Gandeng Bank Mandiri, PBNU Siapkan Ribuan Pengusaha Santri
Sejumlah santri mengikuti pelatihan teknisi handphone. (nabil/shoff)
Semarang – Program Wirausaha Muda Mandiri sejak empat tahun terakhir merambah pondok pesantren untuk menjaring bibit-bibit wirausaha.
Bank Mandiri memilih merambah ponpes bukan tanpa alasan kuat. Salah satunya karakter santri yang disiplin dan mandiri sesuai dengan karakter wirausaha.
“Kita kerja sama dengan PBNU. Besarnya jumlah ponpes itu potensi. Selama empat tahun merambah pesantren untuk menjaring peserta WMM rupanya jumlah peserta dari pesantren cukup banyak dan produknya pun unik-unik. Contohnya Iping, seorang santri yang punya ide membuat brownies pisang karena di Makassar itu banyak pisang,” ungkap Tardi Direktur Mikro dan Bisnis Banking Bank Mandiri ditemui di Semarang, Rabu, 25 Nopember 2015.
Miftah Faqih, Ketua Rabitoh Mahad Islami PBNU mengatakan jumlah pesantren menurut data PBNU tahun 2009 mencapai 28.000 ponpes.
“Santrinya jutaan. Pesantren yang kita hitung itu minimal punya santri 50 orang. Sementara tidak sedikit ponpes yang santrinya sampai 15 ribu orang seperti di ponpes Tebu Ireng di Jombang,” jelas Miftah.
Bank Mandiri pun menggandeng PBNU (Nahdlatul Ulama) untuk mensosialisasikan program WMM 2015 ke 28.000 ponpes di bawah naungan PBNU.
Jumlah pesantren dan banyakya santri di dalamnya membuat Tardi melihat sisi penting pihaknya merambah pesantren karena komunitas besar tempat sebagian anak muda mencari ilmu dan berkegiatan.
Kegiatan pesantren pun mulai diisi dengan kegiatan produktif. Misalnya di Kudus, santri dilatih memilah beras berdasarkan kualitasnya.
“Lokasi pesantren memang di tengah lumbung beras. Selama ini asal panen beras dijual saja. Ternyata ada tiga kualitas. Kualitas satu untuk ekspor, kualitas dua yang masuk swalayan dan ketiga kualitas yang masuk pasar-pasar tradisional,” ujar Miftah.
Miftah menyampaikan contoh lain yang menunjukkan pesantren mampu berkegistan produktif yang menghasilkan.
“Ada ponpes yang sudah mampu mengikuti tender bernilai miliaran untuk pengadaan meubeler. Di Sidoarjo, ada sebuah pesantren penghafal Al Quran yang berhasil ekspor produk tas dari kulit dan enceng gondok. Itu tidak mengganggu aktivitasnya di pondok,” tambahnya.
Dari segi karakter, Tardi melihat, kemandirian dan kedisiplinan santri lebih baik ketimbang mahasiswa di kampus umumnya.
“Pada dasarnya santri itu lebih mandiri dan lebih disiplin dibanding mahasiswa di kampus umum. Pesantren merupakan lembaga yang dari dulunya nggak pernah dapat anggaran dari negara. Secara lembaganya pun sudah mandiri kan,” ujar Tardi.
Miftah pun sepakat. “Ulama terdahulu kebanyakan merupakan wirausaha ulung. Hasyim Ashari itu pengusaha gula. Kami ingin agar pesantren hadir untuk masyarakat. Bonus demografi penduduk usia muda itu termasuk ada di pesantren,” pungkasnya. (nabil/dtk)