Meluruskan Kerancuan Paham Anti-Madzhab

Dalam Islam, sumua pasti sepakat bahwa Al-Qur’an dan hadis adalah sumber utama dalam penentuan sebuah hukum. Merujuk pada keduanya berarti berlandaskan pada hukum Tuhan yang kebenarannya sudah tidak bisa diragukan lagi.

Kaitannya dengan ini, pada masa awal Islam, para sahabat dalam penentuan hukum yang kurang jelas, langsung bertanya pada Rasulullah. Kemuadian setelah beliau wafat, para sahabat merujuk pada teks-teks sumber utama dan jika tidak bisa menjangkaunya, mereka berijtihad dengan segala kemampuan ilmu yang dimilikinya, dengan tetap berlandaskan pada Al-Quran dan Hadis.

Dari sini, maka tidak heran jika kemudian di Yaman muncul madzhab Muad bin Jabal, di Syam madzhab Ibnu Mas’ud, di Tsaqif madzhab Usman bin Abil Ash, dan lainnya. Namun, belakangan ini ternyata banyak kalangan yang tidak menerima kenyataan bermadzhab ini. Dengan dalih kembali pada Al-Quran mereka berusaha mengeroposkan legitimasi umat terhadap para ulama.

Salah seorang yang anti-madzhab adalah Al-Khajnadi yang mengaku sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram. Lewat buku kecil (kurras) yang disebarkan ke berbagai golongan starata sosial, ia berpendapat bahwa hukum Islam itu sedikit jumlahnya sehingga tidak usah merujuk pada madzhab tertentu. Haram hukumnya jika orang Islam berpegangan pada salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Mengikuti imam madzhab berarti mengikuti sesuatu yang tidak ma’sum (terpelihara kebenarannya), karena hanya Al-Qur’an dan hadislah yang mutlak kebenarannya.

Pendapat di atas itulah yang kemuadian ditentang oleh Muhammad Sa’id Ramadhani Al-Buthi. Lewat buku Allamadzhabiyyah; Akhtharu Bid’ah Tuhaddidu Al-Syari’ah Al-Islamiyah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Aziz Anwar Fachruddin dengan judul Menampar Propanganda “Kembali Kepada Qur’an”, Al-Buthi mematahkan semua argumen-argumen anti-madzhab-nya Al-Khajnadi tersebut.

Dalam buku setebal 220 halaman ini argumen Al-Khajnadi dipatahkan satu persatu oleh Al-Buthi. Pendapat Al-Khajnadi yang mengatakan bahwa bentuk madzhab empat merupakan salah satu bentuk bid’ah (mengada-ada), oleh Al-Buthi diserang balik bahwa justru paham anti-madzhab itulah yang bid’ah.

Pertama, argumen Al-Khajnadi yang mengatakan bahwa hukum Islam itu sedikit jumlahnya dan madzhab-madzhab fikih hanyalah kumpulan pendapat yang berasal dari pemahaman seorang ulama terhadap beberapa persoalan, oleh Al-Buthi ditanggapi bahwa jika benar hukum Islam terbatas pada hal-hal yang dapat dihitung pada apa yang yang diucapkan oleh Rasulullah kepada seorang Arab pedalaman lalu orang Arab itu langsung memahaminya tanpa harus bertanya lagi, tentunya kitab-kitab hadis semisal shahih dan musnad tidak akan membeberkan ribuan hadis yang membahas berbagai hukum terkait kehidupan seorang muslim.

Dan tentunya juga, Rasulullah tidak tidak akan duduk berjam-jam hingga kelelahan untuk mengajari utusan dari Tsaqif tentang hukum-hukum Islam dan kewajiban-kewajiban dari Allah yang dibebankan pada mereka setiap saat. Selain itu, apa gunanya Rasulullah mengutus Khalid bin Walid ke Najran, Ali, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Muadz bin Jabal ke Yaman, dan Usman bin Abil Ash ke Tsaqif? (hal 64-65).

Kedua, argumen Al-Khajnadi yang mengatakan bahwa Al-Qur’an ma’sum sementara Imam madzhab tidak sehingga seseorang yang mengikuti imam madzhab sama saja dengan mengikuti yang tidak ma’hsum ditanggapi oleh Al-Buthi bahwa kalau kita betul-betul mau merujuk pada Al-Quran itu sendiri, Allah tidak menyeru untuk merujuk langsung kepada yang ma’sum, justru Allah memerintah para muqallid untuk mengikuti ahla al-dzikri (orang yang berilmu) yang sebetulnya tidak ma’sum. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman; fas’alu alha al-dzikri in kuntum la ta’lamun (tanyalah kepada yang berilmu jika kalian tidak mengetahuinya) (hal. 41).

Ketiga, dalam kurras yang disebarkan Al-Khajnadi ia melandaskan pendapat-pendapanya pada statemen Ad-Dahlawi, Izzuddin ibn Abd Salam, Ibnu Qayyim, dan Kamaluddin Ibn Al-Hamam, hal ini disalahkan oleh Al-Buthi jika murujuk pada pendapat-pendapat ulama tersebut, karena pada kenyataannya Ad-Dahlawi penganut madzhab Hanafi, Izzuddin Ibn Abd Salam penganut madzhab Syafi’i, Ibu Qayyim penganut madzhab Hambali, dan Kamaluddin Ibn Al-Hamam penganut madzhab Hanafi.

Dengan demikian, maka sangat lucu ketika Al-Khajnadi berpaham anti-madzhab, tapi landasan-landasan yang dipakai adalah statemen orang-orang bermadzhab. Al-Khajnadi menggunakan perkataan-perkataan mereka untuk mendukung klaim keharaman bermadzhab, sementara para ulama yang menjadi rujukannya adalah orang-orang yang melakukan hal yang dia haramkan (hal. 62).

Keempat, aggapan Al-Khajnadi yang mengatakan bahwa kemunculan madzhab empat disebabkan pada intrik politik orang ‘ajam (non Arab) yang ia landaskan pada kitab Muqaddimah Ibn Khaldun, oleh Al-Buthi dicek langsung pada kitab yang dimaksud, ternyata dalam kitab Muqaddimah Ibn Khaldun tidak ditemukan satupun redaksi dan pernyataan yang mengarah pada kemunculan madzhab empat yang katanya karena intrik politik, bahkan Muqaddimah Ibn Khaldun membenarkan adanya madzhab empat (hal. 101).

Ada tujuh argumen yang dipatahkan Al-Buthi lewat buku ini sebagai penegasan bahwa paham anti-madzhab tidaklah beralasan. Empat hal di atas dalam resensi ini cukup untuk membongkar kerancuan paham anti-madzhab yang digulirkan Al-Khajnadi dalam kurras-nya dan kemudian banyak diikuti beberapa kalangan belakangan ini.

Dengan membaca buku Al-Buthi ini, pembaca akan diajak melihat langsung dialog Al-Buthi dengan Al-Khajnadi sehingga pembaca bisa menilai sendiri yang mana sekiranya yang lebih abshah dan tidak.

Tidak cuma itu, dalam buku ini juga dilampirkan trnskrip perdebatan Al-Buthi dengan Nashiruddin Al-Albani, tokoh Wahabi anti-madzhab yang membela mati-matian kurras karya Al-Khajnadi.

Dengan terlibat langsung dalam sebuah perdebatan, Al-Buthi memaparkan semua hal dalam buku ini tanpa saringan sedikitpun. Meminjam istilah penerbit dalam pengantarnya bahwa Al-Buthi memaparkan semua ini tidak dengan cara pandang orang di tribun penonton, tapi ia orang yang terlibat langsung. Selamat membaca…!

Data Buku
Judul : Menampar Propaganda “Kembali Kepada Qur’an”
Penulis : Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi
Penerjemah: Aziz Anwar Fachruddin
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, 2013
Tebal : 220 halaman
Peresensi : Abd Basid, mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

Buku Lainnya

SantriNews Network