Amplop Merah Jambu

Ilustrasi 'Perempuan yang Terluka' (antonlolomaya.blogspot/santrinews.com)
Oleh: Pinasthi Duthamaya Maharani
Jangan panggil dia Utari. Itu menyesakkan dada, Mak. Menohok diriku dari berbagai penjuru mata angin. Sedangkan hatiku hanya gubuk renta tak berbilik. Utari itu bak juru warta. Ia telah menyebarkan berita yang menusuk jantungku: kabar indah nuansa percintaannya denganmu. Sedangkan aku, bak Si Kandita tidak rela, Mak. Kandita tidak menginginkan madu. Tidak mendambakan hatinya terbelah tiga. Hanya saja Kandita yang lemah, seorang gadis desa yang sebenarnya tak pantas buat Raja Munding Wangi.
Tapi kitab kejadian kadung tertulis. Di hari itu, Utari menurunkan titah pada inangnya untuk menyebarkan teluh berupa penyakit kudis bernanah. Sungguh hati Utari diliputi rasa bangga dengan membusungkan dada setinggi langit. Gejolak hati Utari sangat bertolak belakang dengan paras dan perangainya. Utari berparas elok dengan pakaian keseharian yang sopan dan berlantun lembut pada tutur bicaranya.
Maka, tak sebersit pun prasangka buruk menempel pada penampilannya. Tetapi kenyataan akan tetap menjadi nyata adanya: teluh telah turun. Kandita yang elok pun seketika menjadi berkudis dengan ulat-ulat yang menggeliat. Di antara liang berupa nanah. Di sekujur tubuhnya menebar bau apak. Bau amis lantas menyeruak, menyergap setiap dinding hidung.
***
Kandita sesungguhnya adalah seorang pemenang, yang pada akhir cerita akan menguasai Laut Selatan. Semua orang yang dulu mencemoohnya, berbalik meminta pertolongan berupa dilimpahkan harta, dengan mengirim sesaji, yang dilarung ke tengah laut. Sebaliknya Utari akan menjadi sebuah cerita perlambangan sifat buruk serupa cerita Dasamuka.
Saat ini, ketika kabar itu menyeruak dengan kata-kata nanar, Utari bukan suatu mite atau cerita rakyat biasa masa lampau. Ia telah menyusup dalam gubukku yang tenteram melalui celah jendela. Ia mengirimkan sepucuk surat beramplop merah jingga dengan judul besar: ‘masih ingatkah kita?’
Dengan tubuh gemetar kupungut surat itu. Surat dari pewarta yang belum sempat kutanyai di mana rumahnya. Surat dari pewarta yang belum sempat kupandang ranum mukanya, yang sekelebat nampak bulat telur, dengan membawa karung besar yang semua isinya surat berwarna jingga. Ia bersijingkat cepat menjauhi pekarangan gubukku yang sedikit tergenang karena semalaman hujan lebat. Jubah cokelat tuanya menyapu genangan, dia tak menghiraukan. Dia pergi. Dia berlalu. Hanya sinar retinanya sempat kuingat, sebab suamiku dulu pernah bercerita tentang sosoknya.
Surat merah jingga itu tiba-tiba menjulurkan lidah dengan air liur yang selalu menetes. Seperti anjing kelaparan, dan mengincar daging busuk dalam tong sampah. Aku pun urung membuka surat itu. Aku takut terkena virus rabies. Lama sekali kupandangi amplop merah jingga. Dengan jelas, tulisan tangan pengirim itu seperti sebaris api, Utari: untuk saudaraku, Nikodemos. Dengan judul besar: masih ingatkah kita? Benar-benar menghantam bawah sadarku bak dentaman ombak.
Lalu bagaimana aku harus menghadapi juluran lidah surat itu. Jujur saja aku tidak begitu suka lidah: lidah goreng, sup lidah, ataupun steak lidah. Meski kadang aku memaksakan diri untuk bergelut dengan menu-menu lidah itu. Itu sekadar menyenangkan suamiku yang menggemarinya.
Aku hanya tercengang saja memandangi surat itu. Jiwaku tercerabut dari badanku. Batang tengkorakku lunglai dipresto duri lunak. Hanya otakku, yang belum tandas, mencoba mengulas. Aku terlempar pada mesin waktu, ke masa kami pertama kali aku bertemu suamiku. Saat kami bertiga duduk satu meja, di rumah panggung dekat kampus. Begitu muda nan lugu dulu aku. Sedikit bertingkah sopan dan jaga image, sebab dia salah satu kakak kelasku.
Waktu itu, Utari duduk dengan Mak Syam, membelakangi gundukan tanah yang akan dibuat taman. Seperti pelancong, aku diam saja dari kejauhan. Menikmati punggung kalian yang saling beradu bahu.
Tiba-tiba Mak Syam memanggilku dan kami duduk satu meja tanpa bahasa. Tidak ada akar serabut ataupun tunggang. Yang ada hanya hamparan belukar gersang. Yang kehilangan akar.
Pembicaraan kita: aku, kau dan Mak Syam begitu kering. Tak menyisakan segelas oase untuk kuteguk. Kejadian itu terjadi seketika seusai kita saling berjabat tangan. “Kenalkan, aku Kandita. Panggil saja Dita,” sedikit kulemparkan esem manisku. “Mbak?”
Terbata kau menjawabku, “Uut, Dik. Utari”. Utari agaknya ragu. Mungkin ia sedikit terkesima melihatku. Aku tahu beberapa detik lalu, ia menelusuri kekurangan tubuhku, sambil berselancar mata tanpa berkedip.
“Oh ini toh adikmu, Mos?” Utari memastikanku pada Mak Syam dengan panggilan kesayangannya: Nikodemos. Sedikit manja.
Kejadian itu sudah lama sekali berlalu, dan Utari hanyalah cerita. Sedangkan aku dan Mak Syam, memasuki babak baru dari sebangun panggung sandiwara. Kami akan melakonkannya semua peran pada tiap nadir hidup yang telah diberikan. Sejak saat itu, tidak ada kabar ke mana perginya Utari.
Sampai saat ini, barulah ia datang dengan amplop merang jingga, menawarkan bingkai lain dari kehidupan. Ia mencoba membangkitkan kenangan masa lalu. Ia mencoba mengoyak tanah tempat berpijak Kandita kini berubah segara di mana laut selatan beserta isinya di bawah pemerintahannya. Kandita bahagia membangun kerajaan megah dasar laut.
Tetapi ini bukan Kandita dari mite. Aku hanya Kandita istri Mak Syam. Sebelum dekat denganku, Mak Syam sempat dekat dengan Utari. Mereka rupanya telah banyak melewati waktu bersama. Namun karena suatu hal, akhirnya Mak Syam dan Utari tak menemukan kata sepakat.
Utari menikah terlebih dahulu dan meninggalkan kisahnya berlalu terkikis iklim. Tidak adil rasanya apabila seorang narapidana hukuman mati mendapat amnesti bebas tanpa syarat di perempat masa hukumannya. Selepas belibis putih persawahan gambut, seperti Utari yang tiba-tiba meminta amnesti dengan lambang suratnya, yang jingga dan berliur.
“Maaf, karena rasa penasaranku yang tiada tara dan cintaku padamu, Mak. Tanpa seizinmu kubaca dan kubungkus rapi kembali surat itu,” batin bergejolak.
Mos, mungkin ngilumu itu rasa rindu. Ngilumu kini menghasilkan sembilu dan menjadikannya sulur-sulur luka membiru lebam di sekujur tubuhku. Luka yang semestinya tidak ingin kau cecap. Di tanah kelahiranku, kini aku punya warung makan. Berwarna biru. Menghadap laut. Semoga kau mau bertandang. Dan memasan namaku: Utari.
“Aku akan menempatkan diriku semestinya, Ut! Sebagai seorang gembala domba yang kehilangan salah satu ternaknya. Sungguh ternakku sangat berharga karena aku cuma pengembala. Tuan pemiliknya pasti marah.” Situasi ini membuatku kalut. Tanganku meremas surat merah jambu itu. Airmataku menetes.
Sedang di luar padang ilalang telah begitu larut dengan tetembangan malam. Semua gembalaku pergi meninggalkan padang yang tinggal seberkas semi pada musim kedua. (*)
Ilatetan, akhir 2010
Pinasthi Dutahama Maharani, lahir di Mojokerto, 12 Juli 1991. Alumni SMANDA Mojokerto mulai suka menulis sejak duduk di bangku SMA. Tahun 2010, cerpennya cerpennya memenangkan Lomba Menulis Cerpen Unit Kegiatan Mahasiswa (UKIM) Universitas Negeri Surabaya. Kini sedang mengabdi (:mengajar) di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta di tanah kelahirannya.