Refleksi Kemerdekaan: Santri, Patriot Merah Putih

Saat ini, sebagian orang memahami Pesantren adalah Institusi yang mengajarkan paham radikalisme. Paham yang bertentangan dengan jati diri bangsa, paham yang lebih bernafsu untuk mensyariatkan segala aturan yang ada.

Paham, yang akan mengerogoti terhadap nilai-nilai kemerdekaan dan kemanusian bangsa Indonesia. Mereka, beranggapan bahwa ideologi yang dianut oleh pesantren adalah ideologi yang menyimpang dari ideologi pancasila dan NKRI.

Tuduhan ini tidak terlepas dari sebagian Pesantren instan, yang hanya menjadikan sebagai media untuk memodifikasi agama. Beberapa tahun yang lalu, pernyataan ini diungkapkan pemerintah, karena menemukan pesantren telah mengajarkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan budaya bangsa dan dipandang membahayakan keutuhan NKRI.

Memang, ada Pesantren yang menganut paham radikal, akan tetapi itu hanya satu dan dua diberibu-ribu Pesantren yang ada. Yang lain melaksanakan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan ideologi Pancasila dan NKRI.

Berbicara pesantren, tidak lepas dari ajaran keagamaan, karena semangat terwujudnya Pesantren adalah berkeinginan untuk menjaga tradisi ajaran Ahlusunnah Wal-jamaah. Ajaran keagamaan tidak bisa di informasikan saja, kepada seluruh umat Muhammad. Namun harus adanya sistem dan mekanisme baik, agar terwujud cita-cita mulia dalam kehidupan nyata.

Menginformasikan tanpa adanya sebuah pendidikan, pembiasaan dan pengawalan, maka membumikan ajaran ahlusunnah wal-jamaah tidak bisa diharapkan. Menciptakan ajaran keagamaan agar terlaksana dengan baik, diperlukan adanya upaya sosialisasi dan penanaman kepada diri individu umat.

Pondok Pesantren bukan ideologi melainkan wadah tepat untuk membumikan nasionalisme agar tertanam hingga menjadi karakter bangsa. Sedangkan nasionalisme adalah ideologi yang harus tertanam pada setiap individu. Hingga mencintai tanah air, terpatri dalam kehidupannya. Menghormati ideologi Negara yang telah menjadi kesepakatan ammah, dan ini menjadi salah satu ajaran agama. Sebaliknya, menentang nilai-nilai jati diri bangsa (ideologi) merupakan sikap pembangkang yang telah merusak iman yang telah di ikrarkan.

Secara redaksional tidak ada kalimat dalam hirarki pancasila menyebutkan bahwa mempercayai ideologi Negara sebuah kewajiban bagi anak bangsa. Namun, secara subtansional keimanan akan hal ini, merupakan ciri manusia beriman yang hakiki. Menjunjung tinggi ideologi bangsa merupakan kunci kesempurnaan iman seseorang.

Pesantren dan Nasionalisme yang berjalan beriringan, agar tercipta, ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang beradab, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan perwakilan dan keadilan seluruh bagi rakyat Indonesia.

Nasioanalisme Wujud Kualitas Iman
Iman yang baik adalah iman yang membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengnan perbuatan. Sebagai media penggemblengan pesantren selalu berupaya menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan, tetap menjaga tradisi ajaran keislaman ditengah-tengah arus globalisasi.

Manusia yang mempunyai kualitas iman yang baik, maka akan tunduk kepada nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bangsa demi terciptanya masyarakat. Manusia yang tidak mempunyai kualitas iman yang sempurna, sikap kecendurangan untuk melakukan ha yang tidak baik (menentang, tidak menghargai) akan mudah terlintas dalam pikirannya.

Rasulullah sebagai pribadi unggul, masih tetap menghargai kemajemukan. Ia tidak pernah melakukan gerakan perjuangan yang arogan. Membumikan nilai kemaslahatan selalu menjadi ruh perjuangannnya, dalam mentranmisikan ajaran-ajaran ilahiyah. Kesempurnaan iman seseorang akan termaktub dalam prilaku kesehariannya. A

dalah Quraisy Shihab seorang ulama tafsir terkemuka mengatakan bahwa iman akan melahirkan aman dan membuat orang lain nyaman. Keimanan tidak bisa di dapatkan apabila pikiran dan hatih masih kotor dan menyimpan kebencian. Iman terlahir dari pribadi yang suci.

Pesantren, Laboratorium Nasioanlisme Santri
Nasionalisme kaum sarungan (santri) tidak perlu dipertanyakan, mereka menciptakan kemerdekaan dengan semangat patriotisme yang cukup tinggi. Mempertahankan merah-putih dalam semangat kemandirian, kerjasama, kesederhanaan, kesopanan tidak hanya dimaknai sebagai pelatihan diri. Namun, lebih mengekspresikan kemerdekaan dalam wujud yang sebernarnya. Kemerdekaan anak Pesantren ada yang mempertanyakan, padahal segala tindakannya adalah kemerdekaan itu sendiri.

Pesantren mengajarkan kemerdekaan bangsa, dengan budaya dan pelaksanaan yang berbeda. Sikap tasamuh, tawazun, ta’adul adalah sikap pesantren untuk menanamkan ideologi negara pada anak bangsa. Meski menghormati kemerdekaan secara lughawi adalah melaksanakan upacara 17 agustus dalam rangka memperingati kemerdekaan yang telah di proklamirkan.

Pesantren, memasukkan cinta terhadap tanah air menjadi sebuah ideologi tak terbantahkan lagi, sebut saja, Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Di Pesantren ini, kesadaran berbangsa dan bernegara (alwa’yu syu’bi wal hukumi) menjadi semangat dalam melaksanakan pendidikan di pesantren ini. Terbukti, banyak tokoh bangsa terlahir dari pesantren, mulai dari tokoh politik, tokoh agama, tokoh sosial, tokoh budaya dan tokoh-tokoh yang yang lain.

Alhmarhum KH. Zaini Mun’im Pendiri dan Pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid menyampaikan bahwa “ia mendirikan pesantren tidak hanya ingin mencetak santri menjadi kiai saja, namun, juga ingin mencetak manusia yang bermanfaat bagi agama , Bangsa dan Negara. Kalimat ini, merupakan subtansi dari pernyataan yang ia sampaikan. Artinya, mencitai tanah air dan memikirkan nasib bangsa adalah tugas utama bagi siapa saja yang hidup di negeri ini. proses pendidikan dan pengajaran sangat berjalan berkelindang dengan keinginan Negara begitu pula pesantren lainnya.

Karena, kemerdekaan itu bukan hanya terpasangnya umbul-umbul merah putih untuk menyambut 17 Agustus. Kemerdekaan yang hakiki adalah menjadikan diri manusia sebagai manusia yang utuh. Bebas berfikir, berekspresi dan melakukan aktifitas lainnya. Tanpa ada intimidasi dan pengawasan dari berbagai unsur. Menciptakan suasana merdeka adalah cita-cita bangsa, hal ini membutuhkan keseriusan Negara dalam melakukan pembinaan, pembelajaran dan pengayoman.

Lahirnya teks proklamasi kemerdekaan berbarengan dengan semangat kemerdekaan anak bangsa dari segala penjajahan, baik penjajahan fisik dan non fisik. Hari ini kemerdekaan masih dipertanyakan, sebab, seringkali didapatkan penjajahan verbal dan non verbal dialamatkan kepada anak bangsa. Kemerdekaan seakan milik segelintir orang yang mampu melaksanakan, andai kemerdekaan itu dipahami sebatas pemasangan benner, upacara dan atribut lainnya. Sejatinya kemerdekaan adalah hak suatu bangsa oleh sebab itu, penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. (*)

Ponirin Mika, Pegiat di Komunitas Critical Sosial Researh, dan Sekretaris Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network