Skandal Dimas Kanjeng, Marwah Intelektual, dan ICMI

BERBAGAI skandal penipuan dan/atau kriminalitas terkait dengan uang bukanlah sesuatu yang mengherankan atau mengagetkan. Sudah sangat sering kita mendengar, membaca, dan melihat di tayangan media informasi yang serupa sepanjang sejarah. Dan tampaknya praktik penipuan yang menggunakan iming-iming uang, tak pernah sepi dari peminat.

Demikian pula modus operandi yang dikembangkan oleh para penipu dan kriminal itu terus berkembang dan tak kalah kreatif dibanding dengan para inventor dan innovator di segala bidang.

Bukti dari kehebatan inovasi para penipu tersebut antara lain adalah bahw para pihak yang menjadi korban penipuan bukannya kecewa, marah, atau melakukan upaya penuntutan, tetapi sebaliknya mendukung si penipu, memuji dan mengagung-agungkannya. Kalau perlu malah menganggap sebagai orang sakti, orang suci, dan entah apa lagi!.

Kalau hal itu terjadi pada orang awam, mungkin hal itu masih bisa dipahami secara nalar biasa. Karena kecanggihan para penipu memang seringkali di luar kapasitas orang awam untuk menalarnya. Apalagi jika orang fokus kepada “hasil” yang ditawarkan si penipu yang biasanya juga di luar nalar. Misalnya jika anda memberi uang seratus ribu anda dalam tempo singkat mendapat seratus juta.

Dengan sedikit manipulasi informasi dan kecanggihan teknologi, maka orang awam akan mudah kepincut dan melakukan apa yang dikehendaki si penipu sampai kemudian ternyata uangnya ludes dan janji pun menguap.

Yang sangat sulit dipahami nalar adalah jika seorang tokoh yang memiliki gelar akademis tertinggi (PhD), berpengalaman internasional dalam politik dan aktivisme sosial, serta yang lebih dahsyat lagi, pimpinan salah satu sebuah ormas cendekiawan Islam paling terkemuka, juga menjadi pendukung dan memuja-muji orang si tersangka praktik penggandaan uang dengan kedok keahlian spiritual.

Bukan saja mendukung, dengan menjadi Ketua Yayasan yang didirikan sang tersanka itu, sang tokoh itu juga terkesan rela mempertaruhkan nama dan reputasinya yang luar biasa itu untuk membela sang tersangka ketika ia dinyatakan terlibat kasus pembunuhan selain penggandaan uang berjumlah milyaran rupiah.

Sang intelektual dan pemimpin ormas cendekiawan berbasis agama tersebut tak lain adalah DR Marwah Daud Ibrahim, sedang si tersangka penggandaan uang dan pidana pembunuhan adalah Dimas Kanjeng Taat Pribadi dari Probolinggo. Marwah Daut adalah Ketua Presidium Nasional ICMI, mantan politisi Golkar, dan sederet lagi keterlibatan dalam organisasi terkemuka di negeri ini.

Tak terlalu berlebihan jika Marwah Daud adalah salah satu dari tokoh perempuan Indonesia saat ini yang memiliki reputasi intelektual dan nama besar pada tataran internasional. Ia juga menjadi salah satu orang paling dekat dengan mantan Presiden RI ke-3, BJ. Habibie sekaligus kepercayaan beliau dalam mengelola ICMI sampai saat ini.

Marwah Daud bukanlah salah satu “korban” seperti ribuan orang yang kini terancam kehilangan uang yang sudah disetorkan sebagai ‘mahar’ kepada Dimas Kanjeng. Ia adalah pihak yang secara sadar menjadi pendukung dan pembela Dimas Kanjeng dengan argumentasi bahwa Dimas Kanjeng adalah seorang manusia luar biasa yang diberi Tuhan kemampuan super natural atau yang dalam istilah populer disebut ‘karomah’, kemampuan yang di luar nalar yang dimiliki para Waliyullah dan orang-orang suci.

Selain itu, masih bagi Marwah Daud, pria asal desa Wangkal Probolinggo itu bisa dibandingkan dengan BJ Habibie dalam kapasitas beliau yang luar biasa di bidang Iptek. Marwah Daud memprotes keras penangkapan terhadap Dimas Kanjeng sebagaimana dilakukan oleh Polres Probolinggo dan Polda Jatim, seperti penangkapan terhadap teroris. Maka Ketua Presideum ICMI dan juga Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng itupn melayangkan somasi kepada Presiden RI, Menkumham, Kapolri, dan Kompolnas.

Dilihat dari perspektif hak asasi, tentu orang tak bisa melarang Marwah Daud untuk bergabung dengan ormas manapun atau memiliki keyakinan apapun. Termasuk keyakinan beliau (seabsurd apapun) terhadap kemampuan super natural yang dimiliki Dimas Kanjeng.

Namun demikian, jika dilihat dari perspektif posisi sebagai intelektual dan perannya dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat, Marwah Daud telah mempertaruhkan posisi kecendekiawanannya sedemikian rupa yang bisa berakibat buruk bagi organisasi yang dipimpinnya dan juga kiprah kecendekiawanan yang selama ini diperjuangkan organisasi tersebut.

Secara pribadi saya menolak keras sikap Marwah Daud membela Dimas Kanjeng dan kiprahnya dalam komunitas/padepokan tersebut, termasuk argumen Marwah Daud yang membandingkan kapasitas Dimas Kanjeng dengan BJ. Habibie. Bagi saya statemen itu merupakan sebuah denigrasi terhadap reputasi, kredibilitas, dan capaian-capaian mantan Presiden RI ke-3 tersebut.

Hemat saya ICMI harus mengambil jarak dan sikap yang tegas terhadap pemimpinnya itu agar peristiwa ini tidak menjadi polemik dan berbagai efek negatif yang diakibatkannya terhadap ormas terkemuka dan berpengaruh tersebut.

Sikap diam para petinggi ICMI terhadap sikap dan perilaku bagi saya bukan hal yang menunjukkan kearifan, tetapi bisa disebut pembiaran. Dan marwah kecendekiawanan, khususnya yang menggunakan nama Islam, pun akan ikut dipertaruhkan. Wallahu A’lam. (*)

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network