MUI: Bedakan Dai Bersertifikat dan Sertifikasi Dai

Para dai mengikuti program Standardisasi Dai di kantor MUI Pusat (santrinews.com/detik)

Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumpulkan 140 lebih dai dari berbagai wilayah untuk mengikuti program Standardisasi Dai. Program ini digelar untuk mengembangkan potensi para dai dan membentuk wadah pendidikan calon dai dan daiyah.

Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI Pusat, KH Masduki Baidlowi mengatakan, program standardisasi dai bukan sebuah keharusan. MUI, kata dia, hanya mengajak para dai atau pendakwah yang ingin memiliki sertifikat dakwah dari MUI.

“Secara teknis dibedakan antara dai bersertifikat dan sertifikasi dai,” ujarnya di hadapan peserta, di Aula Buya Hamka kantor MUI pusat, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Senin, 25 Nopember 2019.

“Banyak orang dikira ini adalah sertifikasi dai, sertifikasi dai itu seperti orang mau mengendarai mobil harus punya SIM. Atau orang menjadi guru harus bersertifikat. Kalau ini bukan keharusan, ini sebuah pilihan dai bersertifikat,” imbuhnya.

Mayoritas peserta yang berusia di atas 40 tahun itu kebanyakan datang dari sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Selebihnya ada pula yang datang dari Pasuruan, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Ada dua fokus materi yang diberikan kepada pendakwah, salah satunya masalah kebangsaan.

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat KK Cholil Nafis mengisi materi tentang Islam dan kebangsaan, serta Komisioner KPI Muhammad Reza menyampaikan materi tentang rambu-rambu dakwah dalam penyiaran.

Saat ini MUI tengah menyusun daftar dai-dai yang berhak mendapat sertifikat. Syaratnya tak rumit, setidaknya perlu tiga hal, yakni mengusung ajaran Ahlussunah wal Jamaah, mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan isi ceramahnya tak bikin onar.

Nama-nama yang bersertifikat itu nanti akan direkomendasikan ketika ada lembaga atau instansi pemerintah yang meminta masukan penceramah dari MUI.

“Ada yang mensyaratkan, bisa baca kitab, bisa tasrif. Wah, itu terlalu sulit itu. Ustaz itu kan beda dengan ulama. Katanya [kalau] pemerintah mau sertifikasi ulama. Itu beda,” kata Kiai Cholil.

Hal lain yang penting, kata dia, para pendakwah dituntut untuk mampu menyampaikan pengetahuan yang dikuasai.

Kiai Cholil juga menyarankan agar dai tak memaksakan jika memang tak memahami sebuah tema atau pokok masalah tertentu.

“Jadi kalau kita ditanya hal yang tidak kita tahu, cukup jawablah yang general saja. Biar, kita dianggap tidak nyambung, tidak apa-apa, daripada menyampaikan hal yang keliru. Tidak semua hal kita ketahui. Imam Malik pun, tidak semuanya dijawab oleh Imam Malik, apalagi kita-kita ini,” pesannya. (us/cnn)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network