Nasib Guru Madrasah dan Jargon Ikhlas Beramal
Ilustrasi Guru dan Siswi Madrasah
September 2020, satu bulan setelah kegiatan pembekalan penulis Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), pihak KSKK Kemeterian Agama meminta 21 guru Madrasah yang terpilih melalui seleksi ketat ini untuk kembali ke Jakarta.
Pertemuan kedua ini berita baik sekaligus berita buruk. Berita baiknya pekerjaan membuat soal yang belum ada contohnya ini berjalan lancar. Berita buruknya, saat itu kami pulang dari hotel tanpa membawa uang sepeserpun.
Saya sempat mempertanyakannya pada peserta lain, kata mereka: “Itu biasa di Kemenag,” balasnya pasrah.
Salah satu guru Madrasah coba memberanikan diri untuk bertanya di Gorup Whatsapp. “Bu, bagaimana ongkos pesawat kemarin?.” Dari 21 guru Madrasah yang terpilih, beberapa berasal dari wilayah yang cukup jauh seperti Kalimantan.
Pihak panitia dari KSKK Kemenag menjawab dingin, “Setelah bapak menyelesaikan pekerjaannya.”
Kata-kata tersebut membuatku menelan ludah. Pertemuan pertama itu hanya pembekalan, belum lagi pengeditan, pematangan, uji coba dan uji coba secara langsung melalui komputer. Perkiraan 3-5 bulan pekerjaan ini baru akan selesai.
Dalam setiap sambutan, baik Direktur KSKK Kemenag dan jajarannya selalu menceramahi para guru agar berbuat ikhlas demi anak-anak madrasah. Sambil kemudian Direktur KSKK Kemenag tersebut menyatakan betapa lelahnya beliau pulang-pergi dari Amerika Serikat untuk menyakinkan pihak World Bank (Bank Dunia) bahwa kegiatan AKSI Madrasah berjalan baik dan transparan.
Saya kembali menelan ludah saat ia menyatakan dana yang akan dipinjamkan _World Bank senilai lebih dari satu triliun untuk program AKSI Madrasah.
Tenggorokanku terbakar, tatkala menyadari dari dana triliunan rupiah itu, KSKK Kemenag tidak mampu membayar —menundanya selama satu bulan— ongkos transport penulis soal AKSI Madrasah yang selalu diingatkan agar berbuat ikhlas dan beramal.
Baca juga: Bergaji 400 Ribu, Guru Madrasah Ini Nyambi Jual Kue dan Mainan
Dari semua penulis AKSI Madrasah, hanya saya yang memang lebih tidak memiliki beban. Saya mengajar di Madrasah Aliyah Tsaqafah, madrasah swasta yang didirikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Berbeda dengan guru madrasah lain yang tertekan untuk bersuara.
Salah satu guru Madrasah yang berasal dari Jawa Timur mengirimi saya pesan _ Whatsapp_ WA: “Ongkos pesawat dan rapid test pertemuan pertama itu pakai uang bayaran sekolah anak saya. Sekarang sudah waktunya bayaran sekolah. Masih ada pertemuan lagi. Uang darimana saya?.”
Ada juga guru madrasah lain yang berasal dari Kalimantan, tidak pernah ke Jakarta dalam hidupnya, membiayai sendiri ongkos perjalanan (transport + rapid) untuk mensukseskan program AKSI Madrasah Kementerian Agama. Pulang-pergi.
Rasa-rasanya, saya paling beruntung karena berasal dari Jakarta dan perwakilan Jakarta. Saya satu-satunya guru Madrasah di DKI Jakarta yang lolos menjadi penulis AKSI Madrasah. Artinya saya tidak harus mengeluarkan ongkos sebanyak itu, hanya ongkos dalam kota saja. Namun nasib guru-guru madrasah itu mendorong saya untuk membela, tanpa harus menghimpun simpati.
Saat pertemuan kedua hendak berlangsung, saya menegur di Gorup Whatsapp kepada panitia bahwa mereka berkewajiban untuk membayarkan ongkos transport pertemuan sebelumnya, sebelum ada pertemuan selanjutnya. Saya juga mengingatkan pihak Kementerian paling religius ini agar mengingat hadits soal keringat kuli yang jangan sampai belum dibayar saat keringatnya mengering.
Rupa-rupanya tidak ada tradisi kritik diantara lembaga tersebut sehingga saya ditekan secara personal agar menghentikan protes. Mungkin ini kali pertama buat mereka bertemu guru madrasah yang jeli akan haknya.
Dua hari kemudian pada pukul 02 malam –sayangnya— sambil menunggu di depan ruang operasi sesar istriku, pada 30 September 2020, di tengah pandemi, salah satu panitia AKSI Madrasah yang menyebut dirinya ‘ibu Penny’ mengirim pesan Whatsapp. Ia menyatakan agar saya tidak terlibat dalam AKSI Madrasah. Padahal saya sudah menyerahkan 20 stimulus atau 100 soal AKM saat itu. Alasannya etika berkomunikasi.
Inilah titik dimana saya menyadari bahwa mereka tidak memiliki etika berkomunikasi karena memutuskan kerja di luar jam kerja: pukul 2 dini hari. Saya meminta laporan penilaian jika memang pekerjaan saya tidak baik. Sampai hari ini mereka tidak pernah memberikan laporan semacam itu. Artinya kinerja mereka yang terlibat dalam kebijakan Aksi Madrasah ugal-ugalan, tidak tertib dan tidak akuntabel.
Saat itu beberapa penulis atau guru madrasah mengirimi pesan pribadi karena mendapatkan informasi saya dikeluarkan dari tim penulis. Mereka juga berterima kasih karena telah mewakili aspirasi mereka. Mereka prihatin karena di hari tersebut saya sedang di rumah sakit. Saya menyakinkan mereka bahwa saya tidak kehilangan apa-apa. Sebab target penulisan dibuat dengan sangat terburu-buru dan penuh tekanan. Sebenarnya saya beruntung telah keluar dari jerat pekerjaan yang abai akan hak pekerjanya.
Jujur, tidak ada kepuasan yang lebih berharga untuk saya selain telah mengungkapkan perbuatan dzalim secara terbuka pihak yang tidak sampai hati memeras tenaga guru Madrasah, dan di saat yang sama sambil menceramahi agar para guru madrasah tetap ikhlas.
Rezeki tidak kemana. Anakku lahir sehat. Pekerjaan-pekerjaa lain yang lebih menghargai tenaga pikiran datang. Dua bulan setelahnya saya bertegur sapa dengan salah satu penulis AKSI Madrasah. Ia kemudian menceritakan bahwa dirinya hampir mengalami hal serupa, hanya karena mempertanyakan pembayarannya yang tidak kunjung datang.
Bahkan karena kesal ditagih oleh guru Madrasah tersebut, pihak KSKK Kemenag diam-diam mengancam Kepala Madrasah tempatnya mengajar agar guru tersebut tidak terlalu ‘ribut.’ Selain dzalim dan angkuh, sepertinya mereka menghalalkan segala cara untuk membungkam para guru madrasah yang mencari-menuntut haknya.
Itulah kenapa saya tidak takut untuk protes. Jika mereka hendak mengancam saya dengan cara menekan kepala madrasah atau institusi tempat saya mengajar, silahkan. Mungkin saja merekalah yang akan terancam.
Cerita ini sengaja saya tahan selama beberapa bulan, memastikan para guru Madrasah atau penulis soal AKSI Madrasah telah dibayar semua keringatnya. Penting bagi saya cerita semacam ini tidak berdampak pada mereka.
Saya kira, menunda pembayaran transport bukanlah masalah utama. Masalah utamanya adalah meremehkan keringat para guru madrasah. Sebab menulis adalah kerja pikiran.
Melihat apa yang tengah terjadi, para guru Madrasah memang lemah dalam posisi tawar maupun mental. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berharap mendapatkan keuntungan dengan mengelola keringat guru madrasah. Saya bertaruh dari tiap keringat guru madrasah yang mereka rampok ada api neraka yang kekal di dalamnya.
Selamat datang 2021, mari kita tutup dengan hamdalah. (*)
Iman Zanatul Haeri, Staf pengajar di Madrasah Aliyah Al-Tsaqafah, Jakarta.