Ulama dan Istana

Oleh: Abdul Moqsith Ghazali

Sejak dulu pandangan para ulama tentang istana selalu terbelah. Ada yang berpendapat bahwa istana adalah sarang maksiat. Karena itu, menjauh dari istana adalah langkah yang tepat. Mereka mengutip sabda Nabi SAW, “jauhilah pintu-pintu istana karena akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan.

Hadits Nabi yang lain ditambahkan, “para ulama adalah orang-orang kepercayaan para nabi selama mereka tak bergaul dengan para penguasa dan tidak asyik dengan urusan harta dunia. Jika mereka bergaul dengan para penguasa dan sibuk berurusan dengan soal-soal duniawiah, maka jauhilah mereka”.

Ulama-ulama yang masuk dalam golongan ini adalah Sahabat Nabi Abu Dzar al-Ghifari, Junaid al-Baghdadi, Ahmad ibn Hanbal, al-Imam al-Ghazali, dll. Di Indonesia kita punya ulama-ulama seperti itu, di antaranya Kiai Abdullah Salam Kajen, KH Chotib Umar Jember, Kiai Cholil As’ad Situbondo.

Alkisah, ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendatangi kediaman Mbah Abddullah Salam, beliau tak berkenan menerima Gus Dur jika Gus Dur datang sebagai penguasa. Beliau mengutip ayat al-Qur’an, “innal muluka idza dakhalu qaryatan afsaduha” (jika para penguasa masuk suatu desa, maka penguasa itu punya tendensi menghancurkannya).

Gus Dur pun mengubah niat. Ia datang bukan sebagai presiden, melainkan sebagai keponakan yang hendak silaturrahmi pada pamandanya. Dengan alasan itu, Gus Dur dipersilahkan masuk, tapi tak lewat pintu depan melainkan memutar melalui pintu dapur. “Jika keponakan, maka masuklah lewat pintu dapur tanpa pengawalan,” tandas Mbah Dullah Salam.

Ada juga ulama yang merapat bahkan menjadi bagian dari istana. Tujuannya mulia juga. Jika ulama menjauhi penguasa, maka penguasa punya potensi bertindak sewenang-wenang tanpa kontrol. Karena itu, ulama perlu masuk istana sebagai pendakwah di sana.

Namun, dalam kenyataan, ulama kategori kedua ini lebih banyak tunduk pada penguasa. Dan sangat jarang terjadi sebaliknya. Obyektifitas sang ulama dalam berpendapat dan bertindak pun kadang menimbulkan keraguan di kalangan umat.

Dahulu ulama yang biasa keluar masuk istana adalah al-Mawardi. Bahkan, beliau membuat buku khusus yang dipersembahkan buat penguasa, yaitu kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah. Pada zaman Orde Baru, kita mengetahui sejumlah ulama, kiai, dan ustadz, yang wira-wiri masuk istana.

Namun, kebanyakan ulama termasuk ulama Indonesia memilih bersikap moderat. Berkunjung ke istana jika diundang dan tak berusaha untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Mereka tetap berjarak dengan istana. Kunjungannya sesekali ke istana untuk menjaga keseimbangan antara pemangku otoritas keagamaan (ulama) dan pemangku kekuasaan (umara). (*)

Jumat, 3 Maret 2017

Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Bidang Maudlu’iyyah Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Masa Khidmat 2015-2020.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network