Polemik Ucapan Natal
Ucapan Natal, Bentuk Ukhuwah Kebangsaan
Poster Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru oleh LMN Jatim (santrinews.com/dok)
Surabaya – Mengucapkan selamat Hari Raya Natal kepada umat Kristiani, selalu memunculkan pro-kontra di kalangan umat Islam. Sejak dulu sebenarnya masalah seperti ini sudah menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Ada sebagian yang menilai haram, ada juga yang tidak. Tahun ini, pro-kontra ini kembali muncul.
Komite Wilayah Liga Mahasiswa NasDem (LMN) Jawa Timur rupanya tak terpengaruh polemik yang seolah tak berkesudahan tersebut. Bahkan, Ketua LMN Jatim Adi Tirmidi telah memasang poster ucapan selamat Natal. Tak cukup di poster, Adi juga telah menyampaikan ucapkan sejumlah koleganya yang beragama Kristen. Menurutnya, ucapan selamat natal itu merupakan bentuk solidaritas dan ukhuwah kebangsaan.
“Saya kira, selama kita tidak mencampur adukkan akidah, ucapan selama natal itu sebagai sapaan persaudaraan. Sebagai suatu bangsa, kita ingin bertegur sapa dengan sesama saudara. Kita ingin tunjukkan kebahagiaan saudara adalah kebahagiaan kita juga,” kata Adi, kepada SantriNews.com, di Surabaya, Kamis, 25 Desember 2014.
Menurut politisi muda ini, ucapan selamat juga menunjukkan bahwa umat Islam mampu menjadi khalifah yang mampu menebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil “˜alamin.
“Bagaimana kita berbicara rahmatan lil “˜alamin kalau ngucapin selamat Natal saja ributnya sampai penghakiman kafir dan tidak kafir? Padahal kita saudara,” tukas Adi dengan nada senyum renyah.
——
Adalah Front Pembela Islam (FPI) yang bahkan meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Pasalnya, kata Ketua Dewan Syura FPI, Misbachul Anam, bila mengucapkan selamat kepada umat Kristiani yang merayakan momen kelahiran Yesus Kristus tersebut, Jokowi murtad atau keluar dari Islam. “Haram hukumnya mengucapkan selamat Natal bagi orang Islam. Tak terkecuali bagi Presiden Jokowi,” kata Misbach.
Misbach mengatakan, ucapan Natal membuat orang Islam murtad karena berarti mengakui eksistensi agama lain. Sebab, Natal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kelahiran Yesus Kristus. “Jadi, ketika ada orang Islam yang mengucapkan Natal, artinya mereka memberi selamat atas kelahiran Yesus,” ujarnya.
Gubernur Mayarakat Jakarta (Gubernur Tandingan versi FPI), Fahrurrozi Ishaq, jauh-jauh melarang seluruh umat Islam mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen. Fahrurrozi Ishaq mendasarkan atas fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan Buya Hamka pada Maret 1981 silam.
“Bagi umat Islam, hukumnya haram mengucapkan selamat Natal,” demikian bunyi fatwa MUI tersebut, seperti disampaikan Fahrurrozi Ishaq. Menurut Fahrurrozi Ishaq, fatwa yang dikeluarkan Buya Hamka saat menjabat Ketua MUI belum dicabut hingga kini. Karena itu, dia menghimbau kepada umat Islam berpegang kepada fatwa Buya Hamka tersebut.
Namun, putra mantan Buya Hamka, Irfan Hamka membantah ayahnya melarang mengucapkan selamat hari Natal kepada kaum Kristiani. Irfan mengatakan, dalam fatwa yang dikeluarkan Buya pada 1981, isinya bukan pelarangan mengucapkan selamat Natal atau mengharamkannya.
Tapi, kata dia, yang diharamkan Buya adalah mengikuti ibadah Natal. Dia menjelaskan, maksud ayahnya tersebut, umat Islam dilarang mengikuti ibadah umat yang merayakan Natal, seperti menyanyi di Gereja, membakar lilin atau apapun yang termasuk ibadah pada hari Natal.
Dia mengisahkan, ayahnya dulu juga pernah mengucapkan selamat Natal bagi penganut Kristen. Dulu saat tinggal di Kebayoran Baru, ungkap dia, ada dua orang tetangga yang merupakan Kristiani. Nama kedua orang itu adalah Ong Liong Sikh dan Reneker.
Saat ayahnya merayakan Idul Fitri, keduanya memberikan ucapan selamat kepada Buya. Begitu pun sebaliknya Buya juga mengucapkan selamat kepada kedua tetangganya tersebut. “Selamat, telah merayakan Natal kalian,” kata Irfan saat menirukan ucapan ayahnya.
Ulama penulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut menegaskan, dalam kata “˜Natal kalian’ untuk membatasi akidah. Pasalnya, dalam Alquran dijelaskan “˜Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku’. Bahkan, lanjut Irfan, Buya juga pernah meminta istrinya untuk memberikan rendang kepada tetangganya. Tapi, rendang tersebut diberikan bukan saat malam Natal, melainkan tahun baru masehi.
Irfan menegaskan tidak masalah mengucapkan selamat Natal, asalkan disertakan kata kalian atau bagi kaum Kristiani. Sebab, kata tersebut yang membedakan antara akidah masing-masing agama. Dia juga meminta umat Islam untuk tidak mengucapkan selamat kepada umat Kristen sebelum umat tersebut merayakan ibadahnya. Karena, menurut Irfan, kata selamat diucapkan setelah peristiwa itu terjadi.
Berbeda dengan FPI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersikap toleran. Organisasi berbasis Islam terbesar di Indonesia ini berpendapat, memberi ucapan selamat Natal merupakan wujud toleransi beragama. Sikap itu dinilai tidak akan mempengaruhi akidah dan identitas seorang. “Sikap saling menghormati seperti itu tidak ada urusannya dengan pengakuan imani,” kata Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf.
Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, A Syafii Maarif juga berpendapat sama. Ia mengatakan, ucapan Selamat Natal yang dinyatakan oleh umat Islam kepada umat Nasrani tidak perlu dipermasalahkan.
Menurut Buya Syafii, ucapan selamat Natal adalah wujud kerukunan hubungan dengan sesama manusia. Atas dasar itu, Buya Syafii berharap agar ucapan Selamat Natal tidak dikaitkan dengan masalah teologi.
Ketua Umum MUI, Din Syamsuddin juga punya pendapat yang sama. Menurut Din, umat Islam boleh mengucapkan selamat natal. Alasannya, semua itu dilakukan sebatas saling menghormati. “Menurut hemat saya kalau sekedar konteksnya kultural budaya pertetanggaan maka itu dapat dilakukan dengan tetap berkeyakinan tak pengaruhi akidah,” kata Din.
Din juga menyampaikan, ucapan selamat itu dilakukan sesuai keperluan. Bila tak perlu jangan dilakukan. “Islam tak sesempit itu. Dalam konteks kultural itu rahmatan lil alamin. Bahwa kita menyebutkan selamatlah kita ucapkan selamat natal,” ujarnya.
Teladani Gus Dur
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta kepada umat Kristiani di seluruh Indonesia untuk berjiwa besar memandang pro dan kontra di antara umat Islam terkait pemberian ucapan ‘Selamat Hari Raya Natal’.
“Kami memohon umat Kristiani berjiwa besar melihat realitas ini. Sebab di internal umat Islam beragam pandangannya (ucapan Selamat Hari Raya Natal,-red),” kata Lukman.
Menurut Lukman, di internal umat Islam pandangan terkait mengucapkan ‘Selamat Hari Raya Natal’ masih beragam. Ada sebagian besar tidak mempersoalkan ucapan kepada umat Kristiani, tetapi ada yang mengharamkan.
“Saya pikir semua pihak harus saling menghargai dan menghormati pandangan masing-masing. Jadi kalau ada umat Islam tidak mengucapkan itu katakan sampai mengucapkan haram itu bagian dari pemahaman. Itu harus dihormati dan dihargai. Sebagaimana, kita menghormati dan menghargai yang tidak mempersoalkan,” tandasnya.
Di tengah polemik soal ucapan selamat Natal ini, barangkali umat Islam perlu meneladani mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden RI ke-4 ini, pernah menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul “Harlah, Natal dan Maulid”. Menurut Gus Dur, kata Natal yang menurut arti bahasa sama dengan kata harlah (hari kelahiran), hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka.
Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum seperti dalam bidang kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berarti “perawatan sebelum kelahiran”.
Dengan demikian, maksud istilah ‘Natal’ adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh ‘perawan suci’ Maryam. Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.
Sedangkan Maulid, Gus Dur menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi atau dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam perang Salib (crusade).
Dia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa’ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.
Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai makna khusus, dan tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kata Maulid dan Natal adalah “kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan” (yuqlaqu al’am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya adalah asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan maulid dipakai orang-orang Islam.
Menurut Gus Dur, Natal dalam kitab suci Alquran disebut sebagai “yauma wulida” (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: “kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)” (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: “Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku” (al-salamu ‘alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.
Bahwa kemudian Nabi Isa ‘dijadikan’ Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan.
“Jika penulis (Gus Dur) merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT,” kata Gus Dur dalam artikelnya tersebut.
Adi Tirmidi pun mengaku heran terhadap orang-orang yang melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. “Saya kira orang-orang yang melarang itu tidak punya iman yang kuat. Kalau sudah kuat, saya sudah bisa memilah dan memilih mana urusan dengan Tuham dan urusan sesama manusia,” kata Adi.
“Dalam hal ini cukuplah Gus Dur yang dijadikan teladan,” mantan Ketua Umum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Sidoarjo ini memberi penegasan atas pro-kontra ucapan selamat Natal tersebut. (jaz/onk)