Pilkada 2020

Pegiat Demokrasi Hanya Jadi Budak Politik

Ketua Komisi I DPRD Sumenep Darul Hasyim Fath (santrinews.com/bahri)

Sumenep – Selama ini kontestasi politik seperti Pilkada hanya berkutat pada arena perebutan kekuasaan. Belum beranjak pada arena perdebatan tentang isu substantif dalam berdemokrasi.

Idealnya, menurut politisi PDI Perjuangan Sumenep Darul Hasyim Fath, Pilkada adalah ruang perdebatan publik dalam mewujudkan pembangunan dan pemenuhan hak-hak rakyat jelata. Sehingga, Pilkada hadir membawa harapan baru bagi rakyat jelata untuk mengubah nasibnya.

“Ruang publik selama ini diisi oleh kebisingan pertarungan kekuasaan semata. Ini kita geser menjadi debat publik tentang advokasi para jelata yang terabaikan,” kata Darul Hasyim di ruang komisi I DPRD Sumenep, Jumat, 3 Januari 2020.

Baca juga: KH Hasyim Muzadi: Politik Uang Kanker dalam Demokrasi

“Mari kita isi resolusi politik (pilkada) 2020 ini dengan narasi yang menjelaskan bahwa isu utama kita adalah membela para jelata, yang papa, marginal, terasing dan terpinggirkan. Bukan soal merebut kuasa.”

Para aktivis civil society dan pegiat demokrasi ekstra parlementer harus hadir mengisi ruang publik tersebut dengan perdebatan isu advokasi rakyat jelata agar Pilkada tidak hanya sekadar menjadi seremonial politik lima tahunan untuk merebut kekuasaan.

“Kalau tidak, para entitas civil society, para pegiat demokrasi ekstra parlementer hanya akan menjadi volunter (budak) politik,” tegasnya.

Masyarakat digiring dan dihipnotis untuk fanatik pada sosok tertentu. Isu pembangunan di berbagai sektor pun terabaikan.

“Pada rezim baru berganti mereka akan menjadi belantik-belantik politik yang bicara soal rakyat tapi sejatinya mereka tercerabut dari akar budaya kerakyatan. Nah itu kenaifan demokrasi yang tidak termaafkan,” tegasnya.

Meski demikian, Darul mengaku jika Pilkada memang ajang merebut kekuasaan. Namun, bagi dia, di balik perebutan kekuasaan ada nilai yang paling penting untuk diperjuangkan, yakni nasib rakyat.

“Di dalam kekuasaan itu ada berkah yang harus diamankan supaya berkah itu sampai ke tangan para (rakyat) jelata secara utuh, terang,” tegasnya.

“Jangan sampai Pilkada ini hanya menjadi kabar baik bagi kalangan dan golongan tertentu. Karena Pilkada adalah tempat paling halal berharapnya para dhuafa mengubah nasibnya.”

Hingga sekarang, Darul belum melihat calon kontestan politik di Pilkada Sumenep 2020 di luar petahana yang punya track record membela isu-isu publik utama. Misalnya, soal good governance dan sengketa petani garam.

Bahkan, jelang Pilkada Sumenep 2020 tiba-tiba secara binsalabin muncul sosok pahlawan yang bicara –misalnya— isu kepulauan.

Baca juga: Doakan Fattah Jasin, Kiai Azaim Titip Nasib Tanah dan Kepulauan Sumenep

Padahal, menurut Darul, dalam dua dasawarsa terakhir, belum ada tokoh Sumenep yang dapat dijadikan tolak ukur sebagai sosok pemimpin yang memiliki kredibilitas dengan isu-isu utama kerakyatan.

“Tiba-tiba kita melihat (sosok) yang mengendorsement dirinya dengan isu-isu kepulauan. (Tiba-tiba) ada tokoh yang terpilih tokoh terpopuler,” tandas politisi asal Pulau Masalembu ini.

Sumenep satu-satunya kabupaten —dari empat kabupaten— di Madura yang bakal melangsungkan Pilkada Serentak 2020.

Pertengahan Juli 2019 lalu, Santri Politika –Lembaga Kajian dan Riset— merilis hasil surveinya. Hasilnya ada 14 nama calon potensial pada Pilkada Sumenep 2020.

Nama-nama tersebut adalah Achmad Fauzi, KH Amiruddin Nahrawi, Achsanul Qosasi, Nyai Hj Dewi Khalifah, Fattah Jasin, Nyai Hj Nurfitriana Busyro Karim, KH Imam Hasyim, KH Ilyasi Siraj, KH Muh Unais Ali Hisyam, Malik Effendi, KH Muh Shalahuddin Warits (Gus Mamak), Novi Sujatmiko, KH A Pandji Taufiq, dan Imam Idafi.

“Nama-nama ini sama-sama punya potensi dan kans kuat,” kata Peneliti Santri Politika, Moh Ridwan, Selasa, 16 Juli 2019.

Mereka berasal dari latarbelakang yang beragam, mulai dari politisi, pengusaha, birokrat, dan tokoh agama. Penyebutan nama-nama tersebut sesuai urutan abjad, bukan popularitas. (ari/onk)

Terkait

Politik Lainnya

SantriNews Network