Mengenang Kiai Djufri Marzuqi: Ulama Pejuang, Dibunuh PKI Tahun 1965

KH Djufri Marzuqi

Bisa dikatakan, dalam setiap tahun, bulan September menjadi bulan isu tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) terutama Gerakan tiga puluh September/G-30S/Gestapu. Kadang juga peristiwa tersebut disebut dengan Gerakan Satu Oktober/Gestok.

Di sini penulis tidak akan menjelaskan tentang peristiwa politik yang punya banyak versi dan efek paling mengerikan dalam sejarah Indonesia modern. Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang kronologi pembunuhan Kiai Djufri Marzuqi, seorang ulama berpengaruh dari Pamekasan yang dua bulan sebelum Gestapu, telah menjadi korban pembunuhan di kota Sampang.

Rasanya hal ini penting ditulis karena dua alasan. Pertama, selama ini peristiwa pembunuhan Kiai Djufri sering menjadi isu tahunan, tepatnya setiap bulan Setember, terutama yang menyangkut tentang isu PKI.

Kedua, pemberitaan mengenai kronologi tragedi itu tidak lengkap dan sering simpang-siur karena bersumber dari cerita mulut dari orang yang secara historiografis tidak bisa dipertanggungjawabkan sebagai informan.

Di kota Bangkalan, tepatnya di dusun Tepa’nah, desa Durjan, kecamatan Kokop akan diadakan rapat (sebutan pengajian dengan suasana agama-politik di masa itu). Kiai Djufri telah diundang sebagai penceramah. Tuan rumahnya bernama Haji Musthafa.

Pada malam Senin dan Selasa, Kiai Djufri masih menyampaikan ceramah di dua tempat berbeda di Pamekasan, yaitu di desa Tentenan dan Branta Tinggi. Dalam kedua kesempatan itu, Kiai Djufri mengaku kehabisan suara karena jadwal berpidato yang padat, juga mengaku akan pergi ke Bangkalan untuk mengisi ceramah di desa Durjan, yang menurutnya, desa itu termasuk pegunungan dan pedalaman dan untuk mencapainya harus naik kuda. Setelah dari Durjan, ia mengaku akan pulang ke “rumahnya.”

Pada hari Selasa pagi, tanggal 27 Juli 1965, Kiai Djufri berangkat ke Bangkalan bersama seorang santri yang masih remaja bernama Muhammad Syakir. Sebelum meninggalkan kediamannya di Sumber Batu, Kiai Djufri masih sempat berpesan kepada keluarganya agar menuliskan doa di setiap pintu rumah. Teks doa yang dimaksud sebagai berikut: Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahi as-shalihin, rabbana ma kholaqta hadza bathilan subhanaka faqina adzabannar.

Kiai Djufri kemudian berangkat dengan berjalan kaki menuju Pasar Blumbungan, sebuah kawasan sekitar dua kilometer di arah Barat Sumber Batu yang menjadi pangkalan becak dan dokar. Dari tempat itu, Kiai Djufri dan Syakir menaiki becak menuju kota Pamekasan di arah selatan.

Dari pusat kota Pamekasan, keduanya menaiki angkutan antar kota ke arah kota Bangkalan dan turun di kecamatan Lomair. Dari tempat turun itu, menuju lokasi acara masih berjarak dua puluh kilometer ke arah utara.

Untuk mencapai kediaman Haji Musthafa, Kiai Djufri menaiki dokar dan berhenti di sebuah jembatan kecil yang tidak bisa dilalui dokar. Dari jembatan itu, Kiai Djufri sudah disediakan kuda oleh pihak tuan rumah sebagai sarana transportasi agar segera tiba di lokasi.

Menurut Muhammad Syakir, sambutan dari tuan rumah dan masyarakat di luar dugaan, benar-benar meriah. Sarpin (eksekutor pembunuhan Kiai Djufri) waktu itu menggunakan celana kombor dan baju khas Madura dan sangat santun pembawaannya, ia menyambut Kiai Djufri dengan sangat antusias, padahal Kiai Djufri tidak pernah mengenal sebelumnya, begitu juga dengan Muhammad Syakir.

Tiba pada hari Selasa sore di tempat acara, Kiai Djufri sempat istirahat di kediaman Haji Musthafa hingga akhirnya malam tiba, pengajian dimulai dan sudah sampai waktunya Kiai Djufri untuk menaiki panggung. Kiai Djufri membuka pengajian agama itu dengan cerita ilustratif yang ingin menggambarkan kondisi politik-keagamaan mutakhir.

Menurut Kiai Djufri, ada kisah mengenai seorang raja, berak, dan kalajengking yang bisa bicara. Kalajengking punya maksud membunuh raja tapi tidak tahu caranya, ia akhirnya bersekongkol dengan berak dan bertanya mengenai caranya membunuh raja. Berak memberi tahu kalajengking tata cara membunuh raja, bagaimana berak akan duduk di atas sandal raja, sedangkan kalajengking berada di kamar mandi raja. Ketika raja sudah menginjak berak, tentu saja raja akan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan kakinya, di saat itulah tugas kalajengking dengan bisanya menggigit kaki raja. Keduanya saling paham dan langsung melancarkan aksinya. Raja bangun tidur, menginjak berak, raja membersihkan kemudian kakinya disengat kalajengking dengan bisanya, raja kemudian mati.

Setelah sekian lama memberi ceramah agama, malam semakin larut, Kiai Djufri mengakhiri ceramahnya dan pengajian selesai. Ia kemudian memilih beristirahat di beranda rumah pribadi Haji Musthafa bersama para Kiai yang lain, seperti Kiai Makmun dan Kiai Sayuti dari Bangkalan.

Saat itulah Kiai Djufri semakin didekati secara fisik oleh Sarpin yang sopan keterlaluan, melebihi tuan rumah. Sarpin selalu mengajak Kiai Djufri untuk pindah tempat istirahat ke masjid, hanya saja Kiai Djufri tidak mau. Kiai Djufri memang menyukai kamar tidur yang dekat dengan kamar mandi, dan kediaman Haji Musthafa waktu itu tidak terlalu jauh dari kamar mandi jika dibandingkan dengan jarak dari masjid.

Hari hari Rabu tanggal 28 Juli pukul 05:00, Kiai Djufri pamit ke Haji Musthafa selaku tuan rumah untuk pulang ke Pamekasan. Pihak tuan rumah menyediakan kuda untuk ditungganginya ke arah selatan, ke pinggir jalan tempat mobil angkutan antar kota lewat. Kepulangan Kiai Djufri itu diiringi oleh masyarakat yang ingin ikut mengantarnya, termasuk Sarpin. Mereka mengikuti dari belakang dengan berjalan kaki, begitu juga dengan santrinya Kiai Djufri bernama Muhammad Syakir.

Setelah sekitar lima belas kilometer menempuh perjalanan, di tengah perjalanan itu, Kiai Djufri meminta orang-orang di belakangnya untuk mendahuluinya, termasuk Muhammad Syakir, kecuali Sarpin yang setia memegang pelana kuda Kiai Djufri dari awal. Sarpin mengatakan, ingin mengungkapkan sesuatu kepada Kiai Djufri yang bersifat rahasia, dan tidak boleh didengar orang-orang di tempat itu.

Waktu masuk duha, sesampainya di sebuah sungai dengan jembatan kecil di atasnya (saat ini masuk dusun Bungkak, desa Batorasang, kecamatan Tambelengan, kabupaten Sampang). Kiai Djufri meminta Sarpin memegangi kuda itu, sedangkan Kiai Djufri turun ke bawah untuk buang air kecil. Ketika Kiai Djufri sudah selesai buang air kecil, ia bersiap-siap kembali ke arah Sarpin dan kuda berada, tapi tiba-tiba dari arah belakang, Sarpin menusukkan pisau bermata dua ke punggung Kiai Djufri yang langsung melawan dengan tangan kosong.

Sarpin terus menikam hingga mengenai tangan Kiai Djufri, luka semakin banyak dan lebar, darah semakin deras mengalir, Kiai Djufri roboh di tempat itu, dan sempat berteriak yang kemudian didengar Muhammad Syakir, dengan cepat Syakir mencari sumber suara Kiai Djufri.

Di bawah jembatan itu, Syakir menjumpai tubuh Kiai Djufri sudah roboh dan bersimbah darah. Sedangkan Sarpin sudah melarikan diri dan terus dikejar oleh warga. Setelah Kiai Djufri roboh ditusuk Sarpin, Muhammad Syakir sibuk mengevakuasi tubuh Kiai Djufri bersama beberapa orang, sedangkan yang lain ada yang mengejar Sarpin dan mencari bantuan.

Dalam suasana seperti itu, Syakir melihat pria misterius berkulit putih kemerah-merahan menggunakan caping di lokasi kejadian, pria itu sempat menyalami Kiai Djufri dan Muhammad Syakir tanpa memperkenalkan nama dan apa maksudnya. Menurut Syakir, lengan dan tangan pria itu lembek dan bentuknya menyerupai alu (kayu yang digunakan menumbuk gabah dalam lesung, qhentong dalam bahasa Madura). Setelah laki-laki bercaping itu pergi, Kiai Djufri mengatakan kepada Syakir, bahwa nama laki-laki itu adalah Balya bin Malkan (Nabi Khidir).

Di tengah kondisi bersimbah darah itu, Kiai Djufri masih bisa berkomunikasi, ia meminta Syakir memijat punggungnya, Syakir remaja hanya bisa menangis sambil memijat punggung gurunya dengan luka menganga. Kiai Djufri kemudian dilarikan ke rumah sakit kota Sampang oleh masyarakat setempat.

Kabar ditusuknya Kiai Djufri cepat sekali menyebar, menjelang sore, kota Sampang sudah dibanjiri masyarakat dengan berbagai senjata tajam, ulama yang mereka hormati telah dianiaya orang, mereka menginginkan pelaku penusukan Kiai Djufri.

Karena alasan peralatan yang tidak lengkap juga atas perintah dokter, Kiai Djufri dirujuk ke rumah sakit Bangkalan. Selama dalam perjalanan ke Bangkalan, Kiai Djufri masih bisa berbicara, tangan kirinya senantiasa memegang tasbih, tangan kanannya memegang tangan orang-orang terdekatnya.

Selama dalam perjalanan itu mulut Kiai Djufri selalu mengucapkan wa ‘alikum salam dan selalu bertanya mengenai daerah bernama Patemon di kota Bangkalan. Ketika sudah sampai di daerah Patemon, orang-orang di dekatnya memberi tahu Kiai Djufri, bahwa posisi mereka sudah di Patemon (saat ini masuk kecamatan Tanah Merah, Bangkalan). Mengetahui hal itu, Kiai Djufri kemudian mengucapkan kalimat assalamualikum warahmatullahi wabarakatuh, tak lama kemudian Kiai Djufri meninggal dunia tepat pukul 03:34 sore.

Jenazah Kiai Djufri terus dibawa ke rumah sakit Bangkalan untuk diperiksa. Setelah selesai diperiksa langsung dibawa pulang dan tiba di Sumber Batu pukul 19.00 WIB. Jenazah Kiai Djufri terus mengucurkan keringat dan darah yang wangi aromanya. Sepanjang jalan dari kecamatan Camplong di kota Sampang hingga kediaman Kiai Djufri dipenuhi masyarakat yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah ulama yang kemudian dijuluki Sang Syahid Besar atau As-Syahidul Kabir.

Sosok Sarpin sendiri hingga hari ini masih menjadi misteri. Siapa dia sesungguhnya? Dimana keluarga dan rumahnya? Setelah peristiwa 28 Juli 1965. Sarpin hanya diberitakan telah ditangkap kemudian dijebloskan ke dalam penjara, dan di dalam penjara itu ia mati bunuh diri dengan cara gantung diri menggunakan sarung. Dimana kuburan Sarpin? Tidak pernah ada laporan yang jelas mengenai sosok Sarpin. (*)

Sumber:
1. Chalil Minhadji, Ichtisar Riwajat Hidup Alustadul Alimun Dakwatul Islam KH M. Djufri Marzuqi Assjahidul Kabir, Sumenep: The Sun, 1967.

2. Agus Sunyoto dkk, Banser Berjihad Menumpas PKI, Tulungagung: Lembaga Kajian dan Pengembangan Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur & Pesulukan Thoriqoh Agung PETA Tulungagung, 1996.

3. Hasani Utsman, Hidup Penjuang Mati Pejuang: Biografi As-Syahidul Kabir KH. M. Djufri Marzuqi (1925-1965), Pamekasan: Tp, 2018.

Terkait

Uswah Lainnya

SantriNews Network