Merayakan Keindonesiaan (4): Bahasa dan Unsur Kebudayaan Indonesia

Koentjaraningrat menyebut ada 7 unsur kebudayaan universal. Begitu juga dalam kebudayaan Indonesia. Yakni, bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, perlengkapan hidup dan teknologi, mata pencarian hidup, religi, dan kesenian.

Dalam tulisan ini penulis coba sedikit mengelaborasi dari 7 unsur kebudayaan Indonesia tersebut. Pertama, bahasa. Di Indonesia terdapat dua bahasa. Yaitu bahasa nasional dan bahasa daerah. Kedua bahasa ini merupakan mata pelajaran setiap jenjang dan tingkatan pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Bahasa Indonesia mata pelajaran yang diujikan secara nasional, sedangkan bahasa daerah merupakan muatan lokal.

Baca juga: Kacung Marijan: NU Lahir dan Hidup dalam Kebudayaan

Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang digunakan sebagai colloquial (sehari- hari) dalam pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan pergaulan sehari-hari. Bahasa ini menjadi bahasa resmi nasional yang menjadi bahasa pengantar, komunikasi dan dokumen sedari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, dan diberlakukan resmi setelah UUD 1945 ditetapkan.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa Melayu menjadi basantara dari penduduk nusantara yang terbentang luas di eks wilayah jajahan kolonial Belanda. Pada Pasal 36 UUD 1945 disebutkan, “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia”. Bahasa Indonesia berperan sebagai alat komunikasi nasional dan berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat majemuk akan suku, agama, ras, budaya dan adat istiadat.

Tiap-tiap daerah memiliki bahasa daerah. Bahasa yang dipakai dalam pergaulan keluarga dan masyarakat lokal. Bahasan daerah adalah bahasa ibu yang menjadi identitas budaya lokal, dan diajarkan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain.

Di Indonesia terdapat 718 bahasa daerah. Dan 10 bahasa daerah yang paling banyak dipakai. Antara lain, Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Madura, Bahasa Minangkabau, Bahasa Musi, Bahasa Bugis, Bahasa Banjar, Bahasa Aceh, Bahasa Bali dan Bahasa Betawi.

Kedua, sistem pengetahuan. Indonesia adalah masyarakat terbuka. Sedari zaman Kerajaan Hindu Budha dan Kesultanan Islam sampai Indonesia merdeka, penduduk nusantara tak pernah tertutup. Mereka memiliki pelabuhan dunia, menjalin perdagangan internasional serta membuat perjanjian antar bangsa.

Keterbukaan ini menyebabkan asimilasi dan akulturasi antara warga pribumi dan asing. Kota kosmopolitan banyak terbangun di daerah pesisir sepanjang Pesisir Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Kota-kota pelabuhan merupakan tempat percampuran, perbauran dan penyatuan budaya berbeda menjadi identitas sama.

Pengetahuan merupakan unsur kebudayaan Indonesia yang paling dinamis. Negeri ini memiliki sistem pengetahuan modern dan tradisional, serta pengetahuan universal dan lokal. Segala diskripsi, hipotetis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang punya probabilitas bayesian yang benar dan berguna dikembang di Indonesia, tanpa melihat dari dalam maupun luar masyarakat.

Kebenaran dan kegunaan pengetahuan yang paling pokok dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alih pengetahuan dan teknologi menjadi syarat dari investasi dari luar negeri, serta pengembangan inovasi dan kreasi lokal untuk bersaing dengan produk barang dan jasa dalam perdagangan dunia.

Baca juga: Cak Nun: Islam Tak Dapat Dilaksanakan Secara Kaffah Tanpa Kebudayaan

Dengan Sumber daya manusia yang besar dan unggul, serta perguruan tinggi terbaik dunia, Indonesia punya kekayaan intelektual banyak yang sudah dipatenkan. Kemenristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro mengatakan sudah ada 2842 paten. Sayang, jumlah hak paten dengan jumlah lesensi industri tak imbang. Pemanfaatan hak paten kurang maksimal dalam pengembangan industri tanah air. Padahal, hak paten Indonesia terbesar di Asia Tenggara.

Kemenristekdikti pernah mengemukakan jumlah perguruan tinggi negeri dan swasta mencapai 4.498 buah. Dari segi sumber daya manusia, ada 296.040 dosen, 5.664 guru besar, ada 1.071 peneliti per 1 juta penduduk.

Tapi sayang, publikasi penelitian sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia rendah. Dari 16 jurnal berbasis web, baru 38 jurnal terakreditasi scopus. Publikasi mereka hanya 1.500 artikel, bila jurnal tersebut terbit 2 sampai dengan 4 kali dalam setiap tahun dengan 20 judul artikel.

Sementara, Indonesia menduduki peringkat ke-14 dari daftar negara menurut jumlah penerbitan buku setahun. Yaitu 30.000 buku. Ini artinya, produktifitas intelektual dari para dosen rendah pula. Jumlah buku dengan jumlah dosen sangat jomplang. Padahal, merekalah yang berada di garda terdepan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (*)

Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Terkait

Fikrah Lainnya

SantriNews Network