Kaum Muda NU Harus Jadi Motor Pemikiran Keislaman dan Keindonesiaan

Wakil Ketua PWNU Jawa Barat, Kiagus Zaenal Mubarok (santrinews.com/satar)
Bandung – Nahdlatul Ulama memang sebuah organisasi yang besar karena di dalamnya terdapat puluhan juta warga. Namun menurut Kiagus Zaenal Mubarok, jumlah ini secara kuantitas tidak harus melulu dibanggakan sebagai aset sebab dengan jumlah yang besar itu ada beban berat mengurusnya.
“Kita tahu di mana-mana warga NU belum menjadi subjek dari partisipasi sosial politik, melainkan masih menjadi objek.Karena itu dalam situasi maraknya kekuatan non-produktif seperti fundamentalisme, radikalisme teman-teman muda NU harus serius mengembangkan pemikiran jenis baru dan bergerak dengan model-model gerakan yang selaras dengan tantangan zaman,” kata Wakil Ketua PWNU Jawa Barat dalam diskusi di Kantor Nuindo Institue Jalan Sancang No 8 Kota Bandung, Jumat, 13 Nopember 2015.
Kiagus yang selama ini bergiat dalam lapangan kegiatan jalinan lintas agama di Bandung dan sekitarnya itu melihat bahwa saat ini generasi muda NU harus serius menggali keilmuan secara informal, terutama diskursus keislaman dan keindonesiaan.
Menurutnya, generasi muda NU juga masih belum menunjukkan jati dirinya sebagai penggerak mesin demokrasi dan mesin gerakan sosial. Masih banyak yang cenderung ikut-ikutan dan lemah dan urusan strategi gerakan sebagai inisiator mobilisasi sosial.
“Kalau kita bicara soal diskursus kebangsaan, masih ada yang memandang soal ini sebagai hal yang muluk-muluk. Itu tidak. Pemikiran baru harus menjadi bagian penting dalam tubuh NU karena bagaimana mungkin kita berkontribusi kepada bangsa dan negara tanpa pembaharuan pemikiran dan model gerakan? Bagaimana tumbuh gerakan yang produktif untuk sumbangsih kepada negara kalau secara pemikiran lemah?” terangnya.
Kiagus menambahkan, sekarang ini orang NU terkadang ini terkecoh untuk lari pada kegiatan amal praktis seperti urusan sekolah atau rumah sakit dan merasa tidak memerlukan gerakan pemikiran.
“Buat saya ini akibat kerancuan berpikir akibat tidak melakukan kajian diskursus pemikiran sehingga muncul dikotomi. Kenapa harus didikotomikan antara amal praktis dengan gerakan pemikiran?” ucapnya.
Padahal, menurut Kiagus, saat ini bangsa Indonesia membutuhkan pemikiran yang cemerlang untuk mengatasi kemandegan demokrasi. Republikanisme sedang dilanda kemunduran karena realitas demokrasi belum optimal membuktikan untuk peraihan kesejahteraan rakyat.
Karena itu diskursus pemikiran hubungan Islam dengan negara, Islam dengan kewargaan dalam Islam semacam Civic-Islam menjadi penting.
“Apalagi di Jawa Barat ini, persoalan pemikiran di kalangan umat Islam sangat mundur. Sedikit intelektual keislaman yang bisa tampil ke muka publik membawa arah baru guna menjawab persoalan hubungan negara dan warga. Termasuk di NU sendiri harus jujur diakui ada semacam kehilangan arah pikir dan arah gerak. Maka sebuah tawaran gagasan baru merupakan tugas bersama kita semua,” pungkasnya. (satar/jaz)