Dimas Kanjeng, Bisnis Jimat dan Masyarakat Klenik

Oleh: Ihsan Maulana

Saat saya menunggu waktu subuh di Canberra, Australia, iseng-iseng saya membuka medsos. Saya lihat di beranda ada beberapa postingan tentang acara di sebuah stasiun TV Indonesia tentang Dimas Kanjeng Taat Pribadi, seorang fenomenal dari Probolinggo Jawa Timur.

Dimas Kanjeng dikenal sebagai orang yang bisa menggandakan atau mengadakan uang dalam jumlah miliaran dan bahkan triliunan. Saat artikel ini ditulis, ia menjadi tersangka kasus pembunuhan dan sejumlah kasus penipuan.

Saya tertarik karena desas desus tentang kemampuannya ini sering kali saya dengar saat dulu saya berada di Surabaya. Saya pun mencoba mencarinya di Youtube tentang acara dimaksud. Betapa kagetnya saya setelah melihat acara tersebut, orang-orang yang berkumpul rata-rata saya kenal. Mulai dari akademisi hingga pengacaranya.

Dalam acara tersebut, ada hal yang menarik, yaitu ditunjukkan dan disebutkannya sejumlah benda-benda yang diklaim dijual oleh Dimas Taat Pribadi. Benda-benda itu antara lain adalah air gaib yang harganya sampai ratusan juta rupiah, benang putih sebagai tanda keanggotaan, kotak ATM yang harganya sampai 10 juta, balpoint laduni tujuh bahasa, jimat berbentuk kain yang ditulis dengan tulisan Arab, dan lain sebagainya.

Ingatan saya langsung mengembara ke tahun 2000-an, saat seorang kawan, umurnya jauh lebih tua dari saya menjual benda-benda beginian. Suatu ketika dia mempersilahkan saya ke tempatnya di kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Saat itu ia menunjukkan saya banyak benda yang tidak saya kenal namanya.

Penasaran saya pun bertanya, “Yang kotak hitam ini apa namanya?” dia jawab, “potongan kain ka’bah”. “Kalau yang warna hijau itu” tangan saya menunjuk sebuah kotak ukuran 3×3cm berwarna hijau. “Owh itu jimat keselamatan,” katanya menjelaskan.

Tidak menunggu lama dia sudah menangkap bahwa saya tertarik untuk mengetahui benda-benda itu dan kemudian tanpa saya bertanya dia menjelaskan hampir semua benda yang ada di depannya. Dia menjelaskan dari minyak mahabah, jimat kebal, hingga jimat penglaris rizki.

Saya iya-iyakan saja. Iseng saya tanya, “Harganya berapa?”. Ia kemudian menyebut angka mulai dari puluhan ribu sampai ratusan ribu. Saat itu saya tanya ke dia, “dapat barang beginian dari mana kau?”. Dia menyebut nama seorang “kiai” di sebuah desa di Pamekasan.

Suatu kesempatan lain, saya diajak oleh anggota keluarga ke seorang yang katanya “kiai” di Bangkalan. Istilah kiai di Jawa Timur itu terkadang bercampur aduk antara ahli agama dan dukun (ini pulalah kenapa sampai sekarang terjadi perdebatan yang dibunuh di Banyuwangi tahun 1998 itu kiai atau dukun?).

Rupanya keluarga saya tadi mengajak saya ke seorang kiai dukun (untuk menyebut orang yang berpakaian layaknya kiai tapi ia berprofesi sebagai dukun yang memberikan jimat dan benda-benda lain). Saya ikut karena saya menghormati saja.

Setibanya di sana, sang kiai dukun tadi memberikan saya jimat berbungkus warna hijau berukuran 4×4 cm tanpa saya minta. Jimat itu katanya harus saya bawa ke mana-mana. Saya tidak menjawab iya atau tidak, saya hanya bilang terima kasih kepadanya.

Keluarga saya kemudian memberikan sejumlah uang kepada kiai dukun itu dan kami pun pulang. Setiba di rumah, karena saya penasaran, saya buka jimat itu. Ternyata isinya hanya kertas fotokopian tulisan Arab.

Betapa sebelnya saya saat saya mengetahui bahwa saya disuruh oleh seseorang membawa kertas fotokopian ke mana-mana. Ya jelas, saya tidak akan melakukan hal tersebut.

Di saat lain, saya bermain ke rumah salah seorang yang masih terhitung keluarga juga. saya lihat ada kertas putih bertuliskan rajah Arab di dinding di dekat pintu rumahnya, penasaran saya lihat dari dekat dan ternyata fotokopian juga.

Masyarakat Klenik
Banyak kalangan dari masyarakat kita adalah masyarakat klenik. Saya masih ingat ada satu majalah klenik yang pada masa tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an berjaya di Indonesia, namanya majalah Liberty.

Majalah Liberty ini adalah perpaduan antara cerita-cerita hantu nusantara, mulai dari sundel bolong, tuyul, sampai Nyi Roro Kidul. Yang unik itu adalah iklannya, karena iklannya itu khas, iklan para dukun yang jualannya itu aneh-aneh, mulai dari minyak penglaris, minyak pelet, minyak kejantanan, dan berbagai benda klenik lainnya. Jika banyak orang beriklan, berarti memang ada pasarnya.

Masyarakat klenik ini pada masa penyebaran Islam tidaklah dimatikan tapi coba ditandingi dengan mistis Islam. Maka wajar jika dalam cerita-cerita Walisongo kita akan mendengar kisah nampan terbang, keris kalamunyeng, gong harimau, berjalan di atas air, dan lain sebagainya.

Walisongo sebagaimana catatan Agus Sunyoto, berhasil mengislamkan masyarakat di pulau Jawa dan sekitarnya saat itu. Banyak para kiai dan ulama di kemudian hari memakai mistisisme ini sebagai jalan untuk berdakwah dan itu berhasil.

Saat hal ini berhasil, ternyata di kemudian hari, ada pula yang menggunakan kecenderungan masyarakat atas hal keklenikan ini untuk keuntungan pribadi. Mulai muncullah orang-orang yang menjual benda-benda klenik yang sebenarnya dahulu kala dipakai untuk berdakwah tapi sekarang digunakan sebagai bisnis dan jualan semata.

Mereka meminta mahar (untuk menyebut harga) tertentu untuk sebuah benda berupa jimat, air doa, dan lain sebagainya. Mereka seringkali menggabungkan sistem marketing tradisional dan modern. Menyebar orang untuk memberikan cerita khayal dan menggunakan media-media modern seperti majalah, koran, sosial media, dan youtube untuk menjaring pelanggan mereka.

Lebih hebatnya, mereka berhasil menggabungkan antara dunia perdukunan dan legitimasi agama untuk menyebarkan bisnis kleniknya. Maka wajar, jika di Jawa kita akan mengenal beberapa dukun yang biasa dipanggil kiai. Ia biasa memakai kopyah dan bahkan bersurban. Pekerjaan mereka sebenarnya adalah berjualan benda klenik.

Kenapa masyarakat banyak yang percaya beginian? Karena pada dasarnya kita itu takut pada hal-hal yang tidak kita ketahui dan seringkali berharap dari kekuatan lain di luar diri kita. Hal-hal ini oleh pihak-pihak tertentu digunakan untuk mencari uang dan mengumpulkan harta benda. Mereka berdiri atas ketidaktahuan masyarakat, ketidakberdayaan masyarakat atas situasi sosial ekonomi yang mendera mereka, dan keserakahan orang-orang atas keduniwian.

Klenik Islam
Di sisi lain, masih ada di luar sana, orang-orang yang memang mulia, yang mau memberikan air doa dengan ikhlas, dia enggan dipublikasikan, dan enggan diberi uang. Dia dengan ikhlas menulis jimat berupa doa-doa yang ia tulis dengan tangannya sendiri dan dia berikan secara gratis kepada orang yang membutuhkan.

Akan tetapi orang-orang seperti ini tidak mencari uang dari berjualan benda-benda tersebut. Mereka biasanya berjualan atau berbisnis hal lain yang tak ada hubungannya dengan apa yang ia berikan kepada orang.

Suatu kali, saya diminta ibu untuk menemui seorang Bendoro (putra kiai) di Bangkalan untuk meminta sesuatu bagi anggota keluarga yang saat itu ada di rumah sakit. Setelah sampai dan saya diantar paman, bendoro itu bilang, “Saya itu tidak mengobati orang. Saya hanya penjual ikan biasa saja”.

Akan tetapi setelah didesak dan karena kenal dengan paman, akhirnya sang bendoro tadi memberikan juga sepotong doa kepadaku agar aku bacakan di sisi si sakit dan juga memberiku benang putih untuk aku bawa. Saat saya akan memberinya uang, Ia tak mau, lalu ia pun berangkat ke pasar untuk membantu sang istri berjualan.

Saya tidak menafikan bahwa ada orang-orang semacam ini. Tapi tentu jumlahnya sangat sedikit sekali. Sebagai seorang Muslim dari kalangan tradisional, saya percaya bahwa memang ada hal-hal gaib di luar nalar kita, tapi sangat sedikit sekali dan sering kali mereka tidak mau menerima uang atau mau menerima uang tapi tak pernah mau memintanya dan tak pernah mempermasalahkan jumlah yang ia terima.

Dan seperti yang saya kemukakan di atas, biasanya mereka punya pekerjaan lain yang dapat mencukupi diri mereka. Mereka yang seperti ini biasanya tidak memakai pakaian-pakaian mencolok karena mereka tidak ingin dikenali dan tidak pernah berbicara apapun tentang karamah yang diberikan kepadanya. (*)

Ihsan Maulana, Dosen STAI Al Fitrah Surabaya, kini menempun studi doktoral di Australian National University, Australia.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network