Radikalisme dan Ancaman Keutuhan Bangsa

Keutuhan bangsa mutlak harus kita perjuangkan. Memperjuangkan keutuhan bangsa sama pentingnya dengan memperjuangkan keimanan dalam keberagamaan dan keberagaman. Tanpa adanya keutuhan dalam berbangsa dan bernegara menjalankan tugas-tugas agama pun menjadi terhambat.

Untuk menjalankan tugas agama meniscayakan adanya ketenangan dan kenyamanan dalam berbangsa. Ketenangan tidak akan tercapai tanpa adanya keutuhan. Begitu juga sebaliknya, keutuhan bangsa meniscayakan adanya dasar agama yang kokoh. Sebab tanpa adanya agama, keutuhan berbangsa pun menjadi rapuh.

Masalahnya kemudian, bagamaina memposisikan dan memperjuangkan agama dalam tatanan kebangsaan, atau bagaimana memposisikan kebangsaan tanpa mengorbankan agama? Ini pertanyaan yang mesti dijawab dengan kritis agar kita mampu memposisikan agama dalam bingkai kebangsaan dan memertahankan bangsa dalam bingkai keimanan sehingga antara kedunya bisa berjalan dengan sinergis tanpa mengorbankan salah satunya.

Dikotomi Pemahaman
Belakangan, bahkan sampai hari ini kerap terjadi tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu, termasuk membela atas nama Islam. Baik berupa kekerasan fisik seperti terorisme, kekerasan simbolik seperti penistaan terhadap lambang Negara dan kekerasan ideologis seperti penghinaan terhadap Pancasila.

Kekerasan ditempuh untuk memaksakan kehendak golongan tertentu untuk diterapkan dalam sebuah tatanan kenegaraan semisal penerapan syariat Islam. Pemaksaan kehendak semacam ini acap kali melanggar aturan bahkan mengancam keutuhan hidup berbangsa.

Gerakan radikalisme agama sejak awal sudah menghendaki adanya perubahan fundamental dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut dimulai dengan perubahan ideologi dan struktur pemerintahan. Ia beranggapan bahwa agama menawarkan konsep kehidupan duniwi dan ukhrawi secara utuh termasuk dalam tatanan kehidupan berbangsa dan berneraga. Dengan diterapkannya konsep tersebut radikalisme membayangkan adanya kehidupan yang damai, makmur, adil dan sejahtera dalam kehidupan berbangsa di bawah naungan ajaran agama, misalnya syariat Islam.

Berdasakan pandangan di atas, dapat dipahami mengapa gerakan Islam radikal selalu bersentuhan dengan urusan politik bukan persoalan pribadi dan domistik agama. Ia berasumsi bahwa yang diperjuangankan merupakan pembelaan terhadap iman dan keislaman mereka.

Tapi mengapa kemudian usaha mereka dalam memperjuangan keimanannya menjadi kontra produktif dengan seruan ajaran agama yang menghendaki cara-cara damai dan santun, malah justeru memilih jalan pemaksaan dan cenderung mengarah pada tindakan kekerasan.

Dalam konteks ini, gerakan radikalisime agama mesti dipamahi sebagai regakan politik dari pada gerakan agama. Agama dalam posisi ini hanya menjadi instrument politik dari pada substansif, agama bukan menjadi tujuan tapi menjadi modal sosial. Sedangkan tujuan akhirnya adalah kekuasaan. Gerakan tersebut melakukan disposisi-disposisi dan penggalangan massa atas nama agama.

Makanya dapat dimengerti mengapa simbol-simbol dan atribut agama selalu mewarnai di setiap gerakan radikalisme. Ia hanya alat dan modal untuk menggerakkan pemeluknya dalam upaya “memanipulasi” pemeluknya agar terpanggil dalam melakukan pembelaan. Disini sintemen agama menjadi alat yang sangat efektif untuk menggolkan ambisi gerakan radikal. Sebab secara psikologis, agama merupakan sesuatu yang paling privasi dan sakral. Hingga pemanfaatan simbol dan atribut agama menjadi sangat sensitif yang dapat menggerakkan penganutnya secara massif.

Pada kasus penulisan simbol agama terhadap simbol Negara baru-baru ini-yang masih di dalami pihak berwajib-yaitu bendera merah putih sebagai simbol Negara yang ditulisi kalimat tauhid sebagai simbol agama Islam bisa dimengerti sebagai pertarungan ideologis. Yakni ideologi radikalisme dan ideologi Negara.

Pertarungan tersebut menjadi arena tawar-menawar (bargaining posision) seberapa kuat Negara mengakomodir ideologi radikal, dan seberapa jauh kekutan ideologi radikalisme vis a vis Negara. Pada level ini gerakan radikalisme harus diwaspadai, sebab ia sudah menyentuh persoalan yang paling mendasar dari sebuah Negara, yaitu ideologi yang berpotensi mengancam keutuhan. Pada level ini pula gerakan rasdikalisme benar-benar nyata sebagai gerakan politik bukan lagi murni gerakan agama.

Jika gerakan radikalisme merupakan seruan agama sebagai panggilan moral keimanan, mesti ia tidak mengijinkan benturan antar agama dan golongan. Ia tidak perlu menista ideologi Negara. Sebab Negara-bangsa yang bernama Indonesia dengan ideologi Pancasilanya sudah final. Justeru gerakan kegamaan dan golongan apa pun harus berterima kasih dengan sistem demokrasi Pancasila yang mengakomudir berbagai golongan dan agama. Semuanya bisa hidup dan tumbuh di negeri ini dengan segala perbedaan dan keragamaanya tanpa ada kekerasan dan pemaksaan.

Sistem Demokrsi Pancasila sudah cukup akomudatif sebagai dasar kebangsaan yang memungkin keragaman kelompok hidup di bawah payung Pancasila. Oleh karenanya, pemikir Islam klasik, al-Qhazali dengan tegas mengatakan dalam buku fundamentalnya, Ihya’ ulum al-din, Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar.

Agama merupakan pondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan tersia-siakan. Artinya menjalankan dan memperjuangkan keimanan harus mendapat dukungan Negara, begitu juga sebaliknya memajukan bangsa dan Negara harus didasari keimanan.

Sejatinya, iman agama apa pun yang hidup di Indonesia tidak menghendaki adanya kekerasan dan pemaksaan apa lagi penistaan terhadap simbol dan Ideologi Negara, termasuk agama Islam. Justeru Islam hadir untuk membawa kedamaian bagi semua (rahmatan lil alamin) bukan ancaman bagi sesama.

Memperjuangkan hak-hak agama dalam konteks kebangsaan mesti diletakkan pada posisinya yang benar, agama harus diposisikan sebagai spirit dalam membangun bangsa. Begitu pula membela Islam dalam konteks internasional harus dalam bingkai kebangsaan, bukan Islam sebagai pribadi dan golongan. Sebab memperjuangkan Islam sebagai golongan eksklusif-dikotomis hanya akan menimbulkan perpecahan dan antipati umat dan golongan lain.

Di sini harus dilihat secara jernih antara panggilan iman dan emosi primordial keagamaan. Panggilan iman mesti mewujud dalam kedamaian sementara emosi primordial akan menimbulkan perpecahan.

Dalam konteks ini menjadi penting bagaimana mempososikan iman dan kebangsaan, Islam dan kenegaraan, syariat dan aturan Negara. Memperjuangkan keislaman dalam Negara-Bangsa harus diletakkan secara proporsional sesuai dengan mekanisme demokrasi sebagai asas Negara.

Demikian juga memperjuangkan kebangsaan tidak boleh mendiskreditkan dan mengkerdilkan rasa keimanan. Pengkerdilan Negara terhadap agama, golongan dan kelompok tertentu hanya membuahkan kekacauan dan kesenjangan. Kesenjangan akan melahirkan kondisi caus. Oleh karenanya keduanya harus berjalan seiring dan seirama, keduanya harus saling mengisi dan melengkapi demi terwujudnya keutuhan bangsa. (*)

Ainul Yakin, Dosen IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo, kini menyelesaikan S3 Konsentrasi Kajian Islam Kontemporer UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network