Jumud dan Gagah-gagahan Intelektual

Islam hadir sebagai agama dengan misi rahmatan lil ‘alamin. Islam juga menjadi ajaran yang mengantarkan pada ruang keintiman manusia dengan Tuhan pun sosial sekaligus. Buktinya, adalah manusia diciptakan dengan ragam potensi yang luar biasa, yang mengalir ke seluruh aspek kehidupan, lalu saling memahami heterogenitas kehidupan.

Jika dinarasikan, “Laqad kholaqnal insana fi ahsani taqwim” yang mana memiliki makna sungguh-sungguh dan meyakinkan readersnya. Maka ruang publik akan menjadi ruang komunikasi yang saling menghargai dan menghormati perbedaan. Artinya ayat 5: Qs Attin memberikan gambaran bahwa manusia memiliki kedalaman dan keluasan berpikir, bersikap dan menentukan sikap dan visi baru sebagai manusia yang progresif baik intelektualitas maupun spiritualitasnya.

Potensi yang manusia miliki tentu menjadi alat untuk membuka cakrawalanya dengan corak dan cara berpikir yang luas. Semisal, keberpihakan itu diwujudkan dengan kepedulian dan kepekaan dalam menjaga alam; menjauhi eksploitasi, illegal logging, peduli terhadap yang lemah, menghalangi diskriminasi aliran-aliran, berbagi ruang dengan yang berbeda atau minoritas, serta menemukan formula untuk menjawab tantangan dan fenomena sosial, sehingga bermanfaat bagi semua.

Oleh sebab itu, Islam bukan seperti baju yang melekat dan menjadikan orang yang memakai baju kemrungsung. Wong kita sebagai manusia itu memeluk agama, baik Islam maupun yang lain bukan hanya untuk gagah-gagahan, tetapi untuk menjalani kehidupan agar sesuai dengan tuntunan ilahiyah dan – tanpa menafikan upaya membangun ukhrawiyahnya.

Problem kemanusiaan dan identitas yang muncul sejak lampau tidak sedikit yang dipicu oleh kepentingan dan kerakusan-kerakusan personal maupun komunal. Sayangnya lagi, kepentingan dan kerakusan itu tidak dilakukan seperti gaya perampok kawakan, tetapi ada rangkaian body of knowledge, otak intelektualnya. Memang semua implikasi logis dari kehidupan yang terus berubah, tetapi kesadaran bahwa kita ini sesama manusia mbok digarisbawahi dan ditulis tebal.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Buya Syafii Ma’arif yang didiskusikan dalam Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) ASM ke-4, bahwa tidak sedikit sampai hari ini banyak konsepsi-konsepsi yang menguap karena kegagahan-kegagahan intelektual, yang mana sama sekali tidak berpihak pada yang lemah atau yang membutuhkan uluran tangan. Perubahan-perubahan dan progresifitas pengetahuan untuk mewujudkan kemanusiaan jangan sampai dihalangi oleh kejumudan-kejumudan atau diskusi-diskusi intelektual yang menguap begitu saja.

Jika hal itu terjadi, bukan hanya destruktifikasi sosial yang terjadi, tetapi juga peperangan baik verbal maupun fisikal yang disebabkan satu kejumudan dan ketertutupan diri terhadap perbedaan. Tidak hanya perbedaan aliran, atau keagamaan, tetapi juga perbedaan status sosial, kapasitas diri, latar pendidikan dan lain sebagainya. Kalau ada kasus diskriminasi, bukan melulu menjadi ajang kontestasi analisis yang berbusa-busa, tetapi keberpihakan itu perlu diwujudkan dengan pendekatan dan kesadaran akan kepentingan kemanusiaan semata.

Problem solving ini yang berusaha dijawab oleh teman-teman di SKK, ada yang ahli hadits, ada yang ahli al-Quran, ada yang ahli bibel dan penggerak sosial. Mereka melebur dalam menentukan konsep dan rekomendasi agar kejumudan itu tidak menjadi ajang romantisme yang tidak mau digeser begitu saja.

Inilah yang menjadi benang merah dari apa yang disampaikan Buya Syafii Ma’arif bahwa tidak sedikit pemeluk agama pun akademisi yang “Menutupi kejumudan dengan jubah kesalehan, Menutupi penindasan dengan jubah kebenaran,” dan jika boleh saya tambahkan maka jangan sampai menutupi kekolotan berpikir dengan kegagahan-kegagahan intelektual.

Karena kalau Islam itu rahmatan lil’alamin, tentu agama yang lain juga memiliki cita-cita perdamaian, hal itu dapat diraih dengan cara bergerak dan berproses, tidak mandeg dalam ruang-ruang diskursif yang berbusa-busa lalu menguap, atau dalam identitas-identitas keagamaan yang jumud lalu membatu begitu saja. []

Ahmad Dahri, Peserta SKK ASM ke-4 Maarif Institute.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network