Nasib Pemilu, Antara Pilpres AS dan Pilkada Indonesia

Ilustrasi Pemilu Amerika Serikat dan Indonesia

Pada November dan Desember 2020 ini, dua negara demokrasi terbesar dunia akan menggelar pemilu. Amerika Serikat punya agenda Pemilu Presiden, sedangkan Indonesia memiliki agenda Pemilu Kepala Daerah Serentak. Negara demokrasi terbesar kedua dan ketiga di dunia ini, sama-sama menghadapi pandemi Covid-19. Jumlah korban dua negara tersebut, besar pula.

The New York Times merilis penyebaran virus Corona per-19 September di AS mencapai 6,8 juta kasus dan yang meninggal 199 ribu orang. Sedangkan, penyebaran virus Corona di Indonesia mencapai 245 ribu kasus dan yang meninggal 9.553 orang.

Ini berarti dari segi jumlah kasus, AS lebih parah dari Indonesia meski secara persentase tingkat kematiannya lebih tinggi Indonesia 3,8 persen. Sementara, tingkat kematian AS hanya 2,9 persen saja. Perbedaan data ini bisa dipahami, sebab infrastruktur kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, budaya disiplin, derajat kesehatan warga serta kesehatan masyarakat AS jauh lebih baik dari Indonesia.

Terkait dengan pemilu, AS dan Indonesia, dihadapkan pada problem semisal. Pemerintah kedua negara belum dapat menghentikan mata rantai penularan virus Corona. Sampai hari ini, tahapan pemilu dua negara tetap berlangsung dan berjalan dengan baik. Memang, pandemi ini memaksa penyelenggara pemilu untuk mendesain ulang pelaksanaan Pilpres dan Pilkada dengan penerapan protokol kesehatan.

Sosialisasi lebih banyak menggunakan media, dan menekan jumlah kegiatan tatap muka dan jumlah peserta yang hadir. Ini bentuk spesifik dari pemilu di era pandemi yang bisa dijadikan referensi historis nanti, apabila peristiwa yang sama terjadi dalam sejarah pelaksanaan pemilu di masa mendatang.

Di AS dan Indonesia, wacana penundaan pemilu juga mengemuka. Pandemi disadari bisa menjadi alasan penundaan pemilu, dengan alibi darurat bencana mengancam keselamatan jiwa.

Yang unik, di AS kelompok Partai Demokrat dan pendukung Joe Biden justru ingin Pilpres tetap dilaksanakan sesuai jadwal pada Selasa, 3 November 2020. Mereka menentang keras wacana penundaan ini dan khawatir Donald Trump justru mengeksploitasi kasus Covid-19 untuk menunda guna mendapatkan insentif elektoral yang selalu kalah dalam survey belakangan ini.

Sedangkan, di Indonesia wacana penundaan pemilu digulirkan oleh DPD, Komnas HAM, PBNU, Muhammadiyah, LSM, dan beberapa tokoh politik dan akademisi lainnya. Mereka beralasan khawatir Pilkada menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Hal ini mengingat, pemerintah belum dapat mengendalikan perkembangan penyebaran virus Corona yang kian meningkat.

Jadi, usulan penundaan pemilu lebih karena “coronaphobia” yang bersifat psikologis. Rasa khawatir, takut dan waswas terpapar virus mematikan ini. Padahal tingkat kesembuhannya tergolong sangat tinggi. Namun, banyak orang panik dengan peningkatan jumlah kasus setiap hari yang terus menerus bertambah. Akibatnya, daya rusak psikologis virus ini berdampak serius bagi rusaknya tatanan politik, sosial dan ekonomi akut.

Semua merasa terancam. Dan ancamannya pun terasa di depan mata. Semua berpotensi terpapar virus asal Negeri Wuhan China tersebut. Dan, virus ini ternyata banyak menjangkiti para petinggi dan pesohor negeri. Mereka putra putri terbaik bangsa yang sedang mendapat amanah mengelola negara, serta insan unggul yang kreatif dan inovatif yang mengabdi untuk kemajuan negara. Akankah negeri ini menyerah dan takluk terhadap pandemi ini?

Kebijakan new normal sesungguhnya jalan tengah dari minal khauf was syaja’ (dari takut dan berani) dari penyebaran virus dan hidup normal baru. Sayangnya, disiplin nasional yang rendah menjalani hidup dengan protokol kesehatan yang ketat, menyebabkan penyebaran virus semakin mengganas. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan kembali di DKI Jakarta sebagai rem darurat untuk mengurangi berjatuhannya para korban yang terpapar virus Corona.

Inilah latar politik kebijakan yang mendorong lahirnya usulan penundaan Pilkada Serentak. Meski, Jakarta sebagai episentrum penyebaran Virus Corona terbesar di Indonesia sedang tidak pilkada. Tapi, daerah-daerah lain di nusantara harus menerima konsekuensi politis demokratis dari usulan penundaan pilkada.

Sebab, Pilkada Serentak 2020 ini sudah pernah ditunda beberapa tahapannya pada 5 bulan yang lalu. Penundaan itu menimbulkan ketidakpastian politik dan hukum di daerah. Citra Indonesia pun buruk di mata dunia. Sebuah negara pandemis dan tak aman bagi siapa pun untuk dikunjungi, menjadi tempat tinggal, bekerja dan membangun masa depan.

Oleh karena itu, penundaan pemilu bukan persoalan sederhana. Bukan pilihan hitam putih, dan bukan pula pilihan hidup dan mati. Pertanyaan mendasarnya, apakah dengan penundaan pilkada otomatis menurunkan kasus baru? Mata rantai penyebaran virus akan terputus? Indonesia akan keluar dari krisis kesehatan ini? Pasti, siapa pun tak bisa menjamin.

Justru kebijakan penundaan pemilu merupakan kebijakan frustasi, dari pemerintah, partai, para tokoh, dan masyarakat tak bisa mengedukasi dirinya sendiri untuk hidup baru dengan protokol kesehatan. Jujur, ini kesempatan pemerintah membuat mapping pandemi untuk melakukan rapid test massal dan mencoba vaksin dalam memerangi virus global ini.

Sulit diingkari, pemberantasan Covid-19 ini, menjadi panggung selebrasi dan festivalisasi bagi sekelompok orang meraup keuntungan politis dan ekonomis. Corona sudah menjadi stigma negatif bagi korban dan keluarga sebagai penyakit kutukan. Prosedur penanganan pasien rawat inap atau jalan, ataupun jenazah korban dari virus Corona, yang isolatif, membuat keluarga korban mengalami diskriminasi sosial. Warga lain membuat jarak, yang melukai warga lain dalam interaksi sosial.

Atas nama pemberantasan virus Corona, jutaan keluarga korban kehilangan hak asasinya untuk memperlakukan korban dengan baik, sebagaimana tuntunan birrul walidain (berbuat baik terhadap orang tua) dan mu’asyarah bil ma’ruf (bergaul dengan baik).

Secara teologis dan antropologis, inilah yang memperburuk kondisi korban melalui masa-masa isolasi diri dan saat menghadap Sang Ilahi. Pemerintah, tenaga kesehatan, aparat keamanan, perangkat desa, tanpa sadar, bahwa ucapan, sikap dan tindakannya menjadi “teror” tersendiri yang menakutkan bagi warga yang terselimuti frustasi, sedih dan marah.

Sungguh miris, ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, “latah” ikut berwacana tentang penundaan Pilkada Serentak 2020 demi dan atas nama hifd nafs (menjaga nyawa). Lanjut atau tidak, ditunda atau tidak pilkada sudah sarat kepentingan politis dari calon yang gagal ikut kontestasi, kelompok antidemokrasi, dan antek asing yang ingin merusak citra Indonesia. Pilkada Serentak bisa menjadi ajang pembuktian pada dunia bahwa demokrasi negeri ini tetap mekar di era pandemi.

Kebanggaan bangsa yang tersisa di era pandemi, adalah demokrasi. Negara-negara lain banyak berguru pada pelaksanaan demokrasi Indonesia. Trump, Presiden kampiun demokrasi dunia pun, mengakui perkembangan pesat demokrasi Zamrud Katulistiwa ini, sehingga dapat menopang negeri ini menduduki peringkat ke-7 Product Domistic Bruto (PDB) terbesar negara-negara di dunia.

Banyak yang salah memaknai pemilu sebagai event politik semata. Padahal, pemilu juga merupakan penggerak perputaran ekonomi bagi jutaan penduduk di Tanah Air. Mereka adalah penyelenggara pemilu, baik sebagai panitia atau pengawas, lembaga survey, analis politik, tim kampanye, partai politik, aparat keamanan, perusahan dan karyawaan pengadaan barang dan jasa pemilu, dan masyarakat pada umumnya. Diakui atau tidak, pemilu sejatinya merupakan salah satu lokomotif ekonomi nasional dan daerah yang mandeg berapa bulan terakhir.

Sejak akhir bulan Juli, wacana penundaan Pilpres AS sudah mati suri. Pemilu jalan terus walaupun pandemi belum sepenuhnya bisa dikendalikan. Semua demi merawat investasi demokrasi yang sudah berjalan berabad-abad lamanya.

Pelaksanaan pemilu dapat memastikan proses suksesi kepemimpinan nasional berjalan dengan demokratis, aman dan damai. Proses suksesi kepemimpinan ini merupakan unsur pertama dan utama dari pembentukan pemerintahan yang berdaulat. Indonesia diharapkan demikian pula. Bila tidak, bangsa ini meruntuhkan bangunan negaranya sendiri. Ini adalah lonceng kematian bagi demokrasi Indonesia.

Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network