Alumni 212, Potret Umat Islam Susah Maju
Umat Islam akan susah maju dan berkembang bersaing di era global dalam bidang intelektualitas, peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi, kalau mereka masih terus mempraktikkan cara-cara berpikir kuno dan bertindak “primitif” dalam kehidupan sehari-hari.
Jumlah atau kuantitas mereka bisa jadi terus bertambah di kemudian hari tetapi itu tidak menjamin kalau kualitas mereka juga ikut bertambah. Mereka bisa jadi tampak seperti gelembung atau buih lautan yang kelihatan besar tetapi rapuh tak berisi.
Mereka bisa jadi membesar seperti balon udara tapi kosong-melompong hanya berisi angin doang. Tak percaya? Lihatlah kumpulan orang-orang di Monas dan alumni 212 itu?
Karena tak berkualitas itulah mengapa umat Islam selama ini hanya menjadi konsumen saja: konsumen dari dunia kapitalisme global yang terus menjamah wilayah-wilayah tak terjamah.
Karena tak berkualitas itu pulalah, kenapa umat Islam selama ini hanya menjadi penonton, suporter, atau pemandu sorak saja, bukan sebagai pemain di ajang global-internasional.
Karena tak berkualitas itulah kenapa umat Islam dewasa ini bisanya cuma membangga-banggakan kejayaan masa lalu sementara mereka sendiri tak berbuat apa-apa apalagi berpikir tentang apa yang membuat peradaban Islam masa lalu begitu gemilang dan berkilau.
Mereka hanya menjadi sekumpulan kaum imajiner, pemimpi dan penghayal kelas wahid yang mengglorifikasi keagungan peradaban Islam masa silam dan membanggakan jumlah umat Islam yang tidak pernah mereka hitung itu.
Ideologi “Islamisme” yang diusung kelompok Islamis untuk menjadi pesaing kapitalisme gagal-total dimana-mana karena Islamisme tidak dibangun dan digerakkan dengan fondasi intelektualisme yang kuat dan filosofi yang matang.
Islamisme, dalam sejarahnya, lahir karena reaksi spontan atas pengaruh kolonialisme, sekularisme, nasionalisme, dan dominasi kapitalisme yang mewabah di berbagai kawasan mayoritas berpenduduk Muslim dari Afrika Utara dan Timur Tengah sampai Asia Tengah, Selatan dan Tenggara.
Dengan demikian, kaum Islamis sebetulnya adalah kumpulan orang-orang frustasi yang karena gagal menghadapi berbagai serbuan ideologi politik-ekonomi superjumbo akhirnya mereka menjadikan Islam sebagai “ideologi” (baca: “Islamisme”) dan sekaligus pelipur lara.
Karena frustasi tidak mampu menghadapi serbuan berbagai ideologi besar dunia itulah, akhirnya mereka onani untuk memuaskan diri-sendiri, maka lahirlah “Islamisme”.
Karena frustasi itulah, yang bisa mereka lakukan adalah boikot produk-produk kapitaslisme. Sementara doang dan produk-produk tertentu doang.
Umat Islam juga akan susah maju menjadi pemain global di bidang pengetahuan dan teknologi kalau mereka masih terus berkutat pada hal-hal yang sepele, remeh-temeh dan tak bermutu sama sekali seperti ribut soal pakaian, perjenggotan, perkencingan, dan perpoligamian.
Umat Islam juga akan susah maju kalau mereka terus-menerus terlibat konflik dan keributan berpepanjangan hanya karena berbeda parpol, etnis, suku, mazhab, aliran, sekte, ormas, dan bahkan paslon.
Umat Islam juga akan susah maju kalau mereka terus-menerus sibuk membahas “dunia lain” pasca kematian (surga-neraka, siksa kubur, bidadari, dlsb) sementara melupakan “alam nyata” saat ini yang mestinya harus diutamakan.
Karena itu jangan heran kalau umat Islam hidup terbelakang dan hanya bisa bermimpi dan mengkhayal berharap kelak bisa masuk surga—sebuah khayalan dan impian yang sesungguhnya tak akan pernah mereka capai karena ia bukan miliknya. (*)
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia