Refleksi Kopri PMII: Pendidikan Perempuan Masih Tergadaikan
Pendidikan dipercaya sebagai salah satu motor penggerak perubahan sosial. Pendidikan perempuan adalah investasi masa depan bangsa, karena dalam diri seorang perempuanlah fungsi al ummu madrasatul ‘ula bagi putra dan putrinya. Ibu adalah lembaga pendidikan pertama bagi setiap generasinya, bahkan pendidikan itu sebaiknya sudah terbina ketika anak masih dalam kandungan.
Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa pendidikan bagi perempuan berdampak pula terhadap meningkatnya pendidikan anak. Setiap satu tahun penambahan waktu ibu di bangku sekolah berdampak terhadap penambahan 0.32 tahun pendidikan anak (UN Women, 2015).
Logikanya, perempuan yang berpendidikan, paham pentingnya pendidikan dan saat menjadi ibu ia akan menjadi pendukung utama pendidikan anak-anaknya. Diperkuat pula oleh ungkapan Dr. Ben Hamel dari UMC Nijmegen Netherlands bahwa faktor genetik penyumbang kecerdasan anak adalah kromosom X dari ibunya.
Jadi, sudah wajib hukumnya bagi kita (perempuan) untuk terus belajar, terdidik dan berpendidikan agar memiliki kecerdasan optimal (IQ, EQ, dan SQ), karena dari rahim permpuanlah penerus bangsa sekalipun akan ditentukan.
Tingkat pendidikan perempuan berpengaruh signifikan terhadap kualitas kesehatan anak. Kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia di 25 negara berkembang, Gender Equality And The Millennium Development Goal (2003) memperlihatkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya angka buta huruf pada ibu berdampak langsung pada gizi buruk dan rendahnya kualitas pengasuhan terhadap anak.
Penelitian ini juga menunjukkan temuan dari 25 negara berkembang, di mana perempuan yang tinggal di bangku sekolah satu hingga tiga tahun lebih lama mampu menurunkan 15% angka kematian anak, sedangkan jangka waktu pendidikan yang sama bagi ayah menurunkan hanya 6% angka kematian anak. Hal ini menunjukkan bahwa betapa krusialnya peran perempuan terhadap pendidikan, bahkan keselamatan anak.
Tantangan Kopri PMII
Pendidikan yang dimaksud tidak terbatas hanya sekeder melek aksara saja, namun cakupan pendidikan yang dimiliki perempuan masa kini begitu luas dan kompleks. Karena dalam prosesnya, mulai dari kesehatan pra nikah, pra kehamilan, kehamilan dan pasca kehamilan bahkan pengasuhan anak pun perempuan akan banyak dihadapkan dengan berbagai banyak persoalan dan tantangan, sehingga secara tidaklangsung, perempuan dituntut mampu menjawab segala persoalan yang dihadapi, belum lagi dengan persoalan lain seperti pentingnya peran gizi, sanitasi dan hygiene yang baik bagi kesehatan dirinya dan anaknya.
Pendidikan bagi perempuan juga berdampak langsung terhadap penurunan angka kematian ibu hingga 66% atau sama dengan menyelamatkan nyawa 189.000 ibu (UN Women, 2015). Artinya, semakin lama perempuan duduk di bangku sekolah berdampak pada semakin meningkatkan usia pernikahan, yang berarti pula mengurangi resiko kematian akibat hamil dan melahirkan terlalu muda dan terlalu sering.
Pendidikan perempuan juga berdampak pada penurunan angka perceraian. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Asniar Khumas Fakultas Psikologi UGM 2012 terhadap 197 subjek disimpulkan bahwa model penjelasan intense cerai perempuan dipengaruhi daya tarik negatif hubungan perkawinan, yaitu mengalami kekerasan dalam rumah tangga, suami tidak bertanggung jawab dan menghadapi suami tidak setia.
Faktor tidak langsung yang turut berkontribusi terhadap intensi cerai berdasarkan model yang fit adalah faktor pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seorang istri, intense cerai semakin rendah.
Pendidikan perempuan berhubungan dengan peluang pekerjaan, di mana perkembangan yang terjadi saat ini persaingan kerja semakin ketat sehingga banyak terjadi kompetisi dengan kualifikasi persyaratan yang telah ditentukan oleh perusahaan. Perusahaan memilih kompetensi keilmuan, skill apa yang dibutuhkan untuk mempekerjakan tenaga barunya.
Isu kesetaraan gender tidak cukup jika hanya mendorong perempuan ke ranah publik, tapi bagaimana menjawab tantangan saat ini ketika perempuan sudah banyak bekerja namun posisi di dunia kerjapun masih menghawatirkan karena yang terjadi mayoritas perempuan hanya sebagai buruh dengan gaji yang begitu menghawatirkan, bisa dibilang “Keluar Kandang Singa Masuk Kandang Macan.”
Hal ini terjadi karena level pendidikan mempengaruhi atau berbanding lurus dengan level posisi di dunia kerja, sehingga perlu kita dorong perempuan tidak cukup hanya lulus SMA, tapi bagaimana caranya kita mendorong untuk melanjutkan jenjang pendidikan S1, S2 bahkan S3 ataupun seterusnya.
Disinilah salah satu fungsi strategis KOPRI (Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri) yang merupakan wadah khusus perempuan PMII yang fokus dalam persoalan perempuan untuk menjawab tantangan hari ini dengan sumberdaya KOPRI PMII Cabang yang tersebar dari Sabang sanpai Merauke bisa menjadi modal utama sebagai motor penggerak. (*)
Liazul Kholifah, Kandidat Ketua KOPRI PB PMII 2017-2019.