Ayat-Ayat Al-Quran Menyesatkan dari Jalan Allah?

Sempat terkaget membaca argumen bantahan al-Ghazali terhadap dalil yang dijadikan landasan pengharaman musik. Ulama yang mengharamkan musik berdalil antara lain dengan ayat 6 surat Luqman yang artinya: “Ada sebagian manusia yang membeli lahwa al-hadits (dengan imbalan agama).”

Menurut penafsiran Ibnu Mas’ud, Hasan Basri, dan an-Nakha’i, yang dimaksud lahwa al-hadits adalah ‘nyanyian-musik”. Sehingga menurut ulama yang mengharamkan musik makna ayat itu adalah: “Ada sebagian orang yang menjual agamanya dengan nyanyian/musik”. Dengan demikian, nyanyian-musik hukumnya haram.

Menurut al-Ghazali, tidak demikian. Tidak semua orang yang benyanyi dan bermusik bermaksud menjual agamanya. Jika bernyanyi dan bermusik dimaksudkan menjual agama, ya jelas saja haram. Jangankan musik, kata al-Ghazali, membaca atau menafsirkan al-Qur’an saja jika dimaksudkan untuk menyesatkan dari jalan Allah maka haram hukumnya.

Al-Ghazali mengutip riwayat kisah prilaku kaum munafik yang menggunakan ayat al-Qur’an untuk menyerang dan merendahkan Rasulullah. Dikisahkan, ada seorang munafik yang seringkali menjadi imam shalat, setiap kali menjadi imam shalat ia selalu membaca surat “abasa wa tawalla”, dengan tujuan menyindir-nyindir Nabi, seakan orang munafik itu akan mengatakan pada jamaah, itu lihat Nabi-mu yang bermuka masam dan berpaling ketika orang buta bertamu.

Ayat ini memang teguran kepada Rasulullah, tetapi hakikatnya sebagai “tadzkirah” peringatan bagi kaum muslimin agar tidak membeda-bedakan kepada siapapun, termasuk orang dengan disabilitas. Namun dibelokkan oleh munafik untuk merendahkan Nabi. Inilah ayat yang digunakan untuk menyesatkan dari jalan Allah.

Saya teringat pada kisah seorang ulama yang enggan membaca ayat “tabbat yadaa abi lahabin wa tabba” hanya karena takut terbersit di dalam hatinya “kebencian kepada Abu Lahab” yang ia adalah paman Nabi.

Penggunaan ayat untuk tujuan yang tidak benar sesungguhnya telah pernah terjadi di masa sahabat. Ketika itu, konon kelompok Mu’awiyyah menggunakan ayat “la hukma illa lillah —tidak ada hukum kecuali hukum Allah” untuk tujuan siasat perang ketika kelompok Mu’awiyyah nyaris kalah dalam peperangan.

Ketika kelompok Sayyidina Ali bin Abi Thalib menerima seruan kelompok Mu’awiyyah, Sayyidina Ali menolaknya. Ali mengatakan “kalimatu haqqin urida bihi al-bathil —ia adalah kalimat yang benar, namun dimaksudkan untuk kebatilan”.

Sayyidina Ali menyadari bahwa ayat “la hukma illa lillah” itu telah digunakan oleh kelompok sana sebagai siasat perang dan menyesatkan. Namun apa daya seruan Ali bin Abi Thalib tersapu oleh pemahaman tekstualis kelompoknya. Akhirnya, terjadilah apa yang terjadi. Kelompok Ali pun mengalami kekalahan yang mengecewakan. Bukan hanya kekalahan, tetapi disertai dengan terbelah-belahnya umat Islam menjadi beberapa faksi dan dikuti oleh pertumpahan darah yang berkepanjangan.

Hari ini, kita juga sering dihadapkan pada benturan-benturan ayat maupun hadits yang dihadap-hadapkan oleh kelompok-kelompok yang memiliki ideologi-ideologi yang berbeda. Ada banyak hadits atau ayat yang digunakan untuk mengkafirkan, menyesatkan, memurtadkan kelompok yang lain disertai dengan fatwa “halal darahnya”.

Miris memang, tetapi begitulah faktanya. Apakah itu memang watak agama? Akankah sejarah terus berulang? ataukah akan segera berakhir? siapa yang akan mengakhirinya? Wallahu A’lam. (*)

Situbondo, 22 Juli 2021

Terkait

FIKRAH Lainnya

SantriNews Network