Menteri Agama Tidak Bisa Bahasa Arab?

Dalam dua hari terakhir, beredar video pertemuan Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas dengan pejabat tinggi Arab Saudi, Taufiq al-Arabiyah yang membidangi urusan haji dan umrah. Di situ, Menag Gus Yaqut menggunakan jasa penerjemah yang cakep nan alim, Habib Ali Hasan al-Bahar, yang juga Wakil Rais Syuriah PWNU Jakarta.
Sebagian netizen merisak Menag. Baru kali ini Menag tidak bisa berbahasa Arab, katanya gus kok ngobrol bahasa Arab nggak becus, beginilah jika orang liberal jadi menteri ngurusi agama, beginikah kualitas Menag sekarang? dan berbagai risakan lain.
Kalau menurut saya ya tidak masalah. Biasa saja pakai penerjemah. Ini level pembicaraan diplomatik. Juga atas nama negara walaupun disampaikan dalam forum “jalanan”, dan biasanya juga dilanjutkan dengan sesi yang lebih serius dan membutuhkan penerjemah lagi di ruang tertutup.
Jangankan menteri, level duta besar saja juga butuh penerjemah. Jangan lupa, para pemimpin dunia juga butuh jasa jembatan bahasa itu. Dulu, Pak Harto dalam pertemuan antar negara juga pakai penerjemah. Sampai sekarang, gara-gara dulu sering dicekoki Laporan Khusus di TVRI jadul, saya masih ingat wajah penerjemah khusus ini.
Dalam level pembicaraan mewakili negara, kalimat harus tertata. Rapi, formal, dan butuh sentuhan basa-basi kalimat bersayap. Ini pembuka. Muqaddimah masuk ke perbincangan inti yang biasanya dilakukan secara tertutup dan resmi. Bincang diplomatik juga berkaitan soal kefasihan melafalkan kalimat. Nah, agar tidak keliru, dibutuhkan penerjemah yang menjembatani dua arah.
Lantas, apakah Menag harus bisa berbahasa Arab fasih? Nggak juga. Beberapa menteri agama yang fasih berbahasa Arab, antara lain dari unsur NU: KH Wahid Hasyim, KH Masjkoer, KH Muhammad Ilyas, KH Fathurrahman Kafrawi, KH Wahib Wahab, KH Saifuddin Zuhri, KH Muhammad Dahlan, Prof Quraish Shihab, Prof Said Aqil Husein Munawar, Prof KH Tholchah Hasan, KH Maftuh Basyuni. Adapun dari unsur Muhammadiyah: Pak Faqih Usman dan Malik Fajar, saya tidak tahu. Kalau Pak Luqman Hakim Saifuddin, setahu saya bahasa Inggrisnya lebih fasih. Kalau Pak Suryadharma Ali saya nggak tahu.
Salah satu Menag yang Bahasa Arab sangat fasih adalah KH Muhammad Ilyas. Keponakan KH M Hasyim Asy’ari ini juga pernah menjadi Dubes untuk Arab Saudi. Pujian atas kefasihan beliau datang dari Raja Saud Ibn Abdul Aziz Assaud, penguasa Arab Saudi waktu itu. Selain kefasihan lisan, yang dipuji adalah spontanitas Kiai Ilyas dalam menyusun syair bahasa Arab dan hafalannya atas syair-syair purba bangsa Arab.
Kalau Pak Munawir Syadzali, Pak Alamsyah Ratu Prawiranegara, Pak Tarmizi Taher dan Pak Jenderal Fachrul Razi, saya tidak tahu kemampuan bahasa asingnya. Kalau Prof Rasjidi menguasai Inggris, Belanda dan Perancis dengan baik. Adapun Prof Mukti Ali menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris secara sempurna.
***
Soal kritik terhadap kemampuan berbahasa Arab lisan beberapa kiai, saya teringat tulisan kocak di laman teronggosong.co. Dalam sebuah halaqah yang dihadiri oleh kiai-kiai besar, almarhum Nurcholish Madjid melontarkan kritikan tajam:
“Bertahun-tahun bahasa Arab diajarkan di pesantren,” katanya, “tapi sedikit sekali, bahkan di antara kiai-kiainya, yang mempu mempergunakan bahasa Arab secara aktif. Pasti ada yang salah dalam metode pengajarannya!”
KH Badri Masduqi Probolinggo (Alm. Allah yarham) —lahumal faatihah— langsung mengacungkan jari:
“Pak Doktorandus!” beliau menyergah tanpa menunggu dipersilahkan oleh moderator, “kiai-kiai dan santri-santri pesantren belajar bahasa Arab itu keperluannya untuk berkomunikasi dengan tokoh-tokoh Islam seperti Imam Syafi’i, Imam Ghazali dan lain-lain. Untuk memahami kitab-kitab karya mereka. Jadi tidak perlu bisa ngomong pakai bahasa Arab seperti sampean. Buat apa? Lha wong tetangganya orang Jawa semua!”
Rupanya benar yang dikatakan Kiai Badri Masduqi, kebanyakan kiai pesantren mempelajari bahasa Arab hanya sebatas untuk memahami kitab-kitab yang dipelajari di pesantren. Hal-hal yang tidak dibicarakan di dalam kitab-kitab itu, biasanya kiai-kiai tak tahu bahasa Arabnya.
Mbah Kiai Ngaspani— Allah yarham— diminta menjadi wakil wali pernikahan putri Pak Daya’, salah seorang santri kalongnya. Sebelum mulai akad, Mbah Ngaspani terlebih dahulu menawarkan kepada si calon mantu:
“Pakai bahasa Arab, Jawa, atau Melayu?”
“Arab, Mbah”, si calon mantu mantap.
Mbah Ngaspani pun bertanya lebih lanjut,
“Maharnya apa?”
Sudah nasibnya Pak Daya’, calon mantunya itu rupanya seorang santri yang sungguh mbeling.
“Gunting!” jawabnya.
Mbah Ngaspani tercekat. Bukan saja karena maharnya itu yang aneh. Lebih dari itu, “gunting” hampir tak pernah disebut-sebut di kitab-kitab kuning, sehingga Mbah Ngaspani tak ingat bahasa Arabnya. Ia menengok kanan-kiri, kalau-kalau ada yang bisa dimintai bantuan. Tapi semua orang, termasuk para kiai yang hadir, menunduk khusyuk. Gus Mus malah sibuk sendiri, mengorek-ngorek pipa rokoknya dengan sobekan kardus tempat suguhan penganan.
Tak ada pilihan lain, Mbah Ngaspani pun memulai shighot ijabnya,
“…Ankahtuka wa zawwajtuka… makhthuubataka…”, suaranya agak terbata-bata, sambil memutar otak habis-habisan, berusaha mengingat-ingat bahasa Arabnya gunting…, “Fulaanah binta Daya’… muwakkili…”
Hingga sampailah saatnya mahar itu harus disebutkan,
“…bimahri……. GUNTING… haaalan!”
****
Jadi, kalaupun dipermasalahkan, bukankah Gus Yaqut dari kalangan pondok, gus, Ketua Umum GP Ansor, kok nggak bisa ngomong bahasa Arab fasih? Berbahasa asing itu keterampilan, salah satu kecerdasan linguistik, dalam penilaian Howard Gardner. Butuh ketelatenan untuk melatihnya.
Beberapa guru saya fasih baca kitab, tapi ketika berhadapan dengan native speaker juga latihan dulu, apalagi yang belum pernah tinggal di kawasan Arab dan mungkin terasa aneh dengan aksentuasinya.
Saya yakin Gus Yaqut bisa berbahasa Arab walaupun tidak secara aktif. Toh yang dinilai dari posisinya sekarang adalah misi dan kinerjanya sebagai menteri, bukan kemampuan bahasa asingnya.
Maharah kalam dan maharah istima’ memang sulit dan butuh latihan. Yang mudah itu maharah istinja’ dan maharah istimta’. Asalkan jangan Maharah Istimna’ hahahaha. (*)
Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Kencong, Jember.