Gus Dur dan Imlek di Tahun Politik Tempur

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (santrinews.com/ist)

Andai KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak menjadi Presiden RI, mungkin perayaan Imlek —dikenal dengan Tahun Baru Tionghoa— tak bakal semeriah seperti sekarang.

Dulu, Soeharto melarang perayaan Imlek secara terbuka. Masyarakat Tionghoa di Tanah Air merayakannya secara tertutup. Sembunyi-sembunyi. Sebatas di lingkungan keluarga. Itupun masih diawasi aparat.

Bleid yang “mengharamkan“nya berupa Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Perayaan sekelas Cap Go Meh pun diatur ketat oleh Menteri Agama melalui pertimbangan Jaksa Agung.

Begitu Soeharto tumbang dan tampuk kepemimpinan nasional dipegang BJ.Habibie, perayaan tradisi dan adat istiadat dari berbagai atribusi Tionghoa pun masih bersembunyi. Ini mengingat traumatis sejumlah keluarga etnik ini masih sangat tinggi kala fajar Reformasi 1998 baru terbit.

Untuk mengurus dokumen keperdataan misalnya. Masyarakat Tionghoa masih diwajibkan melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

Aturan pengekang itulah ditebas Gus Dur. Dimulai dari pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967. Prosesnya berlangsung sangat cepat: hanya dua bulan lebih setelah dirinya terpilih sebagai Presiden RI.

Sedikitpun nampak tidak ada keraguan. Menjadi semacam letupan dari gairahnya yang tinggi mengelola kemajmukan, yang dulu dihambat mesin Orde Baru.

Abdurrahman Wahid terpilih menjadi orang nomor wahid pada Oktober 1999. Inpres itu ia cabut pada 17 Januari 2000. Harian Kompas, 7 Februari 2016 memberitakan, Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, Budi Tanuwibowo, tarkaget-kaget saking cepatnya keputusan itu.

Gus Dur menggantinya dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000. Sejak itulah Imlek dan Cap Go Meh beserta perayaan aneka tradisi Tionghoa dirayakan secara terbuka.

Tapi Gus Dur tak puas. Kepada Harian Kompas, 11 Maret 2004, Gus Dur merincikan masih ada 4.126 peraturan pengekang lainnya yang belum ia cabut. Antara lain tentang SBKRI. Sayangnya, dia sudah tidak menjabat lagi sebagai Presiden RI.

Pasca 2001, gema gendang yang telah ditabuh Gus Dur diteruskan oleh presiden berikutnya.Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, perayaan Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Pembelaan Gus Dur terhadap plularisme dan multikulturalisme bukan sebanyak dikatakan tapi sebanyak dilakukan. Di perkara demokrasi ia tak pernah main-main. Gus Dur pasang badan. Terlalu banyak contoh yang dapat dirunut dari seorang Gus Dur menegakan perkara tersebut.

Menteri Ketenagakerjaan RI 2014-2019, Muhammad Hanif Dhakiri, pernah merangkum dalam karya tulisnya “41 Warisan Kebesaran Gus Dur”. Buku ini terbitan LKiS, Yogyakarta 2010.

Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono menobatkan Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme. Masyarakat Tionghoa menobatkannya sebagai Bapak Tionghoa. Belum terhitung dari puluhan penghargaan yang Gus Dur terima semasa hidupnya. Sebangun dengan minatnya di bidang yang sangat luas.

Apapun bidangnya, Gus Dur punya pinsip tangguh. Nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan tidak akan pernah tegak bila penegaknya tidak bersikap ksatria. Itu berarti tak gentar bila dicaci. Tak tersanjung tinggi bila dipuji.

Perayaan Imlek dalam shio Anjing Tanah dan Babi Tanah di tahun politik 2018 dan 2019 menyiratkan refleksi penting. Betapa di tengah pertempuran sengit politik identitas membutuhkan sikap ksatria itu sebagaimana negarawan dalam mengelola kemajemukan.

Entitas Indonesia kian tertuntut melampaui skat-skat (beyond) golongan. Dan itu berpararel dengan mempersempit jurang ketidakadilan sosial. Baru benar-benar terasa lekat dan rekat dalam berbangsa dan bernegara.

Wa bil khusus para saudara Tionghoa Kita sebagai bagian erat Indonesia. Terlebih kaum pengusahanya yang mendominasi nadi perekonomian negeri.

Mereka juga semakin tertuntut melampaui golonganisme dalam varian apapun.Kian bertambat pada NKRI yang utuh. Ini semua agar partitur irama berbangsa tidak lecet dan macet terlalu lama.

Bukankah Gus Dur telah mencontohkan keberanian secara nyata. Pahit memang. Mengingat tantangan dan resikonya. Pasti berliku.Tapi Gus Dur menempuh jalan terjal itu. Demi nasib generasi mendatang semulus yang dicanang.

Gus Dur menyatakan, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, maka orang tidak akan pernah tanya apa agama atau sukumu.”

Itulah kemanusiaan. Dan tidak akan tercerabut identitasnya sepanjang Kearifan dihayati dan diamalkan secara nyata. Tidak hipokrit.

Toh, ketika Gus Dur berjuang menegakan plularisme, multikularisme dan demokrasi, identitas kesantriannya tak pernah tercerabut. [*]

Alfi Rahmadi, Wakil Sekretaris Jenderal Gerakan Nasionalis Kebangsaan Rakyat Indonesia (GNKRI).

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network