Anak Muda NU dan Pesan Kiai Muchith Muzadi

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan KH Abdul Muchit Muzadi

Mendengar kabar KH Abdul Muchith Muzadi wafat melalui pesan singkat yang saya terima dari HA Pandji Taufik sekitar pukul 08.00 saya langsung lemas. Satu lagi, meminjam istilah orang Madura untuk menggambarkan wafatnya ulama, “pakona dunnya” (pakunya bumi) tiada.

Saya mendengar kabar wafatnya Kiai Muchith ketika saya hendak mengisi kegiatan sharing tentang “parenting” bersama ibu-ibu desa. Sebelum memulai sharing, kami sempatkan menghadiahi surah Al Fatihah kepada Kiai Muchith, murid langsung junjungan kami Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari yang juga dkenal pakar Khittah NU itu.

Wafatnya Kiai Muchith yang kondisi kesehaatannya terus menurun paska Muktamar NU, membuka kembali ingatan saya ketika saya berkesempatan sowan bersama Ketua PCNU Sumenep, kawan aktivis PMII dan IPNU di tahun 2014. Kami berenam dari Sumenep bisa sowan kepada beliau berkat bantuan Pak Wazir, ketua PW LPPNU Jatim yang memang dekat dengan kekuarga Kiai Mukhith.

Saat bertemu, saya mengalami kebahagian luar biasa. Saya saat itu seperti berhadapan dengan sebuah telaga yang menyemburkan kesejukan sekaligus memompa segenap tradisi yang mengendap di alam bawah sadar saya.

Saya ciumi tangan beliau agak lama. Bukan semata karena tradisi, tetapi melampaui itu. Tangan Kiai Muchit yang saya ciumi seperti mepertautkan sanad keilmuan yang saya terima dari guru-guru di pesantren dan menyambungkan ke-NU-an saya dengan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari secara langsung.

Melalui perjumpaan dengan Kiai Mukhit seo!ah saya makin dekat dengan Kiai Hasyim Asy’ari. Saya bersebelahan saja. Niat saya untuk mengabdikan hidup-mati saya di NU makin membuncah.

Ketika berbincang, saya dengan segenap jiwa mencoba mengeja dawuh beliau. Banyak hal yang disampaikan, sejak pengalamannya mondok di Tebuireng, Jombang, perjalanan hidup beliau sebagai seorang santri yang meyakini barokah, kegembiraan beliau melihat cucunya mau mondok di pesantren, hingga nasehat beliau kepada kami yang akan sekuat tenaga saya ingat terus.

Di usianya yang waktu saya sowan kurang-lebih 90 tahun, Kiai Muchith seolah tidak mempedulikan fisiknya. Beliau masih tekun membaca. Kitab dan buku berjejer di ruang pribadinya.

Menurut putranya, bahkan beliau pernah terjatuh di toko kitab saat ingin membeli kitab. Kiai Muchith tipikal kiai yang haus ilmu, dan itu ditunjukkan dengan kegemaran membaca hingga beliau wafat. Termasuk mengikuti perkembangan NU dari kamar istirahatnya yang juga dilengkapi dengan tabung oksigen.

Nasehat yang sungguh menyentuh dan memompa ke-NU-an saya tentang “perintahnya” agar kami mencintai kiai, NU, dan NKRI. Kami memang tidak memperoleh penjelasan panjang tentang makna mncintai itu, terutama mencintai kiai. Tetapi Kiai Muchith mungkin memberi keleluasaan bagi kami untuk memberi tafsir. Sehingga pesannya cukup singkat agar mudah saya ingat.

Saya sadar, relasi anak muda NU dan para santri dengan koainya mengalami perubahan. Sebagian para santri telah mempertontonkan prilaku “suul adab” kepada kiainya. Mengkritik kiai secara kasar, mengkajinya dengan pendekatan teori-teori kiri, atau macam-macam perbincangan yang sungguh tak elok dipertontonkan para santri.

Ada judul buku yang melihat judulnya saja membuat saya terbelalak, sebut saja buku “Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan” atau “Menabur Kharisma Menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim Kembar di Madura”.

Belum lagi serangan dari luar yang saya yakini “by design” dilancarkan untuk membabat kiai dari basis kulturalnya. Maka (citra) kiai saat ini sengaja dirontokkan, diburamkan, dihasut, dicaci dan akhirnya ingin dijauhkan dari basisnya. Ketika berhasil kelompok itu bebas menerkam basis kiai, mencengkramnya untuk kepentingan politik atau kapital.

Ada lagi gerakan keagamaan yang membabat kiai dengan isu “kembali kepada Alqur’an dan Hadits”. Seolah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Alqur’an dan Hadits tanpa repot-repot mengaji kepada kiai. Tanpa ilmu yang memadai mereka menafsirkan dua sumber di atas sesukanya. Makanya, penafsiran mereka sangat kaku dan rigid.

Sekali lagi saya tidak menyimpulkan apakah pesan Kiai Muchith selaras dengan penafsiran saya. Tetapi kata mencintai memiliki makna mendalam. Diksi ini dipilih oleh Kiai Muchith, mungkin, karena mencintai adalah tindakan yang melampaui rasionalitas, bahkan pengetahuan. Meski saya sadar, mencintai juga butuh pengetahuan walaupun pengetahuan terkadang tumpul untuk mencintai.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiiun. Selamat jalan Kiai Muchith. Semoga saya bisa menjalankan pesan, mencintai Kiai, NU, dan NKRI. (*)

Pulau Garam, 7 September 2015

Terkait

Uswah Lainnya

SantriNews Network