Prisma Pemikiran Gus Dur dan Ki Hajar Dewantara

Jika berbicara tentang Gus Dur dalam dunia akademisi pasti membahas tentang nilai pluralnya yang menjadi kajian diskusinya. Berbeda lagi jika dalam dunia santri dan masyarakat luas, pasti tentang karomah dan kewalian beliau. Jarang sekali yang fokus kajiannya tentang bagaimana nilai pendidikan yang sejatinya dibangun oleh Gus Dur?

Karena dengan pendidikan yang sekarang mulai trend dengan lembaga favorit yang menjanjikan pekerjaan setelahnya. Pun juga sebagai batu loncatan untuk menyandang jabatan pegawai negeri (bagi tenaga pendidiknya), padahal pendidikan dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah wiyata yaitu memberi tuntunan terhadap anak-anak yang sedang belajar. Jika ditranformasikan dalam pandangan luas menuntun setiap manusia terhadap pendangan atau prilaku yang lebih baik.

Ya, pandangan Gus Dur yang kemudian dirangkum menjadi sembilan prisma pemikiran Gus Dur, yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal.

Sembilan prisma pemikiran Gus Dur itu selalu menjadi ikon pembahasan atau diskusi santai di berbagai seminar atau di kedai-kedai kopi, namun ada pertanyaan sederhana apa sebenarnya tujuan Gus Dur berfikir dan bertindak seperti itu sehingga khlayak umum mampu mensederhanakan pemikiran beliau? Karena Pancasila pun secara tidak langsung dijelaskan dalam butir-butirnya mengatur semua itu.

UU di negara yang heterogen ini juga mengatur sembilan nilai tersebut. Bahkan, dalam Islam juga sangat memerintahkan hal tersebut, walaupun ada oknum yang beragama Islam secara langsung mengingkari beberapa nilai diatas dan menganggap bid’ah (mode baru) yang tidak mencerminkan Sang Pioneer Islam Muhammad SAW, sehingga seharusnya jika memang mengaku umat Nabi, ya harus mencontoh Nabi SAW.

Namun terlepas dari itu semua korelasi sembilan prisma pemikiran Gus Dur dengan pendidikan yang ada saat ini yang penulis coba kaitkan yakni terhadap sikap moral masyarakat, karena faktanya banyak sekali orang berpendidikan menyandang gelar seperti rel kereta api panjangnya, cumloud peringkatnya, bahkan disamakan tindakannya dengan para khalifah ar-Rasyidin, atau dianggap sebagai kiai yang mengikuti ajaran lurus, tidak mampu mengubah konflik-konflik kemanusiaan.

Yang berkaitan dengan prilaku atau nilai moral manusia itu sendiri, bercermin pada ungkapan Gus Dur (1998) terkait dengan mekar-kembangnya kumpulan para cendekiawan Islam, yakni “Islam pada dasarnya adalah konstruk moral yang berpijak pada persepsi rasional dan imbauan spiritual, bukan sistem masyarakat yang semata-mata bertumpu pada kekuatan fisik.”

Dari situ poin terpenting yang penulis lihat adalah “moral” yang harus dibangun, moral terhadap Tuhan, moral terhadap sesama manusia, moral terhadap semua agama, moral terhadap perbedaan strata sosial, moral terhadap lingkungan sekitar, dan moral-moral yang lain, yang semua itu dalam pandangan Ki Hajar Dewantara bertumpu pada pendidikan karena pendidikan berisi tentang tuntunan, berbeda dengan pengajaran yang bersifat fakultatif tuntunan terhadap kodrat seseorang yang dalam hal ini adalah watak manusia, keadaan psikologis manusia dan mental manusia.

Jika salah tuntunannya atau lebih terabaikan (karena sibuk akreditasi misalnya) maka tidak nilai pendidikan yang tersampaikan pada peserta didik (jika lingkupnya lembaga pendidikan), sehingga ungkapan bijaknya adalah pendidikan bisa dimana saja (akan tetapi itu bagi mereka yang mampu berfikir dewasa, dalam hal pandangan dan sikap) lagi-lagi moral yang berpengaruh.

Sehingga pendidikan menjadi pemicu kembang kempisnya moral seseorang, dalam hal ini Gus Dur mengemasnya bukan berbentuk teori yang berjubel-jubel namun dengan tindakannya pun yang bernilai persuasif mempu menyihir masyarakt luas agar bertindak lebih baik, dengan gaya khasnya “gitu aja kog repot” Gus Dur mampu mempengaruhi masyarakt untuk berperilaku layaknya manusia.

Jika ada penistaan agama ya jangan dibalik menistakan “gitu aja kog repot.” Jika ada orang korupsi lantas dipenjara ya jangan dibully, “gitu aja kog repot.” Jika ada kiai yang ceramah di gereja jika tidak suka ya jangan dihina-hina. Jika ada orang yang tidak mau kumpul-kumpul tahlilan atau sholawatan ya jangan dianggap dia beraliran beda wong sama-sama muslimnya. Jika ada orang kesusahan ya ditolong dan nggak usah pamer-pamer, dan banyak yang lainnya.

Bagi penulis inilah nilai moral yang sebenarnya dibangun secar tidak langsung oleh Gus Dur (yang menurut Ki Hajar Dewantara adalah wiyata atau tuntunan). “Maka ajaklah orang-orang itu dengan tanpa paksaan, atau jika bisa mereka tidak merasa diajak.”

Sehingga dalam memperingati Haul ke-7 Gus Dur ini, penulis berharap dari Sembilan prisma pemikiran Gus Dur diatas mampu mentranformasi pendidikan sehingga tumbuh moralitas seseorang dengan baik. Sehingga pendidikan benar-benar mampu membentuk moralitas peserta didik dan menjadi generasi penerus yang memanusiakan manusia dan bertindak bijaksana. (*)

Achmad Dahri Ahr, Santri di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Faraby Kepanjen Malang, penulis buku Pendidikan Multikulturalisme Gus Dur 2015.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network