Optimisme dan Masa Depan Umat

Tak dipungkiri jika umat saat ini berada di posisi “persimpangan jalan” (crossroads). Umat terhimpit di antara pesimisme yang kronis dan optimisme yang tinggi. Bahkan tidak berlebihan jika saya mengistilahkan umat berada di antara harapan dan keputusasaan.

Realita umat di berbagai belahan dunia, baik di dunia mayoritas maupun minoritas cukup memprihatinkan. Muslim yang terzalimi di berbagai belahan dunia belum belum juga memperlihatkan tanda-tanda yang membaik. Dari Kashmir, Afghanistan, Iran, Rohingya, Suriah, dan yang klasik Palestina, semakin hari semakin berat.

Sementara itu, dengan kebangkitan nasionalis putih di negara-negara Barat menjadikan Muslim minoritas di berbagai negara-negara itu juga menjadi bulan-bulanan. Islamophobia dan sentimen anti Islam semakin berani dan menjadi-jadi.

Bahkan boleh jadi pada tataran tertentu Islamophobia, rasisme, anti Semit, xenophobia, anti non putih dan imigran seolah menjadi bagian dari sistem di beberapa negara Barat. Dan umat Islam dalam hal ini kerap menjadi korban berlipat ganda Selain Muslim, juga dianggap pendatang dan non putih.

Pada saat yang sama umat di negara-negara Muslim mayoritas mengalami krisis yang cukup memprihatinkan. Friksi antar negara-negara Islam yang kerapkali diatasnamakan membela “Islam” sangat menyakitkan. Demikian pula perpecahan internal umat dalam negara mayoritas Muslim yang satu cukup menyedihkan, bahkan memalukan.

Wajah umat yang demikian cukup menjadi alasan untuk menjadikan umat ini optimis, bahkan hilang harapan.

Namun di sisi lain, umat juga punya semua alasan untuk optimis. Di tengah kelamnya ragam tantangan yang dihadapi, Islam sebagai agama terus mengalami perkembangan yang tidak terhalangi (unchallenged).

Di dunia minoritas Muslim terus mengalami pertumbuhan yang signifikan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Di Amerika misalnya jumlah warga Amerika yang masuk Islam setiap tahunnya semakin membesar, walaupun menghadapi tantangan-tantangan tersendiri. Menurut estimasi sebagian, jumlah warga Amerika yang masuk Islam berkisar 20.000 per tahun.

Maka dengan sendirinya sesungguhnya saat ini, tanpa menunggu tahun 2050, umat Islam menjadi umat terbesar dunia. Tentu jika pengikut agama Kristen dibagi menjadi dua bahagian yang memang berbeda: Protestan dan Katolik.

Tapi barangkali alasan optimisme terbesar adalah potensi umat, baik yang di negara-negara minoritas maupun negara-negara mayoritas Muslim. Potensi yang saya maksud adalah potensi dalam ragam aspeknya, baik aspek SDA (sumber daya alam) maupun SDM (sumber saya manusia).

Ambillah sebagai contoh Muslim Amerika. Secara umum SDM umat Muslim Amerika melebihi warga secara pada umumnya. Komunitas agama yang bersaing di Amerika adalah komunitas agama Islam dan Yahudi. 56% umat di Amerika berumur 40 tahun ke bawah. 47% anak-anak umat minimal berijazah S1.

Pendapatan umat Islam secara rata-rata juga lebih tinggi dari rata-rata pendapatan warga Amerika. Artinya, komunitas Muslim Amerika itu muda-muda, terdidik dan memiliki kemapanan hidup yang baik.

Dengan realita persimpangan jalan ini, pertanyaan yang kemudian timbul adalah kemana kira-kira arah pergerakan umat ke depan? Akankah mengarah dan berakhir di ujung pesimisme itu? Ataukah sebaliknya akan berlaju menuju ke ujung optimisme?

Saya pribadi selalu memakai kacamata optimisme bahwa akhirnya umat ini akan berada di posisinya yang sejati sebagai “khaer ummah” (umat terbaik). Atau meminjam istilah orang lain, umat ini adalah umat pilihan (the chosen nation).

Tentu pandangan saya ini bukan tanpa alasan. Tapi dengan alasan yang solid, baik secara teologis maupun secara fakta historis perjalanan umat ini.

Secara teologis jelas: “يريدون ليطفئوا نورالله بافواههم والله متم نوره ولوكره الكافرون

“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah. Tapi Allah menyempurnakan cahayaNya kendati orang-orang kafir itu membenci”

Bahwa usaha apapun untuk menghadangnya cahaya kebenaran ini tidak akan terhalangi (unchallenged). Bahkan sedemikian tegasnya fakta ini sehingga Allah menempatkan dirinya sebagai “pelaku” (penyempurna). Bukan sekedar menyempurnakan.

Sementara alasan historis jelas bahwa umat ini dengan segala dinamikanya pada akhirnya menjadi umat yang solid dan dihormati. Mungkin contoh terdekat bagi kami di Amerika adalah tragedi 9/11. Betapa banyak yang menganggap peristiwa 9/11 itu sebagai kuburan Islam. Ternyata Allah yang membolak balik realita menjadikannya sebagai tunas subur pertumbuhan Islam di bumi Barat.

Harapan Bukan Angan-angan
Lalu langkah-langkah apa saja yang harus dilalui untuk merealisasikan harapan itu. Hal ini menjadi sangat penting agar harapan itu tidak sekedar angan-angan panjang bagi umat.

Saya melihat ada minimal tujuh langkah-langkah mendasar yang umat ini harus jalani. Ketujuh langkah itu terangkum dalam sebuah surah Al-Quran: الصف atau barisan.

Pertama, pentingnya umat ini untuk kembali menyadari dan meraih “modal langit”. Apapun realita bumi ini, jika mengalami keterputusan dari modal langit, atau tepatnya kekuatan langit, maka semuanya akan menjadi lemah dan pupus.

Modal langit yang kita maksud adalah menghadirkan “tasbiih” (kemaha besaran) Allah dalam kehidupan umat. Umat menjadi kuat hanya dengan Allah. Dan umat menjadi lemah tanpa dengan Allah.

Kedua, pentingnya umat ini untuk berkaca secara kolektif. Penyakit berbahaya itu, baik secara individu maupun kolektif adalah merasa lebih suci bahkan sempurna. Selain bisa berwujud kesombongan, juga menjadikan seseorang atau kelompok orang tidak ingin lagi melakukan perubahan, perbaikan dan penyempurnaan.

Cara untuk menjaga umat agar tidak terjatuh ke dalam perasaan suci dan sempurna itu adalah dengan berkaca secara kasih kolektif. Mungkin dalam bahasa yang lebih popular, umat ini diharuskan berani melakukan introspeksi bahkan membangun karakter “self criticism” (berani mengeritik diri sendiri).

Ketiga, umat ini dituntut untuk mampu membangun “shof”. Bukan sekedar pintar berkerumun. Shof itu dapat terbangun pertama kali dengan hadirnya visi yang sama. Bukan sekedar kepentingan yang sama. Visi itu mendasar sifatnya. Sementara kepentingan sering terbatas dan sempit. Karenanya shof perlu dibangun dalam segala lini kehidupan umat.

Keempat, umat perlu kembali kepada sistim beragama yang apa adanya. Atau memakai kalimat yang lebih tegas, umat ini dituntut untuk jujur dalam beragama. Jujur yang kita maksud adalah beragama tanpa tendensi atau tujuan lain selain tujuan agama itu sendiri. Yaitu membangun kehidupan dengan relasi yang solid kepada kedua aspek kehidupan; verticale dan horizontal. Jujur berislam di masjid-masjid. Tapi juga jujur berislam di pasar, bahkan parlemen.

Kelima, pentingnya umat ini memahami dan mengantisipasi bahwa perang terbesar yang kita hadapi saat ini adalah perang persepsi atau imej. Untuk memenangkan perang imej atau persepsi ini umat dituntut untuk menguasai media. Selama media masih dikuasai oleh orang lain, selama itu pula umat ini akan menjadi mainan informasi liar, yang tanpa malu-malu mendistorsi wajah Islam dan umat.

Keenam, umat dituntut untuk melakukan kerja-kerja keras dan professional yang mampu melahirkan karya-karya yang menopang terbangunnya peradaban dunia alternatif. Kerja keras yang berorientasi karya inilah yang disebut “jihad”. Maka jihad bukan konsep destruktif. Tapi konsep konstruktif untuk membangun peradaban manusia.

Ketujuh, umat ini harus konsisten dalam perjuangan, tegar bagaikan karang dalam samudra. Ketegaran ini juga harus terbangun di atas harapan dan optimisme yang tinggi. Karena pada akhirnya:

“Maka Kami (Allah) menguatkan orang-orang beriman, maka mereka menjadi orang-orang yang menang”.

Modal Langit dan Bumi
Saya ingin menutup secara khusus bahwa Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia memiliki semua alasan untuk optimis dan menang. Negara besar, jumlah penduduk besar, negara kaya, dan tentunya keindahan alam dan manusianya.

Tapi alasan terkuat kenapa Indonesia akan menjadi bangsa menang, bahkan menjadi pemimpin global (اماما للناس) adalah karena bangsa ini memiliki dua modal utama yang tak terpisahkan; modal langit dan bumi.

Bangsa ini adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan spiritualitas. Itulah modal langit yang dimaksud.

Negara ini adalah negara besar yang kaya raya. Sungguh sangat luar biasa kekayaan alamnya, baik di laut maupun di darat. Itulah yang dimaksud dengan modal bumi.

Karenanya bangsa ini jangan pernah mencoba-coba memisahkan modal langit (agama) dan moda bumi (negara). Karena keduanya telah menyatu bagaikan darah daging bangsa ini.

Di sini pulalah idealnya negara Indonesia. Memang bukan negara agama. Tapi agama telah ditakdirkan sebagai nafasnya. Tanpa agama maka negara ini akan mati suri.

Akhirnya modal langit dan bumi itu hanya akan terwujud dan berdaya guna jika dibangun di atas asas iman dan takwa. Allah menggaris bawahi itu dengan firman-Nya:

ولو امن أهل الكتاب واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماوات والأرض

“Kalau sekiranya penghuni negeri itu beriman dan bertanya maka akan kubukakan bagi mereka berkah-berkah langit dan bumi”.

Semoga umat ini mampu membangun optimisme di tengah ragam permasalahan dan tantangan yang dihadapinya. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan dan pertolonganNya dalam mengarungi samudra kehidupan yang penuh ombak yang deras. Amin!

Dubai Airport.

Imam Shamsi Ali, Imam besar Masjid di Kota New York, Amerika Serikat, Presiden Nusantara Foundation.

Terkait

FIKRAH Lainnya

SantriNews Network