Merayakan Keindonesiaan (7): Mata Pencaharian dan Ironi Negara Agraris

Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia, tapi juga negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar ke-7 di dunia. Kondisi ini tak lepas dari potensi SDM dan alam yang kaya raya.
Indonesia sebelum abad ke-4 dan sesudahnya, penduduk nusantara memiliki sistem mata pencaharian hidup sendiri. Sistem ekonomi pra sejarah dan pasca berdirinya kerajaan Hindu Budha, Kesultanan Islam, Penjajahan Belanda, Jepang dan Indonesia merdeka, mata pencarian penduduk mengalami perkembangan dan kemajuan.
Mata pencaharian adalah pekerjaan utama dari penduduk untuk dapat hidup dan meningkat taraf hidupnya dalam mengelola sumberdaya alam, budaya dan sosial yang ada.
Baca juga: NU Dampingi Petani Saat Gestapu Tahun 1965
Mata pencaharian tersebut ada pekerjaan pokok dan ada pekerjaan sampingan. Semua menjadi sumber pendapatan untuk belanja kebutuhan primer, sekunder dan tersier dari penduduk itu sendiri.
Indonesia adalah masyarakat transisional dari agraris pada industri. Sebagian besar penduduk negeri ini hidupnya bergantung pada pertanian, namun industri juga tumbuh dengan pesat. Termasuk perkembangan agroindustri dan agrobisnis yang terkait dengan pertanian. Pertanianlah yang menyediakan sumber makan bagi manusia.
Sedangkan industri pertanian pengelolaan pertanian dalam skala besar dengan teknologi tepat guna untuk menghasilkan produksi pertanian yang tinggi. Agroindustri untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk yang meningkat pula.
Jadi, masyarakat agraris atau masyarakat industri bukan kutub pengelompokan masyarakat secara diametral dalam suatu negara. Kedua ciri masyarakat tersebut selalu ada di tiap negara dimanapun dan kapanpun. Tak terkecuali Indonesia. Meskipun pekerjaan utama masyarakat terus mengalami pergeseran.
Jumlah petani terus-menerus menurun, sementara pekerjaan di bidang jasa terus meningkat. Ini merupakan konsekuensi-logis dari diversifikasi bisnis dan usaha dalam produksi barang dan jasa.
BPS 2020 membuat pengelompokan pekerjaan pada 18 jenis pekerjaan. Antara lain: pertanian, kehutanan dan perikanan, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, pengadaan listrik dan gas, pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi dan makan minum, informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, real estat, jasa perusahaan, administrasi pemerintahan, pertanahan, dan jaminan sosial wajib, jasa pendidikan, jasa kesehatan dan kegiatan sosial, serta jasa lainnya.
Baca juga: NTB Punya Duta Petani Milenial Alumni Pondok Pesantren
Pada tiga tahun terakhir, jumlah yang berkerja di sektor pertanian, perhutanan dan perikanan terus mengalami penurunan. Data BPS menyebutkan, pada 2018, jumlah mereka mencapai 35,70 juta, pada 2019 turun menjadi 34.58 juta, dan pada 2020 turun menjadi 33,4 juta.
Penurunan jumlah ini mengkonfirmasi bahwa angka kerja berusia 15 tahun lebih memilih pekerjaan di luar sektor pertanian, kehutanan dan perikanan di atas.
Pada acara Dies Natalis Institusi Pertanian Bogor (IPB) ke-54, Presiden Joko Widodo pernah mengkritik lulusan pertanian yang justru bekerja di bank. Ini bukti menjadi petani bukan pekerjaan pilihan melainkan pelarian.
Dengan demikian, nilai tukar petani semakin rendah, hasil pertanian menurun, kedaulatan pangan semakin jauh. Indonesia justru setiap tahun mengimpor beras. Padahal, negeri ini negeri agraris. (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.