Islam Nusantara, Potret Islam Hakiki
AKHIR -akhir ini muncul istilah Islam Nusantara yang menarik sebagian orang memperbincangkannya. Bahkan ada yang cukup serius serta khawatir seolah kemunculannya sebagai sebuah agama baru di Indonesia.
Sesungguhnya nama Islam Nusantara tersebut digagas untuk memberikan label kepada Islam yang hidup di nusantara yang menyatu dan dapat berdaptasi dengan budaya lokal dengan tanpa mengusirnya. Namun karena namanya saja itulah yang membuat orang kemudian menafsirkan yang bukan bukan.
Islam itu ya Islam sebagaimana diajarkan oleh Rasul Muhammad Saw, yakni Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang tidak identik dengan lokal tertentu, seperti Arab atau Indonesia, dan lainnya. Prinsip Islam itu harus dapat diaplikasikan dimana saja dan kapan saja. Sebagai contoh bahwa Islam itu menjunjung tinggi keadilan, persamaan, toleran, kemanusiaan dan lainnya, maka meskipun di daerah asal munculnya Islam, kalau sudah tidak lagi sesuai dengan prinsip prinsipnya, maka sesungguhnya bukan lagi Islam yang hakiki.
Sebaliknya meskipun Islam tidak berada di daerah asal munculnya, tetapi kalau prinsip prinsipnya dapat berjalan dengan baik, maka itulah Islam yang hakiki. Hal tersebut disebabkan Islam itu tidak bersifat lokal, melainkan universal.
Islam sebagaimana yang dikembangkan oleh para wali songo di tanah Jawa, merupakan kombinasi antara prinsip Islam dengan kearifan lokal (local wisdom) dan dapat terus tumbuh dengan suburnya, karena memang tidak ada perbedaan yang substansial.
Itulah barangkali yang dimaksudkan dengan Islam Nusantara, yakni cerminan Islam yang sangat ramah terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap perbedaan dan tidak memaksakan kehendak. Bahkan lebih menonjolkan kesamaan daripada perbedaan dengan semua hal. Kalau demikian, sesungguhnya Islam nusantara itu identik dengan Islam hakiki sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, sehingga justru itulah yang benar dan tidak perlu dicurigai atau dituduh sebagai ajaran dan agama baru.
Dengan begitu persoalannya hanyalah penamaan semata dan bukan dalam hal yang substansial. Justru substansinya malah lebih kental dengan Islam hakiki dan jauh dari kesan perbedaan dengan apa yang dibawa dan dikembangkan oleh para ulama tempo dulu.
Kita memang tidak sependapat dengan pernyataan bahwa Islam itu identik dengan Arab, karena banyak hal yang terkait dengan Arab tetapi justru tidak sesuai dengan ajaran inti Islam.
Kita sangat menyadari bahwa Islam itu memang lahir di tanah Arab, kitab suci al-Quran juga diturunkan dengan Bahasa Arab, bahkan konon bahasa di surga nanti juga menggunakan Bahasa Arab. Namun ajaran Nabi, yakni Islam itu bukan hanya untuk orang Arab semata, melainkan untuk seluruh alam, sehingga substansi Islam itu tidak identik dengan Arab, melainkan sebuah entitas tersendiri yang tidak dipengaruhi oleh lokal maupun waktu.
Islam itu dapat hidup dan tumbuh di manapun, karena semua yang baik pastilah dapat bersanding dan bahkan bergandengan tangan dengan Islam. Artinya semua yang bermuara kepada kemaslahatan, baik bagi kemanusiaan, alam lingkungan dan hubungan antara makhluk itulah hakekat Islam. Walaupun tentu ajaran Islam itu bukan abstrak melainkan ada wujud nyata yang harus dipertahankan dan dilaksanakan oleh para pemeluknya.
Prinsip ajaran shalat, zakat, haji, puasa Ramadlan dan sejenisnya itu tidak dapat ditawar dan diganti dengan bentuk lain, karena semua itu ada hikmah dan tujuan yang jelas. Sedangkan untuk kepentingan hubungannya dengan kepentingan manusia dalam hal mempertahankan kehidupannya di dunia, sudah barang tentu Islam hanya memberikan prinsip prinsipnya saja, sedangkan rinciannya diserahkan sepenuhnya kepada masing masing umat sesuai dengan kondisi lokal dan alam lingkungannya.
Jadi, isu tentang Islam Nusantara yang saat ini sedang dibicarakan tersebut secara substansial tidak bertentangan dengan Islam hakiki sebagaimana dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para ulama terdahulu.
Tuduhan sementara pihak yang belum mendapatkan penjelasan maksud dari Islam Nusantara bahwa Islam nusantara itu merupakan ajaran baru atau bahkan agama baru atau ajaran yang ingin menyaingi Islam Arab dan banyak lagi tudingan lainnya, tidak perlu diteruskan. Sebaiknya kita memang berdialog tentang penamaan tersebut agar jangan lagi ada salah paham diantara umat muslim.
Barangkali mereka yang selama ini meyakini bahwa Islam yang benar adalah Islam yang berada di tanah Arab, meskipun tidak lagi selaras dengan prinsip Islam hakiki, sangat perlu diajak rembukan tentang persoalan ini. Artinya harus ada pemahaman yang disampaikan dari pihak yang menggagas Islam nusantara tersebut kepada semua umat. Perlunya diskusi tersebut ialah untuk tetap menjaga kesejukan umat muslim di negeri kita saat ini yang meskipun tampak damai, tetapi sepertinya menyimpan sesuatu yang potensial untuk meletus.
Sudah barang tentu kita tidak menginginkan bahwa Islam itu pecah sehingga memberikan kesan yang buruk kepada dunia, atau bahkan dapat memberikan justifikasi bagi mereka yang sementara ini sudah mempunyai pemikiran buruk tentang ajaran Islam. Kita sangat menyadari bahwa masih ada sementara pihak yang masih memandang Islam dari sisi praktek orang yang mengaku sebagai muslim dan ternyata prakteknya jauh menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad Saw sendiri.
Memang amat disayangkan mereka yang tidak melihat dari sisi ajaran yang benar, semisal melihat isi kandungan al-Quran dan praktek para ulama yang selama ini sangat bagus dan selalu membawa angin kesejukan dalam kehidupan mereka. Atau memang sengaja mereka membidik Islam untuk dijerumuskan kepada kesan negatif dengan menyebarkan praktek umat muslim yang tidak sejalan dengan ajaran agama mereka, wallahu a’lam.
Menurut saya, Islam yang hakiki sesungguhnya sudah selesai, karena sudah sangat jelas ukuran dan referensinya. Sosok pembawa ajaran tersebut, yakni Nabi Muhammad Saw yang sangat dihormati, baik oleh kawan maupun yang memosisikan diri sebagai lawan adalah bukti bahwa sang pembawa ajaran tersebut sungguh sangat luhur budi pekertinya, sangat tulus dalam perbuatannya, sangat toleran dengan perbedaan, dan lebih mementingkan persatuan dan perdamaian ketimbang peperangan. Bahkan beliau tidak pernah dendam terhadap siapapun yang telah berbuat tidak adil kepadanya.
Tetapi kenapa hal tersebut tidak dijadikan sebagai referensi oleh umat muslim sendiri dan malahan pihak lain yang menjadi teladan mereka. Karena itu kalau kita membicarakan tentang ajaran Islam yang sesungguhnya, seharusnya kita kembali kepada al-Quran dan Sunnah Nabi yang valid. Terjemahan dari keduanya kedalam praktek bermasyarakat tentu harus dilihat sebagai sebuah penafsiran yang dapat saja diantara satu daerah satu dengan lainnya berbeda. Hanya saja prinsipnyalah yang harus sama. Dengan bahasa lain bahwa substansi harus sama, sedangkan sarana dan wadahnya dapat berbeda, atau tujuannya sama tetapi caranya dapat berbeda.
Hal terpenting yang harus kita ketahui ialah bahwa Islam itu mempunyai ajaran prinsip yang berlalu sepanjang zaman dan tidak boleh diubah atas dasar pertimbangan apapun, seperti ajaran tauhid dengan syahadatain yang tidak boleh diubah sepanjang masa. Demikian juga dengan perintah untuk menjalankan shalat lima waktu, ajaran untuk berzakat, ajaran untuk berpuasa di bulan Ramadlan dan ajaran tentang ibadah haji. Namun sebagaimana kita tahu Islam juga mempunyai ajaran yang hanya disampaikan prinsip prinsipnya saja, seperti tentang keadilan, tentang kemanusiaan, tentang persamaan, tentang toleransi dan lainnya.
Karena itu sekali lagi Islam itu satu, dan kalaupun kemudian ditambah menjadi Islam nusantara atau nama lain, sepanjang tidak menjadikannya sebagai sebuah ajaran baru yang lain dari Islam hakiki, menurut saya tidak masalah. Hanya saja diperlukan sosialisasi mengenai tujuan dan alasannya, sehingga masyarakat tidak menjadi bingung. (*)
Prof Dr H Muhibbin, MAg, Rektor UIN Walisongo Semarang.