Gus Dur, Menteri Agama, dan Gus Yaqut
Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas sowan KH Musthofa Bisri alias Gus Mus di Rembang (santrinews.com/istimewa)
Terus terang ada rasa senang tetapi juga khawatir ketika mendengar Menteri Agama tiba-tiba diganti dan penggantinya adalah “Pemuda Ansor”: Gus Yaqut Cholil Qoumas.
Saya masih ingat ketika bapak bercerita bahwa rumah tempat aku dibesarkan pernah kebanjiran. Rumah kami tenggelam oleh lumpur dan kayu setinggi dada orang dewasa. Tentu saja tahun itu aku belum lahir dan tidak tahu betapa susahnya orang tuaku saat itu.
Tapi saat itu, kata bapak, banyak sekali pemuda Ansor yang datang membantu membereskan rumah penduduk yang terkena banjir, sehingga rumah “tua kami” bisa kembali bisa ditempati.
Baca juga: Gus Dur, Anak Muda, dan Narasi Baru Islam Tradisional
Rumah kakek ini memang sangat bersejarah, sering disinggahi para kiai terkenal dan bahkan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur muda pun pernah ke sana ketika mengantar temannya untuk meminang kakakku.
Sampai sekarang rumah tua kakekku tetap berdiri menyimpan rahasianya yang belum banyak aku ungkap. Lantas apa hubungannya Gus Dur dan Gus Menag (Gus Yaqut) serta rumah tua kami?
Rumah tua kami adalah gambaran negara yang sedang terkena lahar dingin yang banyak membawa beragam material yang mengganggu sehingga tidak nyaman untuk ditinggali. Gus Dur dan para kiai adalah sosok yang paling mencintai negeri indah ini dan menginginkan negeri ini bisa merajut kedamaian dalam keragaman.
Baca juga: Sejarah Kekerasan Dalam Agama
Pemuda Ansor —salah satu Banom NU— adalah mereka yang dengan sigap melayani negara ini dengan petunjuk dan perintah kiai. Saya berharap dengan Gus Menag yang baru bisa membawa perubahan substansial dalam kehidupan beragama kita yang “salah arah” dan salah “kaprah” beberapa tahun belakangan ini. Kehidupan yang tidak saling menghargai dan jauh dari cita nilai madaniah nabi, yang saling menghormati dan menghargai dalam kedamaian.
Gus Dur telah banyak mengajarkan cinta dan keluasan hati menerima kebhinekaan bukan saja suku bangsa, tetapi juga golongan agama dan keyakinan lokal yang ada. Perbedaan adalah sunnahtullah yang kita tidak akan mampu menghilangkan, kita hanya bisa merajut perbedaan itu menjadi pelangi yang indah.
Tak perlu kita ngotot untuk menjadikan umat sebagai satu golongan seperti kita, tetapi kitalah yang harus mengalah dan menjadikan kebaikan universal yang Tuhan berikan untuk menghargai perbedaan tersebut. Kita juga tak perlu pura-pura bersikap berlebihan dalam memaknai humanisme kapitalis. (*)
Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.