KPK OTT Ketua MK, KH Said Aqil: Ini Ujian Besar Bangsa Indonesia
KH Said Aqil Siradj, ketua umum PBNU (santrinews.com/istimewa))
Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj mengatakan, kasus suap di Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan ketuanya, Akil Mochtar, merupakan ujian besar bagi bangsa Indonesia.
“Ini ujian besar bagi bangsa. Mampukah kita berdemokrasi dengan bersih tanpa halalkan segala cara (dalam) meraih kekuasaan,” kata Kiai Said, di Jakarta, Ahad, 6 Oktober 2013.
Ketua MK Akil Mochtar ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan, di kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Rabu, 2 Oktober 2013 malam.
Akil ditangkap dengan dugaan menerima suap terkait sangketa pemilihan kepala daerah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Kiai Said menegaskan, kasus penangkapan Akil itu berdampak MK akan kehilangan kepercayaan dari rakyat.
“Kita semua kecewa serta kaget, seorang petinggi hukum penjaga konstitusi masih terjebak atau tergoda mengikuti hawa nafsu yang tidak layak,” katanya.
“Bangsa ini sedang mengalami krisis contoh baik bagi rakyat kecil,” imbuhnya.
Untuk mengembalikan citra positif bangsa Indonesia, khususnya dalam upaya penegakan hukum, lanjut dia, PBNU mendorong diberikannya hukuman lebih kepada aparat penegak hukum yang justru menyalahgunakan kewenangannya.
Sesuai dengan rekomendasi Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Alim Ulama PBNU di Cirebon pada September 2012 lalu, hukuman untuk pelanggar hukum, dalam hal ini korupsi, diklasifikasi menjadi dua. Pertama adalah yang membangkrutkan, dan kedua adalah yang merugikan negara.
“Yang membangkrutkan layak dihukum mati, dan yang merugikan dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Tapi meskipun hanya merugikan, jika itu aparat penegak hukum harus ada hukuman lebih berat. Tidak hanya Pak Akil, tapi juga jaksa, polisi, hakim, dan lain sebagainya, jika memang aparat dan melanggar hukum harus dihukum lebih berat,” tandasnya.
Kiai Said mengaku prihatin. Apalagi pasca reformasi nilai-nilai agama, budaya, moral dan etika mulai tergerus. Salah satu contoh nyata ialah ketika kepala daerah yang semestinya menyejahterakan rakyat, malah mendapatkan jabatan dengan menghalalkan segala cara.
“Orang-orang yang ideal di republik ini masih ada. Tapi banyak yang terjebak oleh gaya hidup hedonistik. Kerusakan bangsa ini sepertinya sudah mencapai puncaknya,” ujarnya.
Karena itu, dia berharap DPR dan pemerintah untuk membenahi sistem pilkada. Menurutnya, pelaksanaan pilkada langsung perlu ditinjau atau dievaluasi.
“Musyawarah NU merekomendasikan agar pilkada, khususnya pemilihan gubernur dikembalikan ke DPRD. Karena biaya pilkada langsung gubernur maupun pilkada kabupaten/kota sangat tinggi,” tegasnya. (hay)