Tahun Baruan Bareng Gus Dur dan Herakleitos

Gitu aja kog repot!.

Joke KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang satu ini dikenal di seantero masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? dalam setiap komunikasi sosial, di strata sosial apapun, pasti terdengar joke dari presiden ke-4 Negara Indonesia tersebut.

Padahal di balik joke sederhananya terdapat ruang yang perlu diejawantahkan. Mengapa? karena ada satu keunikan pola pikir yang menelurkan pola sikap dari joke tersebut. Bukan sekonyong-sekonyong lantas joke yang menjadi ciri khas Gus Dur ini lahir. Di samping perenungan panjang, cakrawala berpikir yang begitu luas menjadi satu alasan lahirnya joke tersebut.

Satu nilai kepasrahan atau tawakkal terdapat dalam joke tersebut. Di sisi lain ada konsep berprasangka baik atas segala sesuatu yang menjadi titik tolak dari keadaan yang ada. Namun begitu, ruang yang melahirkan pengetahuannyalah yang harus menjadi satu riset penting. Khususnya bagi manusia millenial.

Dengan kondisi fasilitas kehidupan yang serba mudah didapat. Setidakya menjadikan wadah untuk belajar memahami dan menyadari. Sadar dan paham akan hal apa? Pengembangan pola pikir dan sikap pikir yang jelas. Karena berpengaruh terhadap proses menyikapi proses perjalanan kehidupan.

Gus Dur putra dari KH A Wahid Hasyim, cucu dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pendiri Pesantren Tebuireng Jombang. Gus Dur dikenal dengan humor dan karakter ketegasan yang kuat. Terutama dalam konteks kepemimpinan.

Tetapi di luar sisi itu ada satu presisi humor atau joke yang sangat kental, di mana sebagian orang baik dari kalangan ilmuan atau ulama biasanya mengaitkan dengan ayat di dalam kitab suci, bahwa “Islam” itu agama yang muda, yang memberi ruang sangat luas kepada pemeluknya.

Perabaan-perabaan inilah yang menjadikan joke iconik itu tercantum di berbagai tulisan, esai, opini, sticker-sticker, bahkan truk-truk. Menjadi motivasi bagi setiap mereka yang memiliki cara pandang luas. Tidak cekak nalarnya. Tidak gampang marah. Bahkan memiliki jiwa toleransi yang benar-benar memanusiakan manusia. Dengan kata lain mempengaruhi terhadap meta-etika manusianya.

Dalam Biografi yang disusun oleh Greg Barton, Gus Dur diceritakan sudah mengenyam buku-buku barat yang dikatakan belum sepantasnya anak seusia Gus Dur kecil membaca buku dari filosof kenamaan seperti Karl Mark dengan Das Kapitalnya. Kemudian memang sudah dididik dengan nilai-nilai luhur oleh kedua kakeknya, yang mana sama-sama mempunyai lembaga pendidikan kemanusiaan yaitu pesantren. Tebuireng dan Denanyar.

Lantas apakah karena dua hal itulah pola sikap dan pola pikir Gus Dur dikatakan Ningrat Budhi hatinya (istilah yang dipakai oleh Romo Mangunwijaya. Bahkan Romo Mangun mengatakan dalam pengantar buku kumpulan catatan Gus Dur, bahwa:

“Kiai (Gus Dur) adalah tipe pemimpin yang suka turun ke bawah, ke ujung-ujung sudut masyarakat yang tidak didatangi oleh kaum intelektual. Sehingga pengetahuan beliau didukung dan berdialektik dengan praksis kehidupan nyata, khususnya kehidupan kaum yang dilupakan dan tidak pernah terjamah. Kyai juga tenang bergaul dengan dunia elit nasional dan internasional, namun mampu juga tanpa lelah dan penuh kesayangan turun kebawah dan berbincang-bincang saling membagi rasa dan pendangan dengan sekian banyak kiai serta santri-santri mereka di segenap pelosok umat Islam paling bawah.”

Dengan kata lain Gus Dur memberi satu gambaran bahwa, ketika engkau menjadi hujan maka tidak memilih engkau akan jatuh di mana. Pendek kata, sebagai manusia memiliki kewajiban menjaga hubungan baik dengan sesama manusia dan lingkungan sekitar. Karena sebelum belajar tentang Tuhan, terlebihlah dulu belajar tentang manusia, karena dengan begitu, ketika paham betul tentang Tuhan maka tidak melupakan kemanusiaannya.

Jika dalam kehidupan selalu ada yang baru, seperti yang dikatakan oleh Herakleitos (540-480 SM) bahwa esok pagi adalah kehidupan yang baharu. Begitu juga Tahun, walaupun pada dasarnya masa atau waktu adalah proses perjalanan, proses pengembaraan, proses penemuan-penemuan. Tetapi sudahlah, anggap saja baru, atau pergantian.

Pertanyaannya adalah, apa yang akan kita lakukan di tahun baru? Jika mengembangkan pola sikap atau pola pikir, mengapa harus menunggu tahun baru?.

Herakletos dikenal dengan zuhudnya, harta warisan kebangsawanannya diberikan kepada adiknya. Ia selalu menahan kemarahan dan kekacauan berpikirnya. Beberapa fragmen pemikirannya dibawa dan dikenalkan oleh murid-muridnya. Pandangan tetang kebaruannya adalah ia memahami bahwa setiap yang hidup pasti mengalami proses pembaharuan (panta rhei). Dengan kata lain ada dua sisi yang saling bersinggungan untuk saling menggantikan.

Kalau saja dalam konteks kehidupan saja mengalami perubahan dan pembaharuan, lantas mengapa masih kaku dengan perihal ucapan “selamat natal dan tahun baru”? Oleh karenanya tidak hanya alam semesta atau sesuatu yang bergerak memiliki sifat baharu, tetapi juga pola pikir dan pemahaman seharusnya baharu dan berkembang setiap hari. Dan ini sejalan dengan terminologi afala tatafakkarun, afala tatadzakkarun, afala ta’qilun, dan afala tadabbarun.

Begitu juga yang dilakukan dan menjadi istiqamah Gus Dur dalam menjalani proses ukhuwah. Menjaga sikap toleransi adalah nilai santri yang beliau jaga. Sebagai santri beliau menjaga persaudaran sesama manusia, hal ini sejalan dengan materi-materi meta-etika di pesantren yang dibangun sejak kecil, akhlaq al libanin misalnya. Kemudian menerapkannya sejalan dengan perkembangan manusia saat ini.

Sebagai cendekiawan, beliau bergerak dengan akal budinya agar memiliki pandangan yang luas, memiliki keluhuran pengetahuan, dan menjaga khazanah keilmuan yang kemudian diterapkan dengan baik di dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan proses penjagaan dan pengamalan kitab Ta’lim Al Muta’allim di pesantren.

Sebagai pemimpin, seperti yang dijelaskan Romo Mangun di atas, cukup mewakili bagaimana seorang Gus Dur mampu memanusiakan manusia, karena bagi Gus Dur yang terpenting adalah kemanusiaan. Hal ini terbukti dengan humanisme dan pluralisme yang menjadi kampanyenya.

Bahkan dalam sebuah artikel yang dimuat di Suara Pembaharuan pada tahun 2003, Gus Dur secara terang menulis, “Jika Penulis (Gus Dur) merayakan natal, itu adalah penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT. Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum kristiani merayakannya bersama-sama.”

Hal ini adalah bukti bahwa Gus Dur mementingkan nilai-nilai kemanusiaan. Yang jelas banyak sekali pro-kontra atas sikapnya. Tetapi sekali lagi kemanusiaan atau humanisme dan pluralisme adalah satu kewajiban dalam menjaga kesejahteraan dan ketentraman antar manusia.

Pohon yang rimbun akan memberi naungan menyejukkan kepada siapapun yang berteduh di bawahnya, jikapun daunnya tidak ada, maka rantingnya masih berfungsi sebagai penghangat di malam hari.

Kalau pohon pisang tidak mati sebelum ia berbuah dan menyuguhkan buahnya yang manis dan lezat, maka Gus Dur dan Herakleitos akan selalu hadir dan mengawal akal budi manusia yang memiliki kesadaran menjaga persaudaraan dan memiliki sikap toleransi yang kuat, khususnya bagi mereka yang selalu memiliki semangat baharu dalam membangun kesadaran kemanusiaan dan akal budi yang luhur. (*)

Ahmad Dahri, santri di Pesantren Luhur Bait Al Hikmah Kepanjen, dan Pesantren Luhur Baitul Karim Gondanglegi, ia juga mahasiswa di STF Al Farabi Kepanjen Malang. Beberapa buku karyanya sudah diterbitkan. Diantaranya “Multikulturalisme Kontekstual Gus Dur”, “Dialektika Pesantren”, “Kumpus Orang-Orang Pagi”, dan “Monolog Hitamkah Putih Itu”.

____________
Bagi sahabat-sahabat penulis yang ingin berkontribusi karya tulis baik berupa opini, esai, resensi buku, puisi, cerpen, serta profil tokoh, lembaga pesantren dan madrasah, dapat dikirim langsung via email ke: redaksi@santrinews.com. Terima kasih.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network