Menteri Agama, Gus Baha dan Agama Baha’i

Gus Baha'

Menteri Agama Republik Indonesia Yaqut Cholil Quomas dan KH Ahmad Bahaudin Nursalim serta Agama Baha’i, satu sama lain tak punya kaitan. Namun secara pribadi dengan Gus Yaqut, ketiganya berhubungan.

Gus Baha —panggilan akrab KH Ahmad Bahauddin Nursalim, adalah ulama ahli tafsir dan hukum fikih yang satu daerah dengan Gus Yaqut. Keduanya berasal dari Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sama-sama putra kiai pengasuh pondok pesantren, tokoh muda NU tersohor dan punya pengikut yang banyak.

Gus Baha adalah putra Kiai Nur Salim yang Hafidzul Qur’an dari Pondok Pesantren LP3IA. Sementara, Gus Yaqut adalah putra dari Kiai Cholil Bisri seorang ulama politisi dari Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin. Keduanya melanjutkan profesi bapaknya masing-masing, seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Gus Baha lahir di Rembang, 29 September 1970. Ulama muda yang kharismatik. Sedang, Gus Yaqut lahir di Rembang, 4 Januari 1975. Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda (PP GP) Ansor yang terdepan melawan radikalisme dan intoleransi.

Dua tokoh ini murni anak didik tradisi. Intelektual dan spiritualnya digembleng oleh pondok pesantren. Gus Baha tak pernah mengenyam bangku kuliah namun kajiannya banyak diikuti oleh doktor maupun guru besar dari sejumlah perguruan tinggi. Gus Yaqut drop out dari Universitas Indonesia tapi mengendalikan 58 Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah naungan Kemenag.

Meski sama-sama membawa misi Islam Wasathiyah (Islam moderat) dalam kajian dan kebijakan, Gus Baha cenderung diterima oleh kelompok yang berseberangan. Namun Gus Yaqut cenderung berhadap-hadapan dengan kelompok Islam anti Pancasila.

Dalam konteks kehidupan beragama, titik tekan perjuangan dua sahabat tersebut, ternyata berbeda. Gus Baha pada moderasi Islam dengan penguatan Islamic Studies. Gus Yaqut pada moderasi agama dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warga negara, tanpa terkecuali.

Gus Baha tak tahu menahu soal Bahaisme di belahan dunia mana pun. Walau nama Gus Baha dan Agama Baha’i punya akar kata yang sama baha’ yang berarti kemuliaan. Keduanya tak berhubungan sama sekali. Bahaisme justru berkaitan dengan Gus Yaqut yang tiba-tiba tanpa angin dan hujan mengucapkan Selamat Tahun Baru Nawruz ke 178 EB bagi umat Baha’i di Indonesia.

Bahaisme merupakan agama baru di dunia. Agama ini dibawakan oleh Mirza Husayn Ali Al-Nuri asal Persia Iran. Bahaisme ini falsafah agama monoteisme Ibrahimik yang dibesut oleh tokoh bergelar Baha’ullah tersebut, bukan Bahaudin nama asli Gus Baha.

Bahaisme ini sudah tersebar di 247 negara dengan jumlah pengikut 8 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia, seorang Antropolog Agama UI, Amanah Nurish menyebutkan, penganut Bahaisme mencapai 23 ribu orang. Mereka menyebar di 24 propinsi. Khususnya, Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Banyuwangi dan lain sebagainya.

Bahaisme sebelum mendeclare sebagai agama sendiri, sejarah kemunculannya pada 1844 terkait dengan sekte dari madzhab syiah dalam Islam. Agama ini masuk ke Nusantara pada abad ke-19. Yang membawa adalah Jamal Effendi dan Musthafa Rum. Keduanya berasal dari Persia dan Turki.

Penganut Bahaisme punya lobi politik internasional yang kuat. Baha’i International Commnunity (Masyarakat Internasional Baha’i) mendukung berdirinya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Mereka punya kantor di New York dan Jenewa, serta perwakilan di komisi-komisi PBB.

Mereka banyak aktif di United Nation Economic and Social Council (ECOSOC), United Nation Children’s Fund (UNICEF), World Health Organization (WHO), United Nation Development Fund For Women (UNIFEM) dan United Nation Environment Program (UNEP).

Keterlibatan komunitas Baha’i dunia merupakan wujud dari pelembagaan ajaran Bahaisme. Antara lain: Kesatuan Tuhan, Kesatuan Agama, Kesatuan Manusia, Persamaan hak laki-laki dan perempuan, tempat ibadah terbuka bagi semua agama, sholat tiga kali sehari, puasa 19 hari pada tahun baru Nawruz, tak minum alkohol dan narkoba, tak boleh berjudi, tak boleh berhubungan seks di luar nikah dan homoseks, tak boleh memfitnah dan mengunjing dan lain sebagainya.

Gus Yaqut memang bukan menteri agama pertama memperbincangkan agama Baha’i ke tengah publik. Menteri Agama sebelumnya, Lukman Hakim Saifuddin justru mengangkat pertama Bahaisme atas dasar pertanyaan dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada 2014. Namun demikian, langsung maupun tidak, video ucapan Selamat Tahun Baru Nawruz dari Gus Yaqut, ikut “memperkenalkan” Bahaisme di Indonesia.

Video yang diunggah dalam rangka perayaan tahun baru Persia ini, merupakan “promosi gratis” bagi Bahaisme. Negara seakan mengakui dan menjamin keberadaan agama Baha’i di Tanah Air. Tentu, video tersebut tak ujug-ujug muncul, pasti atas lobi politik komunitas Baha’i dalam maupun luar negeri.

Jadi, pengunggahan video Gus Menteri ini tak bisa dibaca sesederhana pesan hidup Gus Baha, akan tetapi menyangkut amanah besar dari konstitusi negara yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Demi keadilan, agama lokal dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga punya hak yang sama atas ucapan selamat pada hari-hari besar mereka dari sang Menteri Agama Republik ini.

Apabila tidak, maka akan muncul rasa ketidakadilan beragama dan berkeyakinan di Tanah Air. Gus Yaqut pasti akan dituding, pengunggahan video tersebut merupakan “pesan sponsor” yang menjatuhkan integritasnya menjalankan Tupoksi Kemenag dalam pembinaan umat beragama di Indonesia. Na’udzubillah min dzalik! (*)

Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Terkait

FIKRAH Lainnya

SantriNews Network