Mbah Moen Berpulang

Habib Luthfi: Jangan Dikira Mbah Maimoen Orang Merdeka

Rembang – Rais ‘Aam Idarah Aliyah Jamiyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN) Habib Luthfi bin Yahya menyebut maqam KH Maimoen Zubair alias Mbah Maimoen sebagai pelindung Indonesia dari bala’ atau bahaya.

Demikian itu disampaikan oleh Habib Luthfi dalam peringatan 40 hari wafatnya KH Maimoen Zubair di kompleks Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Sabtu, 14 September 2019.

Habib Luthfi menceritakan ketika Rasulullah SAW didatangi oleh malaikat Jibril dan malaikat Izrail. Ketika itu Rasul bertanya bagaimana rasanya sakaratul maut. Kemudian doa terakhir Rasul adalah supaya semua beban sakit umatnya ditimpakan kepadanya, untuk menunjukkan bagaimana tanggung jawab seorang Rasul dan pimpinan terhadap umatnya.

“Waratsah ini telah sampai kepada para pewarisnya, jangan dikira orang-orang yang seperti Mbah Maimoen itu dikiranya orang merdeka, tidak. Ada khusushiyah dan beban umat dipundaknya dan dibawa mati oleh beliau,” tutur Habib Luthfi.

Ketua Forum Sufi Dunia ini menjelaskan bagaimana yang satu auliya menanggung bala’nya umat. Sedangkan di bagian lain ada yang memiliki himayah-himayah yang luar biasa.

Termasuk tugas Mbah Maimoen Zubair ini yang hamlul bala’ fil Indonesia, itu tugas beliau. Beruntunglah orang yang pernah mau mengambil ilmu dari beliau, walau dengan cara harfan. Allahu yanfa’una bibarkatihim.

“Dari situ kita juga bayangkan bagaimana perjuangan yang dibawa beliau, yakni dengan berkiblat kepada waliyyut tis’ah (Wali Songo). Kita tidak usah jauh-jauh mengambil contoh yang ada di Baghdad, Yaman. Cukup itu yang ada di Indonesia itu sudah komplit maqamnya,” tegasnya.

Cucu Habib Hasyim bin Yahya ini juga memaparkan bahwa untuk wali yang tingkatannya Qutbil Ghauts sendiri ada lebih dari 80 orang di Indonesia. Seperti Maulana Makhdum Ibrahim bin Sayid Rahmatillah atau biasa disebut Sunan Bonang yang terkenal sulthanul auliya’ fi Jawa. Kemudian Maulana Hasyim (Sunan Drajat), dan Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

“Ketiga itu himayatul Indonesia, payungnya Indonesia. Sampai sekarang payungnya Indonesia dipegang oleh beliau bertiga. Dan diteruskan regenerasi-regenerasi, belum Quthb-quthb lain yang setelah beliau. Yang di Jawa Timur, Jawa Tengah atau Jawa Barat, banyak sekali,” imbuhnya.

Habib Luthfi kemudian melontarkan refleksi kepada jamaah yang hadir bahwa orang-orang yang sekarang jadi ulama, kiai itu sudah enak. Tapi apakah kita tidak pernah berpikir, ketika eyangnya Mbah Maimoen Zubair pertama kali masuk Sarang ini.

“Apa dianggapnya wali-wali dahulu enak seperti kita sekarang ini? Menghadapi orang yang belum ngerti beriman, belum ngerti caranya bersuci. Yang dihadapi masih separuh telanjang dan sebagainya. Dengan sabar beliau itu selalu mengharapkan orang itu baik di hadapan Allah SWT,” jelasnya.

Habib Luthfi berpesan agar kita semua jangan menjadi orang yang madakhil qubur. Yaitu golongan yang bisanya hanya memuji ketika wali tersebut sudah wafat. Tetapi menyangsikan sebagian perilaku wali tersebut ketika wali itu masih hidup.

“Untung kita tidak menangi Sunan Kalijaga, yang mungkin saja akan banyak dari kita yang tidak percaya kalau beliau itu wali sebab metode dakwahnya dan sebagainya,” paparnya.

Habib Luthfi kemudian kembali mengajak seluruh hadirin untuk berefleksi. Menggugah ingatan bahwa kenikmatan hidup beragama sekarang ini merupakan jasa para wali terdahulu, jasa orang-orang seperti Mbah Maimoen.

“Tapi kemana sekarang Mbah Maimoen-Mbah Maimoen itu. Maka, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menumbuhkan Mbah Maimoen-Mbah Maimoen baru yang bisa menentramkan umat, menyatukan umat, meneduhkan umat, dan seterusnya,” tandasnya. (shir/nuo)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network