Belajar dari Kemenangan Biden & Kekalahan Trump

Donald Trump Vs Joe Biden

Kendati proses penghitungan suara Pilihan Presiden Amerika Serikat belum kelar, hasil sementara, Joe Biden adalah Presiden AS yang baru, baik dari segi electoral collage maupun popular vote.

TV Aljazeera yang melakukan siaran live sejak gelaran Pilpres 3 November sampai dengan sekarang, mengabarkan bahwa hasil sementara Biden memenangi 264, dan Donald Trump 214 dari 538 electoral collage di 50 negara bagian AS. Sepertinya, komposisi dari segi peringkat suara sudah sulit berubah. AS memasuki sejarah baru, mengakhiri kontroversi kepemimpinan Trump selama 4 tahun terakhir.

AS mempertunjukkan cara mengakhiri rezim koboi ala Trump yang menyeret negerinya dalam berbagai perang dagang yang merugikan. Selain, konflik rasial yang dipicu oleh ulah diskiminatif aparat terhadap George Floyd di Minneapolis, dan kasus rasial lainnya, yang mencoreng wajah AS sebagai pejuang demokrasi dan HAM. Para pemilih menghukum Trump layaknya presiden bengal dan meninggal lainnya, yang gagal mempertahankan kekuasaannya sebagai petahana.

Dari 45 presiden AS yang pernah berkuasa, Trump presiden yang hanya memerintah 1 periode saja. Ia senasib dengan 23 presiden lainnya, seperti John Adam (1735-1826), John Quincy Adams, (1767-1848), William Harrison (1773-1841), John Tyler (1790-1862), James Polk (1795-1849), Zachary Taylor (1784-1850), Milliard Filmore (1800-1874), Franklin Pierce (1804-1869), James Buchanan (1791-1868), Abraham Lincoln (1809-1865), Andrew Johnson (1808-1875), Rutherford Hayes (1822-1893), James Garfield (1831-1881), Chester Arthur (1829-1886), Grover Cleveland (1837-1908), Benjamin Harrison (1833-1901), William Mckinley (1843-1901), William Taft (1857-1930), Warren Harding (1865-1923), Herbert Hoover (1874-1964), John F Kennedy (1917-1963), Richard Nixon (1913-1994), Jimmy Carter (1924-sekarang).

Sinarai presiden AS tersebut bahkan bukan hanya menjalankan 1 periode, tetapi ada yang hanya menjalani beberapa bulan atau tahun dari 4 tahun periode kekuasaannya, disebabkan meninggal dunia. Di antaranya, William Harrison, James Polk, Zachary Taylor, Milliard Fillmore, Warren Harding, sederet presiden AS yang meninggal lantaran sakit. Sedangkan Abraham Lincoln, James Garfield, William McKinley, John F Kennedy, adalah presiden AS yang meninggal lantaran aksi pembunuhan di masa aktif sebagai penguasa.

Sementara sisanya, ada yang dijegal oleh partainya sendiri untuk tak maju kembali, ada yang kalah dalam pemilu, ada yang mengundurkan diri dan ada pula yang karena sakit. Semua itu pernak-pernik sejarah kepemimpinan AS yang menjadi pembelajaran bagi pembangunan demokrasi yang spektrumnya sangat luas, di dalam maupun di luar negeri.

Dalam konteks pembelajaran demokrasi, naga-naganya Pilpres AS sekarang ini, dipertontonkan dengan pernyataan, sikap dan tindakan Trump yang bisa merusak sistem nilai dan budaya demokrasi AS. Trump tak siap kalah sama sekali, dan katanya ia akan tetap bertahan di Gedung Putih (White House) kalau pun ia kalah pada Pilpres.

Sungguh, perangai politik seperti itu kontraproduktif dengan keteladanan para presiden AS yang kalah di masa lalu, yang memilih menerima apapun hasil pemilu dengan jantan dan ksatria. Seperti yang dicontohkan oleh John Adam, John Quincy Adams, Grover Cleveland, yang keluar dari Gedung Putih dengan damai dan baik-baik. Bahkan Cleveland pada periode selanjutnya memilih tampil kembali sebagai calon dan terpilih pada periode kedua, kendati sempat jeda waktunya. Trump bisa mencontoh Cleveland bila masih ingin menjadi presiden kembali, yang terpenting, selama masa jeda ini tetap bisa mengontrol Partai Republik.

Trump bukan Cleveland, dan dinamika politik yang melingkupinya berbeda jauh antara waktu lepas dan sekarang. Pidato “Kemenangan” Trump sebelum penghitungan suara selesai dan hasil pemilu yang tak sama dengan hasil penghitungan sementara, justru ditertawakan oleh dunia internasional. Sebuah pernyataan kosong, tak disertai bukti yang malah mempermalukan diri, partai dan pendukungnya sendiri. Bahwasanya ia sosok politisi yang tak matang dan cenderung bersikap kekanak-kanakan. Ditambah dengan argumentasi bahwa pemilu penuh kecurangan, dan siap membawa hasil pemilu pada Mahkamah Agung AS.

Pilpres AS sedang disorot oleh seluruh dunia. Miliaran mata sedang memelototi pelaksanaan pemilu 3 November 2020 kemarin. Apakah benar sistem dan masyarakat AS bisa dijadikan referensi kepemimpinan demokratis yang kuat dan efektif di dunia?

Ternyata lakon Trump sebagai pemeran utama mengubur harapan generasi demokrasi antar bangsa-bangsa. Ia membuka “aurat” sistem Pilpres langsung yang musykilat, politisi yang menghalalkan segala cara, hatta berani mengorbankan reputasi AS membangun demokrasi selama tiga abad, demi ambisinya bercokol kembali di singgasana kepresidenan.

Demokrasi AS sedang mendapat ujian berat dari rahim anak generasinya sendiri. Anak bengal yang hanya mau menang sendiri. Padahal, di alam demokrasi, menang atau kalah itu adalah hal yang biasa. Apakah Pilpres AS akan berjalan dengan aman dan damai? Semua pasangan calon akan menerimanya dengan lapang dada? Siapa pun tak bisa menjamin, aksi protes dan huru-hara tak akan ada. Di benak publik, pasti ada kekhawatiran, transisi pemerintahan berjalan kacau. Kondisi ini merugikan kampanye demokrasi sebagai sistem terbaik dalam proses transisi pemerintahan di dunia.

Biden sebagai pemenang, harus mengambil inisiatif membangun dialog antar kekuatan yang terpolarisasi kaum republikan dan demokrat. Bahwasanya, kepentingan AS di atas segalanya. Trump harus dicegah mekakukan tindakan “gila” memprovokasi warga AS. Terlalu mahal, ongkos yang harus dibayar oleh AS untuk meladeni sikap kontrademokrasinya yang kehilangan akal sehat menghadapi kekalahan atas Biden.

Jujur saja, Trump telah menghabiskan sebagian besar energi memimpin AS untuk mengalahkan Biden, sehingga sampai menekan Ukraina, China dan negara lain untuk mendadahkan sinyalemen skandal korupsi Biden Family di luar AS. Sampai-sampai, karena keteledorannya, ia harus menghadapi sidang impeachment dari Senat AS. Semua demi kepentingan elektoral menang Pilpres periode kedua. Pada saat ia harus menghadapi kekalahaan atas Biden, baginya dunia sudah “kiamat”.

Trump lupa persoalan kepemimpinannya, sebenarnya pada dirinya sendiri, bukan di Biden yang sedari awal dianggap sebagai ancaman paling serius. Inilah yang membuatnya menyerang Biden dengan “membabi-buta”. Sedangkan Biden sendiri merupakan politisi kawakan yang punya jam terbang tarung sangat tinggi.

Biden Senator AS dari Wilmington Delaware sejak 1973-2009, dengan mudah menekuk Trump yang emosional. Dengan tenang, Wakil Presiden Barack H Obama ini, memanfaatkan sentimen anti Trump di masyarakat AS untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Ternyata, ikhtiar lelaki kelahiran 20 Nopember 1942 ini, berhasil mendepak Trump dari kursi nomor wahid AS. (*)

Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network