Lika-Liku Mendapatkan Salinan Naskah Kuno Karya Kiai Sholeh Darat

Kemarin, saat saya di Nusa Dua, Bali, saya baru berkesempatan mengakui telah mengghasab koleksi naskah Kepala Balai Bahasa Bali, Gus Toha Machsum, yang dulu satu kantor di Balai Bahasa Jawa Timur di Siwalanpanji, Sidoarjo –senior peneliti yang dulu konsen dengan khazanah santri.
Koleksi itu berupa copian naskah lama hasil karya KH Sholeh Darat Semarang dan naskah pegangan kalangan tarekat yang dicitrakan secara salah kaprah sebagai kitab pengikut Syekh Siti Jenar, yaitu naskah Syekh Majenun.
Koleksi copian naskah tersebut yang merupakan warisan keilmuan KH Sholeh Darat adalah naskah tentang tasawuf, yaitu Minhajul Atkiya’ Syarah Hidayatul Adzkiya’ ila Thariqil Auliya, satunya lagi “Juz Awal min Fadlir Rahman”, tafsir Al-Quran berbahasa Jawa, yang konon mengilhami R.A. Kartini menulis ungkapan “habis gelap terbitlah terang”.
“Sudah lupa, Mas,” seru Gus Toha, sambil terkekeh di sudut Hotel Merusaka, Nusa Dua.
“Alhamdulillah. Saat itu saya bongkar-bongkar dan menemukannya ngendon di rak paling bawah. Ya, daripada nganggur dan tidak ada yang membacanya, akhirnya saya bawa. Tiga naskah!” seru saya, padahal di saya, buku Gus Toha masih ada dua, tapi dulu saya pinjam secara resmi, yaitu Nazam Sullam Taufiq karya Kiai Haji Abdul Hamid Pasuruan dan kitab kumpulan karangan Hadrutus Syeikh KH Hasyim Asy’ari yang dihimpun oleh salah satu cucunya, Gus Ishom Hadzik. Semuanya saya pinjam sebelum Gus Toha bertugas sebagai Kepala Kantor Bahasa Maluku, lalu ke Papua, dan kini di Bali.
“Sebenarnya, dulu, saya melacaknya agak susah, Mas. Untunglah, saya langsung berhubungan dengan salah satu cucu Kiai Soleh Darat. Saya langsung mendapatkannya darinya. Jadi beliau yang mengkopikannya,” tutur Gus Toha.
“Nuwun, Bos!” seru saya.
Baca juga: Jejak Syaikh Rabbah Hasunah, Ulama Besar Al-Azhar Kawan Dekat KH Hasyim Asy’ari
Yup, pada 2017, saya mendapatkan copian naskah tersebut. Dari kolofon yang terdapat di awal naskah tersebut terbaca usia naskah dan siapa penyalinnya. Satunya disalin pada Senin, Rabiul Akhir tahun 1320 Hijriah/1902 Masehi, disalin di kampung Melayu Singapura oleh Haji Muhammad Amin atas koleksi Syekh Ismail. Yang tafsir Al-Quran pada Kamis, 2 Rajab 1309 H/1891 M oleh Haji Muhammad Amin di Singapura.
Dalam khasanah keislaman Nusantara, KH Soleh Darat ibarat kandungan minyak bumi berjuta-juta barel yang belum disedot secara maksimal. Ia ulama ulung, yang menghasilkan arsitek pesantren Nusantara. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, adalah dua orang santrinya, selain ratusan kiai pentolan lainnya.
Ayah Kiai Sholeh, yaitu Kiai Umar, ulama kharismatik pantura dan pengasuh pesantren di Mayong Jepara dikenal sebagai pendukung dan penasehat Pangeran Diponegoro. Karena itu, pasca Raden Ontowiryo ditangkap tahun 1830, dan bolo-bolonya kocar-kacir, Kiai Umar memboyong keluarganya, termasuk Sholeh kecil, hijrah ke Makkah.
40 tahun di Makkah, dan belajar dari sumbernya, Kiai Sholeh menjadi pengajar resmi di Masjidil Haram bersama sahabatnya Syekh Nawawi Al-Bantani, khusus untuk pengajaran berbasis madzhab Syafi’i. Melihat talenta Kiai Sholeh, seorang santri dari Jawa, Kiai Hadi Girikusumo, merasa sayang terhadap Kiai Sholeh yang ‘hanya’ berkiprah di Makkah karena tenaga dan kealimannya dibutuhkan di Jawa. Pasalnya, pada masa itu, pasca-Perang Jawa, keilmuan di Jawa porak-poranda.
Kendala muncul karena ia guru resmi Kerajaan Arab Saudi. Agar dapat keluar dari negeri Arab, Kiai Sholeh pun dimasukkan koper. Begitu melewati dermaga Jeddah untuk naik kapal api, dan seterusnya aman, tapi sampai di dermaga Singapura, modus ‘penculikan’ itu terbongkar. Kiai Hadi Girikusumo dan beberapa kiai dari Nusantara yang mengantar kepulangannya harus menebus Kiai Sholeh dengan sejumlah uang dan mereka pun terpaksa patungan.
Kiai Sholeh sempat tinggal di Singapura. Bahkan, mendirikan pesantren di sana, sebelum lanjut di Jawa, singgah di Purworejo, Jepara, terakhir mendarat di Darat Semarang hingga wafat. Dimungkinkan naskah yang saya dapat dari koleksi Gus Toha disalin oleh seseorang dari Singapura dari koleksi santrinya.
Baca juga: Kiai Amir Idris dari Simbang Kulon, Pekalongan
Sepanjang hayat, KH Soleh Darat menghasilkan begitu banyak karya dan tulisan tentang keagamaan dari berbagai bidang. Ada yang berbahasa Arab, banyak pula berbahasa Jawa, dengan bahasa yang mudah dipahami awam. Ia mendapat gelar “Imam Ghazali Jawa” karena dengan cerdas memadupadankan antara fikih dan tasawuf dalam langgam dan alam pikir Jawa.
Gelar itu diyakini bukan sembarangan. Berdasarkan tulisan Taufiq Hakim, “Kiai Sholeh Darat dan Politik di Nusantara Abad ke-19-20 M”, Kiai Sholeh Darat punya latar belakag menarik. Sahdan, suatu malam, ketika Kiai Sholeh sedang menyaripatikan kitab Ihya’ Ulumuddin karangan Imam Ghazali dalam sebuah kitab karangannya berjudul “Munjiyat”, Ia didatangi Imam Ghazali ke pesantrennya di Darat Semarang. Kedatangan hujjatul Islam itu disaksikan oleh para santrinya.
Yup, sebenarnya banyak kisah asyik dari KH Sholeh Darat ini, termasuk kehadirannya yang diincar Belanda sehingga pesantrennya mati suri pascawafatnya, karomah-karomahnya yang aneh dan ajaib, dan lain sebagainya. Kayaknya menarik dituturkan dalam ngablak kesempatan lainnya.
Pada akhirnya, yang lebih menarik adalah adanya fakta yang baru saya endus baru-baru ini, yakni adanya kesinambungan dengan tokoh Siwalanpanji Sidoarjo yang menjadi pengajar di Makkah pada peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, yaitu Syekh Abdul Muhit bin Kiai Ya’qub Panji As-Siduarjuwi yang masih bersambung sanad keilmuan dengan KH Sholeh Darat.
Berdasarkan kitab Syekh Yasin Padang “Al ‘Aqdu al Farid min Jawahiri al Asanid” (1401 H), yang copiannya saya dapat dari Habib Fahmi Faqih, yang masih zurriah Nderesmo Surabaya bahwa Syekh Abdul Muhit adalah murid putra KH Soleh Darat yang tinggal dan mengajar di Makkah, yaitu Syekh Umar bin Sholeh bin Umar Assemarani, yang mendapatkan sanad keilmuan dari ayahnya, yaitu KH Sholeh Darat saat masih mengajar di Makkah.
Yang jelas, saya sudah mendapatkan bahan, meski copian, dan mendapatkan perkenan dari pemiliknya. Mudah-mudahan dapat segera membacanya dengan lebih ngilmiah, mendapat berkah, dan tentu saja ketularan solehnya.
Adapun soal naskah kuno berjudul Syekh Majenun, kapan-kapan dingablakkan tersendiri. Naskah ini agak aneh, karena di belakangnya ada catatan silsilah penguasa Ampeldenta dan Giri Kedaton dengan bentuk khat pegon yang berbeda dengan khat pegon dalam naskah induknya. (*)
Siwalanpanji, 2021
Mashuri, Peneliti Sastra di Balai Bahasa Jawa Timur.