berkhianat kepada umat), tentu juga dibolehkan.

Jadi boleh saja anda punya sahabat, boss atau Gubernur yang non-muslim selama tidak melanggar illat larangan ayat tersebut.

Darimana diambil illat larangan itu adalah berkhianat, bukan semata soal kekufurannya?

1. Periksa 3 asbabun nuzul yang berbeda yang semuanya mengisyaratkan soal al muwalah yang meninggalkan umat (min dunil mu’minin)

2. Imam al-Razi mengatakan yang tidak boleh itu mengangkat non-muslim sendirian. Tanpa didampingi muslim. Dengan demikian menurut beliau kata kuncinya adalah tidak meninggalkan/berkhianat kepada umat.

Kalau illatnya soal kekufuran maka penggunaan “qiyas awlawi” dengan mengatakan, mengangkat non-muslim sebagai sekutu atau kawan setia saja tidak boleh apalagi sebagai pemimpin, maka secara mutlak diharamkan memilih non muslim sebagai pemimpin.

Kenyataannya Imam Al Mawardi membolehkan non-muslim menjabat sebagai wazir tanfidz, karena wazir tafwidnya Muslim.

Begitu juga Syekh Ali Gomaa membolehkan wakil presiden non-Muslim mendampingi presiden yang muslim. Syekh Yusuf Qardhawi juga membolehkan hal serupa. Artinya illat kekufuran sebagai larangan gugur di sini. Illat yang tepat adalah tanpa berkhianat atau meninggalkan umat.

Itulah sebabnya dalam sejarah kita mendapati fakta ini:

Pada masa kekhalifahan Mu’awiyah, yaitu pada khalifah Umawi pertama Mu’awiyah bin Abu Sufyan (41-61H/661-680M), mengangkat bendahara seorang pendeta Kristen dari Damaskus yaitu pendeta John.

Begitu juga pada masa khalifah ‘Abbasiyah dan di bawah kekuasaan Sultan Buwayhiyah, menteri luar negeri, menteri urusan perang dan pertahanan, serta menteri keuangannya sering kali adalah orang Kristen.

Di bawah kekuasaan khalifah ‘Abbasiyah ke-16 al-Mu’tadhid (Abu’l-Abbas al-Mu’tadid bi-llah Ahmad ibn Talha al-Muwaffaq) (892-902M), seorang Kristen taat bernama ‘Umar bin Yusuf, diangkat sebagai gubernur Provinsi al-Anbar, Irak. Nashr bin Harun, juga seorang Kristen, bahkan dipercaya menjadi perdana menteri di masa ‘Adud ad-Daulah (949-982M), penguasa terbesar Dinasti Buyid di Iran.

Di bidang militer, sebuah lembaga yang sangat penting dalam sebuah pemerintahan, tentara Muslim lebih dari sekali dipimpin oleh seorang jenderal Kristen; contohnya seperti pada masa khalifah ‘Abbasiyah ke-15 al-Mu’tamid (Abul-Abbas Ahmad al-Mu’tamid) (870-982), ketika komando dipercayakan kepada seorang opsir militer Kristen bernama Israel, atau pada masa khalifah ‘Abbasiyah ke-18 al-Muqtadir (Ja’far al-Muqtadir Billah ibn al-Mu’tadid ibn Ahmad ibn al-Mutawakkil) (908-932), ketika seorang Kristen juga ditugaskan mempertahankan Kekhalifahan. Wa Allahu a’lam bi al-Shawab. (*)

Tabik,

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School.

Terkait

SYARIAH Lainnya

SantriNews Network