Gus Dur, Islam, dan Bhinneka Tunggal Ika
Alkisah. Suatu malam yang hening di sebuah sanggar Hindu, di sisi utara Pulau Bali yang indah, tiga orang sahabat lintas-iman, dengan balutan rasa hormat dan ikatan persahabatan yang erat, berdiskusi tentang konsep wali atau santo atau orang suci.
Diskusi itu mengantarkan ketiganya pada sebuah titik pertemuan spiritualitas tertinggi, rasa keagamaan yang mendalam. Ketiga orang itu adalah Gus Dur, Ibu Gedong Bagus Oka, dan Romo Mangun Wijaya.
Peristiwa ini diceritakan sendiri oleh Gus Dur dalam salah satu tulisannya. Kedalaman peristiwa itu terekam jelas dalam tulisan Gus Dur yang mengisahkan peristiwa tersebut.
“Baik agama Hindu, Katolik maupun Islam, memandang orang suci memiliki beberapa sifat yang membedakan dari orang lain, ciri-ciri istimewa yang diberikan Tuhan, ataupun pengorbanan mereka pada kepentingan manusia. Persamaan pandangan inilah yang membuat kami saling menghormati dengan sepenuh hati. Saya tidak pernah memikirkan perbedaan, melainkan justru persamaan yang selalu kami jadikan sebagai titik pandang untuk melakukan pengabdian kemanusiaan.” (Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, 83-84).
Kisah di atas bisa menjadi jendela penting dalam memahami pandangan Gus Dur tentang kebhinnekaan (pluralisme) dan persahabatan serta kerja sama lintas-agama. Bagi Gus Dur, kemajemukan harus diterima tanpa syarat karena kemajemukan adalah sebuah keniscayaan hukum Tuhan atas ciptaan-Nya.
Akan tetapi, mengakui fakta kemajemukan saja tidak cukup. Mengakui adanya keragaman tanpa memiliki komitmen atasnya, tidak memiliki arti apa-apa. Pluralisme adalah sebuah sikap positif terhadap keragaman, termasuk di dalamnya adalah menjaga secara aktif hak-hak keyakinan orang lain, saling memahami, dan saling peduli.
Dalam seluruh sejarah hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang terus-menerus membela kelompok-kelompok lemah yang disingkirkan hanya karena alasan perbedaan.
Bagi Gus Dur, harga kemanusiaan mengatasi segalanya. Nilai-nilai kemanusiaan-lah yang sanggup mengatasi seluruh perbedaan. Bahkan, salah satu wasiat Gus Dur kepada keluarganya adalah kelak ketika meninggal dunia, hendaknya di nisan makamnya ditulis “here lies a humanist”.
Beranjak dari penghormatannya yang kuat terhadap martabat manusia, Gus Dur terus-menerus mendorong terciptanya kerja sama lintas-agama. Sebegitu kuatnya keyakinannya pada kerja sama ini, hingga dia memandang bahwa dialog lintas-agama adalah sebuah keniscayaan.
Baginya, dialog lintas-agama adalah sebuah kewajiban sosial yang harus dijalani oleh para pemeluk agama. Jika dialog adalah prasyarat bagi terciptanya toleransi, kerjasama dan perdamaian, maka dialog antaragama adalah keniscayaan yang harus dilalui.
“Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerja sama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerja sama itu tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama…. Kerja sama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antar agama juga menjadi kewajiban.” (Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, 2006: 133-134).
Pandangan Gus Dur ini bisa dikatakan sama dengan pendapat Hans Kung yang menyatakan bahwa, “There will be no peace among the people of this world without peace among the world religions.”
Gus Dur memandang bahwa inti dari setiap agama adalah cinta kasih kepada sesama. Salah satu statemen Gus Dur yang sangat terkenal adalah “Tuhan Yang Maha Besar, Maha Agung dan Maha Berkuasa tidak perlu dibela; Yang memerlukan pembelaan adalah Manusia yang ditindas dan dianiaya.”
Muara dari seluruh ajaran agama adalah cinta kasih kepada sesama manusia. Di sini seakan Gus dur hendak mengatakan bahwa untuk apa beragama (membela Tuhan mati-matian) jika dengan itu martabat kemanusiaan diinjak-injak dan dinistakan.
Di atas cara pandang inilah Gus Dur menolak ekstremisme dalam agama. Baginya, agama mengajarkan perdamaian, sedang ekstremisme mengajarkan permusuhan dan kekerasan. Ekstremisme dalam agama tidak memiliki hasil apapun kecuali menebar teror dengan memanipulasi ajaran suci agama yang penuh damai. Gus Dur pernah menyatakan, “Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikkannya”.
Suatu ketika, Gus Dur pernah berkata kepada salah seorang kepercayaannya yang non-Muslim. “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Sebagai seorang non-Muslim, si orang tersebut tidak pernah menyangka jika seorang Gus Dur, tokoh Nahdlatul Ulama, membuka lebar pintu bagi dirinya.
Gus Dur menunjukkan bahwa tempat asal kita bukanlah sebuah masalah. Bahkan, bukan sebuah masalah pula siapa orang tua atau leluhur kita. Dia berkata bahwa hanya amal baiklah yang akan membawa kita pada kebaikan.
Pandangan-pandangan inilah yang selalu disuarakan Gus Dur sebagai Guru Bangsa. Dia mencintai NKRI sebagaimana adanya. Dia membela bangsa Indonesia yang berbhinneka. Dia membela Pancasila karena baginya, Pancasila-lah yang bisa menyatukan kita sebagai sebuah bangsa. Saat hampir semua organisasi keislaman gamang dan ragu menerima Pancasila sebagai azaz tunggal, dia dengan lantang menyatakan bahwa Indonesia tanpa Pancasila akan bubar.
Ketika beberapa kalangan dalam Islam meributkan hubungan antara keislaman dan keindonesiaan sambil terus-menerus memperjuangkan Indonesia yang Islam (baik menjadi negara Islam atau dominasi Islam atas agama-agama lain di Indonesia), Gus Dur dengan tegas menyatakan, “Keindonesiaan adalah ketika agama-agama atau keyakinan yang hidup di Indonesia berdiri sejajar dan memiliki kontribusi yang sama terhadap negeri.”
Baginya, esensi kesejarahan kita sebagai bangsa Indonesia adalah memastikan bahwa kita bisa hidup bersama dalam damai. “Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi kesejarahan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali!,” tegasnya.
Sumber Teologis Gagasan Gus Dur
Dari mana mata air pandangan-pandangan Gus Dur sehingga mengarus pikiran-pikiran bening itu? Pertanyaan ini perlu dilontarkan karena banyak yang mengira bahwa pandangan Gus Dur sepenuhnya adalah sekuler. Bahkan, di kalangan umat Islam banyak yang menuduh bahwa pikiran-pikiran Gus Dur tidak sesuai dengan Islam, bahkan bertendensi menghancurkan Islam.
Yang perlu diingat, Gus Dur adalah cucu KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Sejak kecil mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya, KH A Wahid Hasyim, yang kemudian dibimbing oleh kiai-kiai ternama, hingga akhirnya dia melanjutkan studinya ke Mesir dan Irak.
Saat ini, jasadnya terbaring berdekatan dengan jasad kakek dan ayahnya di lokasi pemakaman Pesantren Tebu Ireng Jombang. Adalah tidak masuk akal memisahkan pandangan Gus Dur dari keyakinan agamanya, sekalipun caranya memahami agama pasti diperkaya oleh berbagai ilmu dan pengalaman yang dimilikinya.
Dalam hal kebhinnekaan, Allah telah berfirman di dalam al-Qur’an bahwa Dia sendirilah yang menciptakan manusia yang beraneka ragam. Surah al-Hujurat ayat 13 barangkali adalah salah satu ayat yang paling banyak dihafal. Di sini, Allah secara tegas berfirman:
يَا أَيّÙهَا النَّاس٠إÙنَّا خَلَقْنَاكÙÙ… مّÙÙ† ذَكَر٠وَأÙنثَى وَجَعَلْنَاكÙمْ Ø´ÙعÙوباً وَقَبَائÙÙ„ÙŽ Ù„ÙتَعَارَÙÙوا Ø¥Ùنَّ أَكْرَمَكÙمْ عÙندَ اللَّه٠أَتْقَاكÙمْ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat 13)
Allah sendirilah yang menciptakan kebhinnekaan ini. Dia sendirilah yang menghendakinya. Fakta keragaman manusia bukan karena Allah tak mampu membuatnya menjadi satu, namun begitulah yang dikehendaki-Nya. Apakah Allah tidak sanggup membuat seluruh hamba-Nya beriman kepada-Nya? Allah tegas menjawabnya dalam surah Yunus 99:
وَلَوْ شَاءَ رَبّÙÙƒÙŽ لَآمَنَ مَنْ ÙÙÙŠ الْأَرْض٠كÙلّÙÙ‡Ùمْ جَمÙيعًا Ûš Ø£ÙŽÙَأَنْتَ تÙكْرÙه٠النَّاسَ Øَتَّىٰ ÙŠÙŽÙƒÙونÙوا Ù…ÙؤْمÙÙ†Ùينَ
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Yunus 99).
Senada dengan ayat di atas, di bagian lain, Allah juga menyatakan bahwa setiap kaum memiliki jalan dan caranya sendiri-sendiri. Seluruh perbedaan yang ada ini diciptakan bukan tanpa tujuan, tapi justru menjadi sarana untuk mencapai kebaikan. Sebagaimana firman-Nya:
Ù„ÙÙƒÙلّ٠جَعَلْنَا Ù…ÙنْكÙمْ Ø´Ùرْعَةً ÙˆÙŽÙ…Ùنْهَاجًا Ûš وَلَوْ شَاءَ اللَّه٠لَجَعَلَكÙمْ Ø£Ùمَّةً وَاØÙدَةً وَلَٰكÙنْ Ù„ÙيَبْلÙÙˆÙŽÙƒÙمْ ÙÙÙŠ مَا آتَاكÙمْ Û– ÙَاسْتَبÙÙ‚Ùوا الْخَيْرَات٠ۚ
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al-Ma’idah 48).
Jelaslah bahwa Allah SWT menjadikan keragaman ini sebagai “washilah” bagi umat manusia untuk meraih kebaikan. Kebaikan tidak bisa diraih dengan cara mengolok dan merendahkan orang lain. Kebaikan hanya mungkin dicapai jika kita mengakui keberadaan orang lain dengan capaian-capaiannya.
Inilah yang dikehendaki Allah dengan mencipta keragaman. Tapi, betapa seringnya capaian atau prestasi orang lain tidak membuat kita tertantang untuk fastabiq al-khairat (berlomba-lomba berbuat kebajikan), namun justru melahirkan kedengkian yang kemudian mendorong kita melakukan perendahan, penghinaan, bahkan penghancuran kelompok lain.
Ironisnya, tindakan-tindakan rendah ini tidak jarang justru dibalut dengan simbol-simbol agama seakan Allah-lah yang menyuruh seluruh tindakan kekerasan dan penghancuran ini. Padahal, dalam surat al-Hujurat, Allah telah berfirman:
يَا أَيّÙهَا الَّذÙينَ آمَنÙوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مّÙÙ† قَوْم٠عَسَى Ø£ÙŽÙ† ÙŠÙŽÙƒÙونÙوا خَيْراً مّÙنْهÙمْ وَلَا Ù†Ùسَاء مّÙÙ† نّÙسَاء عَسَى Ø£ÙŽÙ† ÙŠÙŽÙƒÙنَّ خَيْراً مّÙنْهÙنَّ -
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).” (Al-Hujurat 11).
Bahkan, ketika Allah menggaransi bahwa hanya Islam-lah agama yang diakui oleh-Nya, Dia tetap mewanti-wanti agar keyakinan mutlak kita terhadap Islam ini tidak menggelincirkan kita untuk melakukan tindakan pemaksaan keyakinan terhadap orang lain. Kredo kebebasan beragama telah dinyatakan secara jelas oleh Allah dalam surah al-Baqarah ayat 256:
لاَ Ø¥Ùكْرَاهَ ÙÙÙŠ الدّÙينÙ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama.” (Al-Baqarah 256).
Jadi, jelaslah bahwa yang diinginkan Allah terahadap umat Islam adalah menciptakan sebuah kehidupan yang penuh kedamaian di muka bumi. Kebhinnekaan yang ada di dunia, termasuk kebhinnekaan dalam keyakinan, adalah sunnatullah yang tidak bisa diingkari.
Agama, seyakin apapun kita dan sekuat apapun kita memeluknya, tidak seharusnya menjadi alasan untuk saling menghinakan dan berbaku hantam. Sebaliknya, agama seharusnya menjadi energi positif dalam membangun peradaban bumi, di mana setiap orang atau kelompok hidup bersama dalam damai (peaceful coexistence).
Adalah mustahil bagi orang seperti Gus Dur tidak memahami ayat-ayat ini. Sebagai seorang Muslim, Gus Dur percaya bahwa Islam adalah agama perdamaian sebagaimana makna generik dari kata “˜al-Islam’ itu sendiri. Dengan makna seperti ini, Islam kaffah (Islam paripurna) berarti sebuah perdamaian total. Prinsip nirkekerasan menjadi fondasi Gus dur dalam membangun hubungan dengan orang atau kelompok lain.
Dari sinilah lahir berbagai tindakan Gus Dur yang mendamaikan, misalnya, dialog antar-pemeluk agama, rekonsiliasi, dan toleransi. Di mata Gus Dur, tindakan-tindakan ini tidak hanya merupakan kewajiban sosial, tapi juga misi keagamaan terdalam yang wajib ditunaikan.
Penutup
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah quote dari Gus Dur yang sangat menginspirasi:
“Dalam hidup nyata dan dalam perjuangan yang tak mudah, kita bukan tokoh dongeng dan mitos yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan. Kita, yang bukan tokoh mitos, yang punya anak, istri dan keluarga, mengenal rasa takut. Meskipun takut kita jalan terus, berani melompati pagar batas ketakutan tadi, mungkin di situ harga kita ditetapkan.” (*)
Ahmad Zainul Hamdi, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.