Cinta Non-Muslim Dilarang? Ulasan Fikih atas Pandangan Ibn Wazir Al-Yamani

Sebagai orang Islam, kita harus punya pendirian dan sikap. Penting sekali sikap ini. Fa illam yastathi’ fa biqalbihi, ini dalil jelas tentang pentingnya kita memiliki pendirian dan sikap, meskipun cuma di hati.

Nah soal cinta kepada nonmuslim, ada sikap dan pendirian yang menurut saya cukup bagus. Tentang sikap ini saya ikut kepada Ibn Wazir Al-Yamani. Beliau seorang ‘Allamah dari golongan Zaidiyah, tapi jangan khawatir. Beliau setaraf dengan Syawkani dan Amir Shan’ani. Jadi bisa dipakai orang Ahlus Sunnah.

Dua kitab beliau berjudul Itsar al-Haqq dan Al-‘Awashim telah saya baca sejak di pesantren bertahun-tahun lalu. Dua kitab ini sangat bagus, saya rekomendasikan siapa saja untuk baca.

Mayoritas pendapat fikih (utamanya Syafi’iyah) memang melarang seorang muslim untuk memiliki kecondongan hati kepada seorang nonmuslim. Seingat saya ta’lilnya (alasannya) adalah ditakutkan hal itu bisa menimbulkan menganggap baik pilihan hidup mereka (listihsani thariqatihim). Selain itu, beberapa ayat dan hadis yang melarang hal itu juga dibubuhkan dalam kitab-kitab fikih.

Namun tidak demikian kata Ibn Wazir. Kata beliau boleh sekali mahabbah (cinta, condong) kepada nonmuslim Li Khashlatin Fih, karena ada pekerti dalam dirinya. Ingat ya, li khashlatin fih. Karena ada satu faktor eksternal dalam dirinya. Jadi bukan karena kekufurannya.

Wah menarik ini. Sebagai dalil, Ibn Wazir mengutip ayat Alquran yang turun bagi Abu Thalib (yang meninggal dalam keadaan tidak beriman menurut mayoritas ulama):

إنك لا تهدي من أحببت

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai.”

Dalam ayat di atas Allah menyebut Abu Thalib sebagai orang yang dicintai Nabi SW, padahal ia bukanlah seorang beriman menurut qaul rajih. Tidak mungkin dong Allah melarang mahabbah kepada orang kafir sementara Allah menyebut Nabi saw mencintai mereka?

Alasan lain yang dikemukakan Ibn Wazir adalah: kita diperbolehkan menikahi wanita nonmuslim kitabi. Sedangkan Allah sudah memastikan konsekuensi pernikahan adalah: wa ja’ala baynakum mawaddah wa rahmah (Surat Ar-Rum: 21). Kata Ibn Wazir kira-kira begini: kalau mawaddah dan rahmah kepada orang nonmuslim dilarang, kenapa kita dibolehkan menikahi kitabiyah? Padahal pernikahan menimbulkan mawaddah wa rahmah. Maka pasti mencintai nonmuslim dan fasik tidak karena kufur dan fasiknya itu boleh, bahkan bagus.

Masih banyak alasan Ibn Wazir yang lain. Silahkan baca sendiri kitabnya yang bagus itu. Dan, ngomong-ngomong, inilah alladzi nadinu Allaha bih, sesuatu yang saya yakini di hadapan Allah, di tengah zaman yang penuh fitnah seperti semacam ini. Wallahu a’lam. (*)

Kholili Kholil, Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan.

Terkait

SYARIAH Lainnya

SantriNews Network