Erdogan dan Kemenangan Islamo Demokrasi Turki
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan
Pemilihan presiden Turki putaran kedua telah menyajikan pertunjukan Islamo demokrasi. Negara Ottoman Empire dalam pilpres pilihan langsung rakyat mengalahkan Pilpres Amerika Serikat diwarnai kegaduhan dan kekacauan politik.
Turki berhasil menyelenggarakan pemilu yang demokratis, aman dan damai. Ini suatu prestasi tersendiri yang meningkatkan derajat demokrasi negara yang berjuluk Gerbang Timur dan Barat. Julukan ini berhubungan dengan letak geografisnya yang menjembatani Asia dan Eropa.
Istilah “Islamo Demokrasi” berasal dari tesis Anas Urbaningrum di Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Suatu kongklusi dari tradisi musyarawah masyarakat muslim nusantara yang menjadi basis kultural dari struktur demokrasi modern Indonesia.
Musyawarah menjadi fondasi dari pendirian negara dan pembentukan pemerintah yang berakar dalam ajaran syura dalam Islam. Ini yang menguatkan demokrasi pasca sekularisme Turki. Ternyata untuk menjadi negara demokratis tak perlu memisahkan agama dan negara seperti negara-negara Barat.
Dalam kasus Turki, kelompok konservatif dari partai berbasis pemilih muslim puritan mendorong liberalisme politik Turki. Sistem pilpres pilihan langsung rakyat diadopsi oleh negara Turki yang punya budaya bernegara relatif tua. Sistem republik jauh lebih muda dari monarki.
Bagaimana tidak? Republik Turki masih berusia satu abad dihitung semenjak 1923. Sedangkan, Daulah Khilafah Utsmaniyah Turki berusia delapan abad dihitung semenjak 1299. Yang menarik, reformasi pemilu justru diinisiasi Presiden Recep Tayyip Erdogan yang merubah parlementer pada presidensil.
Pilpres pilihan langsung rakyat sesungguhnya mengurangi otoritas elite dan meningkatkan otoritas rakyat dalam memilih pemimpin yang terbaik. Namun, manuver Erdogan memilih jalan demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan tentu penuh resiko. Sebab, dalam banyak kasus, demokrasi itu bisa memakan anaknya sendiri.
Terbukti, Erdogan harus berjuang sangat keras untuk memperpanjang mandat rakyat untuk memimpin Turki kembali. Pilpres 2023 merupakan pemilu terberat. Nyaris ia kehilangan kekuasaan yang dipegang selama lebih dari dua dekade.
Rakyat Turki masih menyelamatkan Erdogan. Ia terpilih kembali dan mengalahkan Kemal Kilicdaroglu dengan skor 52,16 persen (27,117,669 suara) lawan 47,84 persen (24,954,920 suara). Kemenangan pilpres putaran kedua berkah limpahan suara dari capres Sinan Ogan yang memperoleh 5,17 persen pada Pilpres Putaran Pertama Turki.
Ogan benar-benar menjadi kingmaker dalam pilpres putaran kedua ini. Capres dari jalur perseorang ini yang menghidupkan kartu Erdogan di tengah banyak prediksi yang bakal terjungkal dari singgasana kepresidenan. Ia beralasan demi kepentingan stabilitas nasional Turki. Dimana aliansi partai-partai pendukung presiden petahana menguasai mayoritas minimal parlemen dengan 295 kursi atau 42,56 persen dari 600 kursi Majelis Nasional Agung.
Bila Ogan mengalihkan dukungan kepada Kilicdaroglu, maka presiden dari aliansi bangsa yang akan menang. Sementara hasil pemilu parlemen 14 Mei 2023, aliansi ini hanya memperoleh 146 kursi atau 22,65 persen. Ini akan menimbulkan instabilitas politik. Di tengah krisis ekonomi yang akut, Turki membutuhkan stabilitas untuk mengatasi masalah bangsa.
Di atas semua itu, sesungguhnya masyarakat Turki termasuk penganut patronklein. Banyak pemilih yang menentukan pilihannya atas preferensi para elite. Keberadaan swing voters (pemilih mengambang) jumlahnya masih sedikit. Mereka belum menjadi faktor determinan bagi kemenangan atau kekalahan kandidat. Ini tak lepas dari budaya ketaatan pada imamah yang berurat akar dalam struktur masyarakat berabad-abad lamanya.
Potret mayoritas muslim Turki adalah “Islam Politik”. Mereka punya romantisme sejarah atas kejayaan Kesultanan Ottoman Turki. Mereka juga memiliki trauma mendalam atas sekularisasi yang mencerabut ajaran dan budaya Islam yang dianut oleh 89,5 persen penduduk muslim.
Paket kebijakan sekularisme Presiden Turki Pertama, Mustafa Kemal Attaturk menimbulkan represi terhadap umat Islam dalam menjalankan syariat agama. Akibatnya, hak beragama dan menjalankan agama dalam ancaman aparatur negara. Padahal, agama merupakan basic spiritual need (kebutuhan rohani dasar) setiap orang.
Jadi, pendukung Presiden Erdogan adalah fix voters (pemilih setia) yang sulit beralih pada partai atau kandidat calon lain, hatta dengan iming-iming apa pun. Jumlah mereka antara 21 sampai 27 juta yang menjadi lumbung suara presidensinya. Jumlah mereka sebenarnya 34 persen dari total penduduk Turki yang mencapai 84 juta lebih.
Kemenangan Erdogan adalah kejayaan Islamo demokrasi yang telah berhasil mengawinkan sistem syura satu sisi dan sistem demokrasi sisi lain. Pilpres pilihan langsung rakyat tak ubahnya seperti “baiah ‘ammah” dalam fiqhus-siyasah. Sebuah tradisi pemilihan sejak awal pemerintah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang punya persepadan dengan sistem pilihan langsung. Selamat Presiden Erdogan atas kemenangan ketiga kalinya, semoga amanah… (*)
Moch Eksan,Pendiri Eksan Institute.