Survei LSI: Tren Intoleransi di Era Jokowi Masih Tinggi

Jakarta – Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terbarunya. Hasilnya ditemukan bahwa intoleransi masyarakat pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo masih cukup tinggi. Pemerintah belum ada upaya memperbaikinya.

“Ada gejala meningkatnya intoleransi di masyarakat, secara umum belum ada perbaikan,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan di Jakarta, Ahad 3 Nopember 2019.

Survei LSI bertajuk ‘Modal dan tantangan kebebasan sipil, intoleransi dan demokrasi di pemerintahan Jokowi periode kedua’ itu dilakukan pada 8-17 September 2019 dengan wawancara tatap muka terhadap 1.550 responden. Margin error kurang lebih 2,5 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Djayadi membeberkan hasil survei LSI. Sebanyak 59,1 persen responden warga Muslim intoleran atau keberatan jika warga nonmuslim menjadi presiden. Kemudian, 56,1 persen keberatan nonmuslim menjadi wakil presiden, 52 persen keberatan nonmuslim menjadi gubernur, dan 51,6 persen keberatan nonmuslim menjadi bupati/wali kota.

Selain itu, menurut Djayadi, 53 persen warga Muslim keberatan jika orang nonmuslim membangun tempat peribadatan di sekitar tempat tinggalnya. Sebanyak 36,8 persen tidak keberatan.

“Dalam soal nonmuslim mengadakan acara keagamaan atau kebaktian di sekitar mereka (warga Muslim), hasilnya lebih baik. Yang keberatan hanya 36,4 persen dan yang merasa tidak keberatan 54 persen,” ujarnya.

Tren intoleransi politik, kata Djayadi, mengalami peningkatan sejak Jokowi terpilih.

Berdasarkan data LSI dan Wahid Institute warga muslim semakin intoleran terhadap nonmuslim dalam hal politik, misalnya menjadi pemimpin pemerintahan dalam empat tahun terakhir.

“Intoleransi religius-kultural cenderung turun sejak 2010, namun penurunan ini berhenti di 2017. Pasca 2017 intoleransi religious-kultural cenderung meningkat terutama dalam hal pembangunan rumah ibadah,” ujarnya.

Di sisi lain, Djayadi menyampaikan sikap intoleran kalangan Muslim di era Jokowi juga tampak dalam hubungan antara mayoritas dan minoritas.

Survei memperlihatkan 37,2 persen responden muslim setuju bahwa umat agama minoritas di Indonesia harus mengikuti kemauan muslim mayoritas.

“Tetapi ketika pertanyaan tersebut dikenakan untuk muslim ketika menjadi minoritas di negara lain, mayoritas 69,8 persen tidak setuju,” ujarnya.

Djayadi menambahkan 67,4 persen responden muslim setuju/sangat setuju pemerintah seharusnya mengutamakan agama Islam dalam kehidupan berbangsa, beragama dan bernegara karena Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia.

Sementara itu, Djayadi menyampaikan mayoritas responden warga nonmuslim tidak keberatan jika warga Muslim menjadi kepala pemerintahan di level daerah maupun nasional.

Responden nonmuslim, kata dia, juga tidak keberatan jika warga muslim membangun tempat ibadah atau mengadakan acara keagamaan di sekitar tempat tinggalnya.

“Meskipun demikian, perlu ada catatan khusus tentang temuan ini. Persentase nonmuslim yang menyatakan tidak keberatan memang tinggi, tetapi jika dibandingkan tahun lalu tampak terjadi penurunan,” ujarnya.

“Jumlah mereka yang tidak keberatan jika Muslim penjadi pemimpin publik berkurang. Demikian juga yang tidak keberatan terhadap kegiatan keagamaan Muslim di sekitar mereka,” tukasnya. (us/cnn)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network