Haji-Umrah

Terulang, Ini Cerita Insiden Mina Tahun 2004 (1)

Jamaah Haji saat melempar jumrah di Mina (santrinews.com/alarabiya)

INSIDEN Mina kembali terjadi. Tahun 2004 lalu peristiwa yang sama pernah terjadi di Jumrah Aqabah Mina yang menyebabkan ratusan orang meninggal. Korban meninggal termasuk di dalamnya adalah 54 haji asal Indonesia, sementara puluhan haji mengalami cedera.

Kala itu, banyak analisis dihadirkan sejumlah pejabat, antara lain ada pejabat yang mengatakan jamaah terlalu ingin cepat-cepat melempar jumrah. Ada lagi yang menyebutkan mereka terlalu memaksakan diri untuk mengambil waktu yang paling afdol guna melempar jumrah.

Waktu afdol, menurut sunah Rasul, adalah sekitar duha sampai sebelum zuhur. Sementara jadwal pelemparan jumrah untuk jamaah haji pada hari pertama tersebut sebenarnya setelah shalat ashar.

Masitoh (15), salah seorang jamaah haji, menceritakan tragedi itu kepada Suara Merdeka. Saat ditemui di Rumah Sakit Gawat Darurat Muaishim, dia bersama ibunya, Nuri, datang ke rumah sakit untuk mengidentifikasi jenazah ayahnya, Sumadi (48). Ayahnya perajin kuningan dan tembaga yang sukses di RT 1/RW 2 Desa Pohlandak, Kecamatan Pancur, Rembang.

Masitoh yang masih duduk di kelas 1 MAN Lasem itu menceritakan, rombongannya berangkat jalan kaki pada pukul 08.00 WAS ke tempat pelemparan jumrah Aqabah. Begitu sampai di sana, satu jam kemudian rombongan memilih melempar di jembatan layang. Suasana memang sudah padat. Namun mereka memaksa masuk ke dekat bibir sumur jumrah.

Saat itu desak-desakan terjadi di atas jembatan yang hanya memiliki kapasitas 200.000 orang per dua jam. Masitoh dan ayahnya terjepit, sementara Ny Nuri berada di belakang mereka. Masitoh meminta ayahnya untuk mundur saja. “Wis ora isa mundur, Nduk (Sudah tidak bisa mundur, Nak),” jawab Sumadi. Saat itu jamaah yang saling berdesakan itu ambruk beruntun. Ketiganya terjatuh dan terinjak-injak.

Masitoh merasakan tubuh jamaah lain menindih tubuhnya. Dia juga melihat jamaah yang datang kemudian seakan-akan tak peduli atas situasi tersebut. Mereka terus saja melangkah menginjak yang terjatuh, dan tetap melempar jumroh. Ada yang berhasil melempar, namun ada yang kemudian juga ikut jatuh dan terinjak. Masitoh merasakan makin banyak tubuh tak bergerak yang menindih dirinya.

Hampir satu jam, dia tertimbun mayat-mayat jamaah. Dia pun sudah merasa di saat itu ajalnya tiba. Dia masih ingat ayah dan ibunya, tapi tak bisa apa-apa lagi. Ketika antara sadar`dan tidak, dia melihat tubuh-tubuh itu diangkat petugas kesehatan, dia berusaha menggapai tangan petugas. Tapi keburu pingsan dan tak ingat apa-apa.

Dia sadar ketika ada air dingin mengguyur tubuhnya. Rupanya dia sudah dibaringkan di tempat penyucian jenazah RS Muaishim. Mungkin karena banyak mayat, petugas mengira dia sudah meninggal dan membawa dia ke penyucian jenazah. Dia kemudian diurus petugas. Masitoh menjumpai ibunya yang selamat. Ny Nuri luka memar di dahi. Namun mereka harus menghadapi kenyataan bahwa orang yang mereka cintai tak selamat dari tragedi di Jamarat Aqabah.

Kemarin, Masitoh diminta oleh Menteri Agama yang ke RS Muaishim untuk ikut mengidentifikasi jenazah Ny Siti Qomariah (40), warga Rembang yang juga meninggal akibat musibah di Jamarat. Dia menyatakan, tidak tega melihat jenazah ayahnya. “Cukup melihat foto jenazah yang dibuat rumah sakit ini,íí katanya. Diceritakannya pula, Siti Qomariah pernah menyatakan, ííKalau nanti pulang, saya tak mau menemui para tamu. Saya mau tidur saja.” “Ternyata Bu Qomariah tidur selamanya di Tanah Suci,“katanya.

Sementara itu, Tinggih (54) dari Makassar menceritakan kisah sedih yang dialami rekan-rekan satu rombongannya itu. Tinggih termasuk jamaah yang diajak tim kesehatan Indonesia untuk mengecek jenazah rekan satu rombongannya yang wafat di Jamarat Aqabah.

Dia bercerita, pada 10 Dzulhijjah (Minggu,1/2) berangkat dari Arafah ke Muzdalifah. Dini hari sekitar pukul 03.15 WAS, rombongannya bergerak dari Muzdalifah menuju Mina. Mereka sebelumnya berhenti di Muzdalifah untuk mengambil kerikil yang akan dipergunakan untuk melempar jumroh. Sampai di tenda mereka di Mina sekitar pukul 05.30. “Kami istirahat sejenak, karena semalaman sejak dari Arafah tidak tidur. Kebanyakan dari kami yang sudah tua merasa sangat lelah. Tetapi kami tak bisa tidur, karena harus siap-siap melempar jumroh,“katanya.

Sekitar pukul 08.00, rombongannya berjalan kaki menuju tempat pelemparan di Jumrah Aqabah. Mereka lewat terowongan Mina dan menempuh jarak 2,5 km dari perkemahan ke lokasi jumroh. Pada hari pertama jumroh itu, memang jamaah hanya melempar di Jumrah Aqabah. Sementara Jamarat Ula dan Wustha dilempar pada hari kedua, ketiga, dan keempat.

Situasi di Aqabah sudah sesak, namun sebenarnya tidak sepadat pada waktu menjelang shalat zuhur. Rombongan Tinggih sampai di lantai dasar Aqabah sekitar pukul 09.30. Ketentuan melempar di Aqabah yang hanya separo sisi menyebabkan jamaah terkonsentrasi pada sisi tempat melempar tersebut. Rombongan dari Ujung Pandang itu kemudian maju mendekat ke Aqabah dan siap melempar jumroh.

Pada saat itu ada rombongan dari Turki yang juga akan masuk. Tubuh mereka yang besar-besar bagai tak terbendung merangsek maju ke bibir lubang jumroh. Pada saat bersamaan, satu rombongan dari Afrika hendak keluar setelah usai melempar. Seorang wanita Afrika terlepas dari genggaman suaminya, tersapu rombongan Turki. Dia terjatuh dan langsung terinjak-injak. Si suami yang sudah berhasil keluar dari kerumunan menjadi histeris. Dia masuk lagi, dan mengamuk memukuli rombongan yang masuk tadi.

Rombongan Tinggih berada di tengah-tengah situasi yang ruwet itu. Perkelahian terjadi ketika teman-teman si suami ikut menimbrung. Saling dorong dan desak-desakan pun terjadi.

Tinggih yang mampu keluar dari tengah-tengah kekisruhan itu melihat banyak rekannya yang kemudian terjatuh. Nasib mereka selanjutnya sungguh mengenaskan. Jamaah Makassar yang belum tidur semalaman itu terlalu lemah untuk membebaskan diri dari dalam kekisruhan itu. Banyak dari mereka yang terjatuh, kemudian terinjak-injak.

Hal sama diceritakan Dra Sriyana, kloter 79 Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. “Saya melihat rekan-rekan satu rombongan banyak yang jatuh dan terinjak-injak. Desak-desakan terjadi setelah ada kelahi antara orang kulit hitam dan kulit putih. Rombongan saya terjebak di tengah perkelahian itu,” ujarnya kala itu. (ahay)

Sumber : Suara Merdeka, edisi Rabu, 4 Februari 2004.

Terkait

Fokus Lainnya

SantriNews Network