Muktamar Ke-34 NU 2021
Gus Yahya, Antara Api dan Asap Pemikiran Gus Dur
KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya (berdiri) saat membacakan Dekrit Presiden Gus pada 23 Juli 2021 (santrinews.com/AFP)
KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) maju sebagai calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan alasan untuk menghidupkan kembali idealisme, visi dan cita KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Banyak pendukungnya yang berusaha mengidentikkan dengan Gus Dur.
Saifullah Yusuf (Gus Ipul) bahkan menyebut Gus Yahya dengan Gus Dur muda. Seorang Ketua Akbar NU yang layak disandangkan gelar “akbar” seperti kakeknya Rais Akbar NU, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari, dalam sepanjang sejarah struktur NU dari dulu sampai sekarang.
Gus Dur memimpin NU pada usia 44 tahun dan mengakhirinya pada usia 55 tahun. Pada saat itu, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999. Ini capaian karir politik tertinggi dari pada kader NU yang belum berhasil disamai oleh yang lain.
Dalam banyak hal, sesungguhnya Gus Yahya belum dapat mempersonifikasikan Gus Dur secara komprehensif dan holistik, kendati beberapa tahun terakhir, ia sering menjadi pembicara dalam forum internasional. Ini belum representatif menyamakan keduanya. Mengapa?
Pertama, Gus Yahya baru berani tampil menjadi calon Ketua Umum PBNU pada usia 55 tahun. Seusia itu Gus Dur justru sudah lengser keperabon dari posisinya sebagai Ketua Umum PBNU.
Kedua, Gus Yahya belum menjadi lokomotif dari generasi intelektual ulama NU yang concern dalam pengembangan pemikiran agama. Sementara Gus Dur sudah beken sebagai intelektual muslim ternama di Tanah Air. Pemikirannya dikenal mengandung kebaruan, original dan banyak tersebar di media massa.
Ketiga, dari awal Gus Yahya terang benderang tak mau mencalonkan diri sebagai Capres atau Cawapres pada Pemilu 2024. Sedangkan, Gus Dur ikut secara langsung membidani kelahiran partai, mencalonkan diri sebagai calon, serta terpilih sebagai presiden Indonesia ke-4.
Keempat, kehidupan Gus Yahya beserta keluarga nyaris tanpa keprihatinan dan prahara yang berarti. Pada usia 33 tahun, ia sudah berada di lingkaran kekuasaan negeri ini. Lain halnya dengan kehidupan Gus Dur yang penuh keprihatinan dan prahara melawan tirani Orde Baru. Awal menjadi Ketua Umum PBNU, ia belum punya rumah tempat tinggal sendiri, dan hidup dari kontrakan ke kontrakan lain.
Kelima, Gus Yahya tampil sebagai kandidat sekarang ini pada saat posisi NU sangat kuat di hadapan negara. Berbeda halnya dengan Gus Dur maju sewaktu nasib NU dalam tekanan politik rezim Soeharto gencar melakukan deislamisasi partai agama.
Berbagai perbedaan Gus Yahya dan Gus Dur di atas, tak otomatis menghilangkan sejumlah kesamaan antara keduanya. Kuliahnya sama-sama tak selesai. Gus Yahya drop out dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Dan Gus Dur keluar dari Universitas Al-Azhar.
Trah kiai besar yang sama-sama berjasa bagi tumbuh-kembang NU. Gus Yahya putra dari KH Cholil Bisri, dan Gus Dur dari alul bait KH Wahid Hasyim.
Kiai yang sama-sama menguasai Bahasa Inggris aktif. Berbekal bahasa internasional ini, Gus Yahya maupun Gus Dur, sama-sama menjadi pembicara langganan dalam forum diskusi dunia. Keaktifan dalam forum tersebut membuat international networking keduanya sangat kuat, baik di negara Barat maupun Timur.
Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) pada acara Bedah Buku “Menghidupkan Gus Dur, Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf”, mengatakan bahwa dari banyak murid Gus Dur, Gus Yahya-lah yang mewarisi keberanian dan kepercayaan diri Gus Dur. Dari inner circle Gus Dur, tak banyak yang mewarisi watak Gus Dur yang berani tak populer sekaligus percaya diri dalam memperjuangkan nasib rakyat.
Tampaknya, narasi Gus Ipul dan Cak Imin di atas lebih banyak mengarah pada personal branding Gus Yahya sebagai pewaris Gus Dur yang otentik. Sejarah mencatat dengan tinta emas, bahwa legesi terbesar Gus Dur bukan harta dan jabatan melainkan pemikiran. Gus Yahya adalah sang murid yang mengambil bagian terbesar dalam menghidupkan pemikiran Gus Dur itu.
Meskipun Gus Yahya tampak berjualan pemikiran Gus Dur dalam proses pencalonan, di balik kampanye, sebenarnya banyak disokong oleh para “operator politik handal” dalam Republik NU. Mereka sudah terbukti dan teruji seringkali memenangkan pertarungan internal NU dari muktamar ke muktamar.
Sejatinya, kekuatan Gus Yahya atas sejumlah calon yang lain, menjadi referensi kanal arus regenerasi PBNU yang menggema di seluruh Tanah Air. Namun tak berarti calon yang lain tidak begitu. Namun, usia Gus Yahya yang relatif lebih muda dari calon yang muncul, dan momentum politik lebih berpihak kepadanya, akhirnya memuluskan langkahnya dalam memperebutkan Ketua Umum PBNU.
Semula Gus Yahya merupakan persona non grata (orang yang tidak disukai) lantaran kunjungannya ke Israel, namun pada perkembangannya justru kunjungan itu yang dianggap sebagai bukti keberanian melanjutkan perjuangan Gus Dur. Tokoh sekaliber KH Said Aqil Siradj yang urat syaraf takutnya sudah putus, masih saja tak mau melakukannya dan malah mengkritik tindakan tersebut.
Gus Yahya menunjukkan kelas sebagai persona grata (orang yang dikehendaki) publik dunia, membawa misi perjuangan perdamaian. Banyak tokoh dunia berharap pada kontribusi pemikiran dan tindakannya. Bagaimana dengan para muktamirin, apa justru sebaliknya. Jawaban atas pertanyaan tersebut ada pada Muktamar ke-34 NU di Lampung 22-24 Desember 2021.
Alternatif strategi Gus Yahya sangat berisiko tinggi pada keberlangsungan ide dan gerakan NU. Bila Gus Yahya menang, maka kampanye pemikiran Gus Dur terbukti efektif menarik suara. Bila kalah, berarti gagal mengcopy strategi Gus Dur dalam merebut kekuasaan.
Namun, semua pasti mufakat, bahwa yang dikehendaki oleh almarhum Gus Dur adalah menghidupkan api pemikiran bukan asapnya. (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Istitute.