Strategi Puitika Postmodernisme
Postmodernisme pertama kali muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930-an, satu generasi sebelum kemunculannya di Inggris atau Amerika.
Adalah seorang dari Unamuno dan Ortega, Federico de Onis, yang mengetengahkan istilah postmodernismo. Ia memakainya untuk menggambarkan pengaliran kembali konservatif (conservative reflux) dalam modernisme itu sendiri: sebuah aliran yang mencari pelarian dari tangan lirik (lyrical challenge) yang berat dalam sebuah perfeksionisme yang detail dan humor ironis yang mati, yang keistimewaan paling orisinil ada pada pengungkapan kepada perempuan.
Dilanjutkan oleh Toynbee yang menerbitkan A Study of History dalam jilid ke-8, terbit tahun 1954 memberi zaman baru yang terbuka dengan adanya perang Prancis-Prussia (Franco-Prussia War) sebagai era post-modern (Post-modern age).
Postmodernisme adalah nama gerakan di “kebudayaan kapitalis lanjutan”, secara khusus dalam seni. Terdapat pengertian bila orang melihat modernism sebagai kebudayaan modernitas, maka postmodernisme akan dipandang sebagai kebudayaan postmodernisme.
Istilah postmodernisme muncul pertama kali di kalangan para seniman dan kritikus di New York pada 1960 dan diambil alih oleh para teoritikus Eropa pada 1970-an. Salah satunya, Jean Francois Lyotard, dalam buku sangat terkenal yang berjudul The Postmodern Condition, menyerang mitos yang melegitimasi zaman modern (narasi besar), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memuliakan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal valid untuk seluruh umat manusia.
Teori postmodernisme menjadi identik dengan kritik pada pengetahuan universal dan fondasionalisme. Lyotard percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan penalaran yang mentotalisasi karena penalaran itu tidak ada, yang ada adalah pelbagai macam penalaran (Sarup, 2008: 205).
Postmodernisme dibahas dan ditulis di mana-mana di masyarakat Barat kontemporer. Dalam bidang musik dikenal nama-nama seperti Cage, Stockhausen, Briers, Holloway, Tredici, Laurie Anderson. Dalam bidang seni rupa dikenal nama-nama Rauschenberg, Baselitz, Mach, Schnabel, Kiefer, juga Warhol dan Bacon. Dalam bidang fiksi dikenal nama-nama seperti Vonnegut, Barth, Barthelme, Pynchon, Burrough, Ballard, Doctorow. Dalam bidang film dikenal nama-nama Lynch, Greenaway, Jarman. Dalam bidang drama dikenal nama Artaud. Dalam bidang fotografi dikenal nama-nama Sherman, Levine, Prince. Dalam bidang arsitektur dikenal nama-nama Jencks, Venturi, Bolin. Dalam bidang teori dan kritik sastra dikenal Spanos, Hassan, Sontag, McHale, Hutcheon, Lodge dan Fiedler. Dalam bidang filsafat dikenal nama-nama Lyotard, Derrida, Baudrillard, Vattimo, dan Rortry. Dalam bidang antropologi dikenal nama-nama seperti Clifford, Tyler, dan Marcus. Dalam bidang sosiologi ada nama Denzim. Dalam bidang geografi dikenal nama Soja.
Brian McHale (1987) merupakan salah satu teoritis yang mengemukakan pemikirannya mengenai postmodernisme khususnya dalam fiksi. Ia memahami ‘post-modernisme’ bukan sebagai ‘post-modern’ (setelah modern), melainkan sebagai ‘post-modernism’ (setelah gerakan modern/_modern movement_).
Awalan ‘post’ dipandangnya lebih sebagai konsekuensi logis dan historis, bukan akhir/keterputusan (posteriority). Karena itu, postmodernisme merupakan kelanjutan dari modernisme dan bukan terjadi setelah modernisme.
Gagasan pergeseran dari dominan epistemologis dalam fiksi Modern menuju dominan ontologis dalam fiksi postmodern, seperti dikemukakan oleh Brian McHale dalam Postmodernist Fiction. ‘Dominan’ merupakan konsep yang dipinjam McHale dari Roman Jakobson, yang didefinisikan sebagai “komponen yang menjadi fokus dalam sebuah karya seni, yang mengatur, mendeterminasi, dan mentrasformasi komponen lainnya”. Berbagai dominan dapat diamati tergantung pada level, lingkungan, maupun fokus analisis. Dengan kata lain, dominan yang berbeda-beda dapat muncul tergantung dari sudut pandang mana suatu teks akan ditinjau.
McHale juga mengemukakan gagasannya mengenai ‘limit-modernist’ (modernis-batas). Pergeseran dari epistemologis menuju ontologis tidak berarti bahwa teks postmodernis tidak menimbulkan isu-isu epistemologis. Epistemologis tetap dijadikan latar belakang sebagai ganti latar depan ontologis. Teks berada pada titik temu antara modernis dan postmodernis, dengan pertanyaan yang bergeser dari epistemologis ke ontologis inilah yang disebut ‘modernis-batas’. Gagasan mengenai modernis-batas ini berguna untuk menjelaskan fakta bahwa teks tersebut menunjukkan perhatian ontologis maupun epistemologis: meskipun ketidakpastian ontologis dikedepankan dalam kebanyakan teks-teks tersebut, tetapi sering ada upaya epistemologis untuk menjelaskan ketidakpastian itu.
McHale menyebutkan bahwa dominan pada fiksi-fiksi Modern bersifat epistemologis. Artinya, fiksi Modernis menggunakan strategi yang mengemukakan persoalan-persoalan ‘Bagaimana aku menginterpretasi dunia ini? Apakah aku di dalam dunia ini?’. Teks modernis mengedepankan tema-tema epistemologis seperti aksesibilitas pengetahuan dan masalah ke-‘takterpaham’-kan. Dalam fiksi postmodernis, dominan tersebut bergeser menjadi ontologis, yaitu dari masalah-masalah cara mengetahui menjadi cara keberadaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah ‘Dunia macam apakah ini? Apa yang harus dilakukan di dalamnya? Bagian manakah dari diriku yang terhubung dengannya?’.
Pertanyaan lain yang menyertai persoalan ontologis ini misalnya ‘apakah yang dimaksud dengan ‘dunia’ itu? Ada dunia macam apa saja, bagaimana dunia-dunia itu terbentuk, dan di manakah perbedaannya? Bagaimana jika dunia-dunia yang beraneka itu dikonfrontasikan, dan batasan setiap dunia dihancurkan.
Strategi adalah prosedur-prosedur yang diterima oleh pembicara dan penerima dalam ucapan performatif. Strategi berfungsi untuk mengorganisasikan pengaktualisasikan repertoar. Strategi-strategi mengerjakan hal yang demikian itu dalam cara-cara yang beragam, sementara itu, repertoar yang diaktualisasikan dengan strategi di atas muncul dari latar belakang (background) tertentu hingga mengedepankan (foreground) elemen terpilih.
Dengan demikian, proses seleksi secara tak terhindarkan menciptakan hubungan latar belakang-pengedepanan (background-foreground), dengan elemen terpilih muncul pada pengedepanan dan konteks aslinya pada latar belakang. Tanpa hubungan yang demikian, elemen terpilih akan muncul tanpa arti.
Pada umumnya, ada empat perpektif yang dapat memunculkan pola repertoar, yakni perspektif narrator (pengarang), tokoh, alur, dan pembaca. Meskipun demikian, teks-teks naratif tidak harus selalu melibatkan keempat perspektif itu.
Sifat ontologis yang dikedepankan adalah sifat ontologis yang dikemukakan dalam teori-teori ontologi sastra, yaitu puitika renaisans, teori romantika Jerman, teori Roman Ingarden, dan teori-teori “dunia mungkin” disertai dengan uraian dan relevansinya dengan upaya pendeskripsian repertoar strategi-strategi pengedepanan postmodernisme, ada pula berbagai macam pola repertoar strategi-strategi pengedepanan postmodernisme yang didasarkan pada empat teori ontologi di atas. pola-pola repertoar itu dikelompokkan ke dalam empat kategori besar, yaitu (1) dunia-dunia, (2) konstruksi, (3) kata-kata, dan (4) pendasaran.
Dalam kategori “dunia-dunia” diuraikan berbagai macam pola repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis yang berwujud berbagai macam zona, berbagai macam pola persinggungan antara dunia fiksi postmodernisme dengan dunia fiksi ilmiah, pesinggungan antara dunia fiksi postmodernisme dengan dunia fiksi fantastik, dan persinggungan antara dunia fiksi postmodernisme dengan fakta sejarah. Dalam kategori “konstruksi” diuraikan berbagai macam pola strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis dalam wujud dunia-dunia di bawah penghapusan dan dunia-dunia kotak cina.
Dalam kategori “kata-kata” diuraikan bebagai macam pola repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis dalam dunia-dunia kiasan, dunia-dunia digayakan, dan dunia-dunia wacana. Dalam kategori “pendasaran” diuraikan repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis dalam dunia-dunia di atas kertas dan dunia-dunia pengarang.
Dari uraian di atas, pembacaan akan mengarahkan pada perspektif repertoar strategi-strategi pengedepanan ontologis puitika postmodernisme. (*)
Ahmad S Rumi, Pendiri Kubah Budaya Banten