Santri Dihukum Cambuk, Menteri Agama: Ini Kurang Mendidik

Pintu Gerbang Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqo, Diwek, Jombang (santrinews.com/dok)
Padang – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan kasus hukuman cambuk terhadap santri di Pondok Pesantren Urwatul Wutsqo, Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, tidak boleh terulang kembali.
“Saya yakin ini suatu kekhilafan dan semoga tidak terulang lagi,” ujar Lukman saat berada di Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa, 9 Desember 2014.
Lukman menuturkan kasus ini harus menjadi pembelajaran bagi pengasuh dan pengelola pondok pesantren di Indonesia. Mendidik santri, kata dia, tidak boleh menggunakan cara-cara kekerasan. “Bagaimana pun juga kekerasan itu akan membekas lama di diri santri. Ini kurang mendidik,” ujarnya.
Menurut Lukman, pondok pesantren harus introspeksi dalam menerapan pendidikan. Dia meminta pesantren tidak lagi menggunakan cara-cara yang bisa melukai fisik santri. “Kami akan komunikasikan hal ini dengan lembaga pendidikan pesantren,” ujarnya.
Sebelumnya, tersebar video hukuman cambuk yang diunggah ke situs YouTube. Video berdurasi 5 menit 21 detik itu menggambarkan tiga santri dari sebuah pondok pesantren yang diduga terletak di Kabupaten Jombang. Mereka diikat pada tiga pohon dengan mata tertutup kain.
Hukuman cambuk yang diduga menggunakan rotan itu dilakukan di depan puluhan santri. Cambukan dilakukan sebanyak 35 kali pada masing-masing santri. Setelah hukuman cambuk usai, seseorang memandu doa, memohon ampunan kepada Allah, baik bagi pelanggar, orang yang mencambuk, maupun santri yang menyaksikannya.
Sementara itu seperti dilansir Tempo, Pengasuh Pondok Pesantren Urwatul Wutsqo, KH Mohamad Qoyim, mengakui telah menerapkan hukuman cambuk kepada santri yang melanggar aturan. “Hukuman cambuk itu hanya untuk pelanggaran berat,” katanya.
Menurut Qoyim, penerapan hukum cambuk tidak serta-merta, melainkan atas persetujuan santri terhukum dan orang tuanya. Meski demikian, ujar dia, hukuman cambuk bukan satu-satunya yang diterapkan kepada pelaku pelanggaran. “Santri (yang melanggar aturan) kami tawari, keluar dari pondok ataukah bertobat dengan dicambuk,” ujarnya.
Jenis hukuman lain yang ditawarkan ialah diikat dua sampai tiga hari. Namun rata-rata santri memilih dicambuk agar cepat selesai. Adapun jenis pelanggaran berat yang tidak bisa ditoleransi antara lain minum-minuman keras dan berzina.
Selain hukuman yang bersifat fisik, kata Qoyim, pesantrennya juga menerapkan sanksi mendidik tanpa kekerasan. “Kalau pelanggarannya ringan, pelaku kami suruh istigfar, puasa, dan sebagainya,” katanya.
Qoyim tak menyangkal bahwa video pencambukan santri yang beredar di YouTube dilakukan oleh pengurus pondok. Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi sekitar 2009 dan 2010. Menurutnya, berdasarkan informasi dari pengurus pesantren, tiga santri yang dicambuk itu karena pesta minuman keras. “Minumnya di pondok,” ujarnya.
Urwatul Wutsqo termasuk pondok besar dengan jumlah santri 880 orang. Pondok ini didirikan pada 1946 oleh KH Yaqub Husein yang menjadi pengasuh hingga 1976. Yaqub pernah nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng semasa diasuh pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari.
Setelah KH Yaqub wafat, pengasuh pondok digantikan putranya, KH Muhammadu Yaqub pada 1976-1990 dan dilanjutkan oleh putranya yang lain, KH Qoyim Yaqub, sejak 1990 sampai sekarang. Kini Urwatul Wutsqo memiliki berbagai unit pendidikan formal mulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. (set/ahay)