Ulama dan Kayu Jati

Oleh: Abdul Moqsith Ghazali

Belakangan banyak orang awam bingung, tidak tahu harus mengikuti ulama mana. Ulama yang satu bicara A, ulama yang lain bicara B. Ustadz yang satu menyuruh ke barat, ustadz yang lain menyuruh ke timur. Tak sedikit dari mereka bertanya ke saya, “kami harus ikut yang mana?”.

Jika saya jawab, “ikutilah ulama yang paling kuat dalilnya dan tinggalkan ulama yang paling lemah dalilnya!,” maka mereka akan tambah bingung. Sebab, orang awam tidak tahu; yang mana dari mereka yang paling kuat dalilnya dan mana juga yang lemah dalilnya.

Menghadapi pertanyaan awam begitu, saya biasanya memberi jawaban sederhana, “ikutilah ulama sepuh dan yang akhlaknya paling baik. Akhlak itu akan terlihat dari kehidupan kesehariannya. Misalnya apakah ada kecocokan antara apa yang diceramahkan ustadz dengan apa yang dilaksanakan sang ustadz.

Dijawab demikian, masih ada yang penasaran. Mereka bertanya, kenapa ada tambahan: “ulama sepuh”? Biasanya saya jawab demikian; ulama sepuh itu seperti jati tua. Ia sudah kukuh dan solid, tak mudah mengembang dan mengkerut. Melihat serat-serat kehidupan sang ulama tampak indah seperti keindahan serat-serat halus pada jati tua.

Sementara ulama muda itu laksana jati muda. Pori-porinya masih lebar sehingga masih menyerap air. Karena itu, suatu waktu mengembang, dan pada waktu lain mengkerut. Singkatnya, jati muda belum tahan cuaca dan keadaan.

Ibarat jati muda, keistiqomahan dan konsistensi ulama muda masih perlu diuji oleh sejarah. Dan kita belum tahu, apa yang akan terjadi besok lusa terhadap mereka. Itu sebabnya, saya lebih menyukai ulama tua seperti halnya saya menyukai jati tua yang keindahannya jelas tak tepermanai.

Salam

Abdul Moqsith Ghozali, Wakil Ketua Bidang Maudlu’iyyah Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Masa Khidmat 2015-2020.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network