Pesantren, NU dan Islam Nusantara

Pesantren sudah lama dikenal sebagai institusi pendidikan keagamaan yang sangat unik dan indigenius, khas Indonesia. Telah beratus tahun lahir, tetapi ia masih eksis sampai hari ini, meski tanpa dukungan financial langsung dari negara/pemerintah sekalipun. Ia sering dicap sebagai lembaga pendidikan tradisional, acap distigma sebagai tempat pendidikan yang kumuh dan terbelakang. Ia sering dituding sebagai lembaga keagamaan konservatif dan statis.

Ini adalah pandangan sekilas dan tidak kritis. Realitasnya pesantren tetap eksis dalam dinamika modernitas. Pesantren telah mampu menunjukkan dirinya sebagai lembaga yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Belakangan telah berkembang biak anak-anak muda jebolan pesantren yang memiliki pikiran-pikiran modern bahkan progresif.

Pesantren pada sisi lain, memiliki khazanah intelektual klasik, karya para sarjana Islam terkemuka dan otoritatif di bidangnya masing-masing. Di dalamnya mengandung pikiran-pikiran pluralistic yang semuanya dihargai. Dalam banyak hal krusial, berkaitan dengan system kenegaraan atau politik kebangsaan, Pesantren menampilkan jawaban- jawaban yang sangat relevan dan strategis. Amatlah mengesankan bahwa para Kiyai pengasuh pesantren yang berkumpul dalam perhelatan akbar dan puncak: Muktamar NU 1984 di Situbondo, telah menghasilkan keputusan keagamaan yang bersejarah. Mereka menerima Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status final.

Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang, mendalam dan atas dasar legitimasi teks-teks keagamaan. NU adalah organisasi keeagamaan dan kemasyarakatan pertama menuntaskan penerimaannya atas ideologi Negara ini. KH Ahmad Shiddiq, konseptor utama keputusan Muktamar 1984 ini, dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar mengatakan bahwa “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam tentang ke-Esa-an Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid” dan bahwa “pencantuman anak kalimat “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa”. KH Ahmad Shiddiq pada akhirnya menyimpulkan: “Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial. (Baca : Muktamar Situbondo, 1984).

Jauh sebelum itu, dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), para ulama sepakat menyatakan bahwa mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda (nama Negara Indonesia wakti itu) adalah wajib. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan Islam, dan karena pada awalnya kawasan ini adalah Kerajaan Islam. Jawaban kedua ini, dirujuk dari kitab “Bughyah al-Mustarsyidin”, sebuah kitab yang dianggap para kiyai sebagai “mu’tabar”, standar-otoritatif.

Para ulama pesantren dan NU berdasarkan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, dapat menerima realitas tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam menurut paham organisasi tersebut. Mereka tampak sekali lebih berpikir substantif dari pada berpikir formalistis. Bagi mereka yang paling utama bukannya nama/label agama bagi sebuah negara, sebagaimana dianut beberapa Negara lain, seperti Saudi Arabia, Iran, Pakistan atau Malaysia, melainkan implementasi, aktualisasi atau pengamalan ajarannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Gus Dur, tokoh paling terkemuka, pemimpin berjuta-juta santri dan warga NU, menyebutkan paling tidak tiga alasan utama atas keputusan ini. Pertama bahwa Negara ini secara faktual dan real dihuni oleh masyarakat bangsa yang plural dan heterogen. Kedua, secara real Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku tentang Negara. Ketiga, pelaksanaan ajaran-ajaran agama Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, bukan menjadi tanggungjawab Negara.

Begitulah sikap para Kiai dan Ulama Pesantren dan NU sejak dulu sampai hari ini. Bagi orang-orang yang berpengetahuan mendalam dan luas, “Wihdah al-Ummah” (kesatuan umat), “Wihdah al-Sya’ab” (kesatuan bangsa) dan selanjutnya “Wihdah al-Insan”(kesatuan umat manusia) adalah prinsip. Satu atas yang lain dari ketiganya tak dapat dipisah-pisahkan, meski satu atas yang lain memiliki makna yang berbeda. Dalam muktamar NU di Situbondo sebagaimana sudah disebut, ketiganya dikenal dengan istilah “Ukhuwwah Islamiyyah”, “Ukhuwwah Wathaniyyah” dan “Ukhuwwah Basyariyah” atau“Ukhuwwah Insaniyyah”.

Mengapresiasi Tradisi Nusantara
Tidak dapat diingkari bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pesantren telah memainkan peran transformasi sosial dan kultural di “pejajahan” tanah Nusantara. Pesantren selalu menunjukkan appresiasi terhadap kebudayaan lokal. Pesantren melakukan sikap akomodatif atas kebudayaan-kebudayaan dan tradisi-tradisi local di wilayah-wilayah Nusantara tersebut. Melalui ajaran-ajaran sufismenya, Pesantren menganggap bahwa praktik-praktik tradisi dan ekspresi-ekspresi budaya dalam masyarakat bukanlah masalah, sepanjang mendasarkan diri pada prinsip Tauhid.

Tampak sekali lagi bahwa pesantren melihat persoalan-persoalan ini dari aspek substansinya, bukan format dan mekanisme formalistiknya. “˜Khudz al-Lubb In kunta min Uli al-Albab” (ambil saripati,jika kau seorang cendikia),kata al-Imam al-Ghazali. “In Kunta “˜aliman bi al-Ma’rifah Fa Da’ al-Lafzh wa Iqshid al-Ma’na” (Jika kau seorang yang berpengetahuan mendalam dan luas, tinggalkan formalisme dan pikirkan substansi”, kata Abd al-Rahman al-Jami.

Oleh karena itu pesantren menolak tegas sikap dan cara pandang kelompok puritan-radikal yang memahami pandangan akomodatif tersebut sebagai bid’ah (sesat) dan musyrik. Mereka adalah orang-orang yang tak paham.

Dalam konteks kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, pandangan-pandangan keagamaan Islam pesantren sebagaimana sebagiannya disebut di atas, memiliki akar ajaran teologisnya. Yakni Ahlussunnah Wal-Jama’ah, disingkat Aswaja.

Aswaja adalah paham keagamaan yang menjunjung tinggi asas-asas moderasi dalam cara berpikir, bertindak dan bersikap. Ia adalah al-Tawasuth (moderat), al-Tawazun (keseimbangan) dan al-Tasamuh (toleran). Dengan basis ini, pesantren sejatinya dapat menerima perkembangan ilmu pengetahuan yang berbasis rasionalitas dari manapun datangnya, tetapi juga tetap menghargai pemahaman keagamaan konservatif sepanjang memberikan manfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan mereka. Inilah yang dalam tradisi Pesantren dikenal jargon: “al-Muhafazhah ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdz bi al-Jadid al-Ashlah” (mempertahankan tradisi/pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau pemikiran baru yang lebih baik (dari manapun datangnya).

Keputusan keagamaan yang dihasikan para ulama pesantren di atas diyakini banyak pihak memiliki relevansi untuk mengatasi problem politik umat Islam Indonesia yang tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan dewasa ini. Ideologi Aswaja yang menjadi anutan pesantren inilah yang dapat memberikan jawaban secara telak tuduhan “ekstrimis” atau “teroris” yang dialamatkan kepada pesantren dan lebih jauh Islam. Aswaja tafsir pesantren tidak pernah mengenal penggunaan cara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama terhadap orang lain meski mereka berbeda aliran keagamaan, bahkan juga terhadap mereka yang berbeda agamanya. Aswaja juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang terhadap orang kafir/non muslim. Perang dapat dijalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka. Jika ada kemunkaran yang terjadi dalam masyarakat, doktrin Aswaja mengajarkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, melalui “hikmah” (ilmu pengetahuan), mau’izhah hasanah (nasehat yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang terbaik). Cara lain adalah melalui aturan-aturan hukum yang adil dan dilaksanakan dengan konsekuen. Hukum yang adil adalah pilar utama bagi kehidupan bersama masyarakat bangsa. Demikianlah, maka adalah jelas Aswaja menolak cara-cara penyebaran agama dengan kekerasan baik fisik, psikis maupun pembunuhan karakter.

Dengan ungkapan lain, mereka yang menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama, meski dengan mengatasnamakan agama atau umat Islam bukan bagian dari masyarakat Aswaja dan Pesantren. Kita harus waspadai klaim-klaim mereka itu.

Jika demikian, sebagai tanggungjawab keagamaan dan komitmen kebangsaan (nasionalisme), pesantren sudah saatnya tampil di garda paling depan untuk menyelamatkan Negara dan bangsa ini dari ancaman dan aksi-aksi gerakan radikal itu. Pembiaran terhadap ideology dan gerakan radikalisme yang mengatasnamakan Islam secara niscaya akan meruntuhkan bangunan Negara-bangsa dan menghancurkan kesatuan Negara Repulbik Indonesia yang sudah disepakati bersama itu. Sikap dan tindakan pesantren itu kini sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat bangsa. Inilah makna “Islam Nusantara”. (*)

Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar At Tauhid Arjawinangun Cirebon, Jawa Barat.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network