Arah Baru Politik (Umat) Islam

Lima belas tahun reformasi dan demokrasi menyajikan fakta baru Islam politik di Indonesia. Ketika legislasi di tingkat regional sebagian dimenangkan oleh aspirasi-aspirasi syariatik, publik Islam tampaknya mulai tidak percaya dengan partai Islam dan gagasannya.

Erosi atau krisis kepercayaan ini terekam dalam surve-survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei sejak 2004. Secara politik, partai politik Islam yang mengusung syariat mengalami erosi dukungan elektoral. Survei terakhir mengunci posisi partai Islam di Indonesia pada urutan terbawah pada skala popularitas dan elektabilitas pada Pemilu 2014.

Pada saat bersamaan, skandal-skandal korupsi, gratifikasi uang, dan wanita yang menimpa elite-elite partai Islam semakin memperburuk partai Islam atau Islam politik di Indonesia. Skandal korupsi dan aroma gratifikasi perempuan di baliknya mengungkap aib moral politik sebuah partai dakwah yang dikenal dengan jargonnya ‘bersih, peduli, dan profesiona’‘. Kepercayaan dan harapan publik (Islam) terhadap partai Islam jatuh.

Terkuaknya skandal ini memperlemah tingkat kepercayaan dan harapan publik terhadap partai Islam. Partai-partai Islam semakin tidak diminati pemilih karena gagal membedakan dirinya secara ideologis dengan partai-partai lainnya.

Jalan Buntu
Fenomena kegagalan Islam politik tampaknya bukan kekhasan Indonesia. Penggulingan Presiden Mesir Mohammad Mursi, tokoh Ikhawanul Muslimin, pada 1 Juli 2013 menjadi contoh menarik. Selama satu tahun berkuasa, pemerintahannya terjebak pada nalar syariatik yakni mengganti konstitusi lama dengan konstitusi syariah.

Padahal, bukan syariah yang menjadi jawaban krisis multi dimensional pasca penggulingan Presiden Hosni Mobarak dua tahun lalu. Kebijakan-kebijakan Morsi yang syariatik dijawab ketidakpuasan rakyat dengan kudeta militer. Reformasi dan demokrasi di Indonesia juga menguak mitos nalar syariatik. Jika pada masa Orde Baru, mitos Islam is the only solution menjadi mimpi yang harus direalisasikan, reformasi memungkinkan realisasi mitos tersebut dan sekaligus menelanjanginya.

Mimpi mitologis syariah ternyata tidak seperti yang dimitoskan sebelumnya: ia telah gagal merealisasikan gagasan syariatik dalam sistem kehidupan yang lebih menyejahterakan. Sebaliknya, nalar syariatik terjebak pada conflicts of interest dan perilaku binal yang secara banal dipertontonkan para elitenya. Selain itu, ini yang paling substantif, Islam politik juga gagal mentransformasikan cita-cita mistisnya dalam sistem yang progresif karena terjebak konsepsi fikih Abad Pertengahan.

Akibat itu, partai politik Islam dan produk perda-perda syariah di daerah gagap menjawab masalah pengangguran, perumahan, urbanisasi, kemiskinan, mutu SDM (sumber daya manusia), korupsi, kolusi, dan nepotisme, HAM, problem gender, intoleransi, konflik, diskriminasi, serta kekerasan. Alih-alih mencerahkan, Islam politik malah menjadi instrumen bagi pemangku kepentingan politik, ekonomi, dan bisnis.

Reinterpretasi dan Aksis
Etika dan etos Islam ini spirit kemajuan yang mendorong umatnya untuk berpartisipasi aktif membangun peradaban dunia. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan, sekadar menjadi penonton hiruk-pikuk perubahan dunia yang dahsyat. Pembangunan yang kering dari iman akan melahirkan krisis kemanusiaan dan disorientasi keberpihakan pada rakyat miskin, wong cilik.

Iman ideal yang disebut Alquran adalah iman partisipatoris yakni iman yang memadukan tauhid dan amal saleh. Kaum beriman tidak boleh hanya menganggap ibadah mahdlah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji sebagai one way to paradise, tetapi juga perlu diintegrasikan pada kesalehan dan kebajikan dalam makna berpartisipasi dan berkontribusi sebagai aktor utama pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Orang yang beriman adalah yang tidak saja beribadah di tempat ibadah, tetapi juga tanggap sasmita terhadap lingkungan sekitar dalam proyek sosial, politik, dan ekonomi, serta tekun aktif dalam proses pembangunan. Dus, persoalan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dewasa ini, menurut Kuntowijiyo, bukan terletak pada persoalan teologis ataupun ideologis yakni persoalan syariah atau tidak, melainkan persoalan empiris sosial, politik, dan ekonomi.

Pendekatan teologis dan ideologis-syariatik terbukti dalam 15 tahun belakangan tidak mampu menjawab dan memecahkan problem keumatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Malah sebaliknya, semakin memperkeruh dan memperlama proses konsolidasi dan transisi demokrasi Indonesia. Untuk itu, politik Islam perlu melakukan pemaknaan ulang atas teks-teks otoritatif Islam, Alquran dan Sunah Nabi.

Interpretasi baru ini diperlukan supaya tema-tema agama dan politik dapat dikontekskan maknanya untuk sebuah gerak-an pemberdayaan dan partisipasi. Farid Essac (2000) misalnya menafsir ulang konsep taqwa, tauhid, al-n�s, al-mustadl�af�n, �adl, dan jih�d. Kunci-kunci hermeneutik ini dipahami dan dimaknai kembali dengan titik tekan pada pengembalian fungsi kemanusiaan untuk pembebasan dan partisipasi penegakan keadilan.

Politik Islam juga harus melakukan social struggle untuk menciptakan reformasi struktural yang menyejahterakan. Caranya, menurut Moeslim Abdurrahman (2003), melakukan penyadaran kolektif dalam diri masyarakat dengan mekanisme praksis; yakni pembentukan jaringan atau kluster-kluster sosial seperti buruh, nelayan, petani, dan pedagang asongan, regrouping melalui institusi keagamaan seperti masjid, pesantren, surau, jamaah pengajian atau majelis taklim, dan pembentukan komunitas-komunitas masyarakat termarjinalkan seperti kaum difabel, LGBT, dan kelompok minoritas agama.

Islam diharapkan dapat bersentuhan langsung dengan problem, isu, dan kepentingan publik. Pada saat yang sama, publik atau masyarakat muslim dapat berkontribusi pada pemecahan masalah, isu, dan kepentingan publik aktual dan berpartisipasi pada pengawalan aspirasi-aspirasi kerakyatan tersebut menjadi kebijakan publik yang maslahat.

Dalam hal ini, politik umat Islam mengadvokasi dan mengagregasi kepentingan publik pada pemangku dan pengambil kebijakan di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Singkat kata, matra baru politik umat Islam ke depan adalah politik advokasi dan agregasi isu dan kepentingan publik yang digali dari basis, komunitas, atau kelas sosial.

Mengawinkan laju gerakan politik dan sosial dapat dilakukan melalui revitalisasi basis-basis populer yakni masjid, balai desa/kelurahan, dan pasar tradisional. Tiga lapak kerakyatan itu penting untuk diberdayakan kembali mengingat di situlah ruang berkumpul, bersilaturahmi, dan berdialog antarwarga.

Di ketiga lapak komunitas itu pulalah, petani, buruh, nelayan, hingga pedagang, saudagar, dan para pegawai negeri, sipil, dan militer dapat bertukar pikiran dan saling menyapa secara lahir dan batin. Tiga basis komunitas itu rumah bagi pengayaan etika moral-spiritual, politik gotong-royong, dan ekonomi wong cilik yang saat ini perlu diselamatkan dari kooptasi paham keagamaan yang jumud dan keras, politik golongan yang membabi buta, dan jerat kapitalisme neoliberalisme yang mencekik.

Dalam orientasi baru ini, mudah-mudahan, umat Islam dapat menjadi pelopor agenda transformasi dan aksi politik, ekonomi, dan sosial kebudayaan yang lebih membawa rahmat bagi bangsa dan kemanusiaan semesta.(*)

Andar Nubowo, Staff Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Public Virtue Institute.

Catatan:
Tulisan ini dimuat di SINDO, Sabtu, 16 November 2013. Atas izin dari penulisnya redaksi santrinews.com memuatnya kembali di sini.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network